Menelusuri jalan menuju kawasan perbatasan Indonesia - Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat, tepatnya menuju Desa Entikong, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, kini banyak ditemukan perubahan. Kalau tidak, patut disebut takjub.

Mulai dari jalan yang lebar dari Kecamatan Sekayam, hingga penambahan satu lajur jalan yang masih terpotong-potong di beberapa lokasi.

Kini dan ke depannya, menuju Entikong akan semakin mudah dan nyaman. Ditambah penduduk yang belum terlalu padat, waktu tempuh dari Simpang Tanjung ke Entikong yang jaraknya sekitar 100 kilometer, semakin cepat. Penulis pernah mencoba beberapa kali, dan kini bisa menembus di angka satu jam lebih sedikit dari sebelumnya 90 menitan.

Tentu saja ini tidak lepas dari komitmen Presiden Joko Widodo yang menegaskan membangun Indonesia dari pinggiran. Wilayah perbatasan benar-benar dijadikan sebagai beranda negara. Untuk membuktikan komitmenya, Presiden Joko Widodo sudah dua kali berkunjung ke Entikong.

Tujuannya, memastikan bahwa berbagai proyek skala besar di Entikong berjalan sesuai rencana. Ada kutipan dari pernyataan Presiden yang menarik, "Kita harus menunjukkan bahwa perbatasan adalah jendela, halaman muka kita, dan orang masuk ke negara kita merasakan bahwa ini negara besar". Ini Presiden katakan saat berkunjung ke Entikong, Maret 2016.

Lanjutannya, "Kita ingin titik-titik pertumbuhan ekonomi itu ada di pinggiran, tidak hanya Jawa sentris, tapi juga di Kalimantan, NTT, dan Papua".

Saat berkunjung ke Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, Jumat (26/8), tampak bangunan lama yang sudah 25 tahun beroperasi, dibongkar. Pekerja dari PT Wijaya Karya yang mendapat proyek pembangunan tampak hilir mudik. Target Presiden, akhir tahun ini sudah beroperasi.

Nilai proyek Rp152,491 miliar di atas lahan seluas 7,9 hektar dengan luas bangunan mencapai 19.493 meter persegi. Bangunan PLBN nanti akan terbagi dalam tiga zona, zona pertama adalah Zona Inti yang terdiri dari bangunan utama PLBN, bangunan pemeriksa kargo kedatangan/keberangkatan, monumen garuda, check point, dan check point pemeriksaan kargo.

Kedua adalah Zona Sub Inti yang terdiri dari area parkir, bangunan kantor PLBN dan perumahan pegawai. Terakhir adalah Zona Pendukung yang terdiri dari masjid, food court, Wisma Indonesia, pasar tematik dan parkiran.



Bagaimana Kesejahteraan?

Mikail Jon, warga Entikong, menyambut dengan antusias berbagai proyek pembangunan yang kini tengah gencar dilakukan pemerintah. Menurut dia, warga ikut menikmati infrastruktur yang mulai membaik.

"Jalan besar, border pun bagus," kata Mikail Jon. Jon menyampaikan hal itu dalam dialog "Program Indonesia Menyapa : Suara dari Perbatasan", yang dilaksanakan di RRI Entikong, Jumat (26/8). Program tersebut kerja sama Perum LKBN ANTARA dengan RRI.

Meski ada peningkatan perbaikan infrastruktur, ia gelisah. Ia melihat program tersebut belum menyentuh harapan masyarakat seutuhnya. Di Entikong, yang sebagian wilayahnya sulit dijangkau, masih banyak warga yang hidup miskin. Infrastruktur yang baik pun akhirnya hanya dinikmati kalangan mampu saja.

Ia sendiri belum tentu setahun sekali pergi ke border (PLBN Entikong). Jadi, sebagus apapun itu PLBN, ia tidak peduli. Baginya, infrastruktur yang baik juga berimplikasi ke kesejahteraan masyarakat. Ia mencontohkan harga karet yang kini berkisar di angka Rp5 ribu per kilogram. Sebagian masyarakat menanam karet untuk biaya hidup. Untuk membeli beras satu kilogram, harus menjual sedikitnya dua kilogram karet. Ini belum untuk membeli kebutuhan pokok lainnya.

Ia tidak ingin, proyek ratusan miliar di Entikong dan perbatasan malah membuat masyarakat lokal semakin terpinggirkan.



Payung Hukum

Payung hukum yang jelas. Itu salah satu kunci untuk mensejahterakan masyarakat di kawasan perbatasan, kata anggota DPRD Kabupaten Sanggau Hendrikus Bambang.

Selama ini, dasar untuk perdagangan lintas batas di Entikong adalah Border Trade Agreement (BTA) antara Indonesia - Malaysia. Perjanjian tersebut pada 24 Agustus yang lalu tepat berusia 46 tahun. Isinya antara lain, masyarakat di kawasan perbatasan terutama di Kecamatan Entikong dan Sekayam yang masuk lini satu wilayah perbatasan, dapat berbelanja kebutuhan pokok di Sarawak. Besarannya 600 ringgit Malaysia untuk satu bulan bagi pemegang kartu identitas lintas batas (KILB).

Pertimbangannya, karena pasokan dari wilayah Indonesia ke wilayah tersebut membutuhkan biaya transportasi yang besar sehingga harganya tinggi selain kepastian pasokan yang berkelanjutan. Sarawak menjadi pilihan karena infrastruktur yang baik sehingga harga kebutuhan pokok biasanya lebih rendah dibanding mengandalkan pasokan dari Indonesia.

Selain BTA 1970, tidak ada dasar hukum lain untuk perdagangan lintas batas kata Hendrikus, politikus dari Partai Golkar tersebut. Sementara faktanya, KILB akhirnya dimanfaatkan oknum tertentu untuk kepentingan bisnis.

Selain KILB, ada PLB atau Pas Lintas Batas. Pas Lintas Batas dapat dibuat di kantor imigrasi bagi masyarakat sekitar yang ingin ke Sarawak namun tidak menggunakan paspor. Jangkauannya pun terbatas, hanya di wilayah tertentu saja. PLB ini menjadi dasar untuk membuat KILB.

Mikail Jon tidak memungkiri adanya tawaran dari pihak tertentu agar masyarakat dibantu membuat PLB. Oleh oknum tersebut, warga juga dibuatkan KILB dan diberi imbalan uang tertentu. Nilainya tidak besar, antara Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Sementara dengan satu KILB, dapat berbelanja hingga 600 RM atau setara hampir Rp2 juta.

Camat Entikong Suparman menambahkan, ada juga kebijakan dari Bea dan Cukai setempat yang membolehkan satu orang menggunakan 10 KILB milik orang lain. Ia enggan memastikan apakah ada pelanggaran hukum dari kebijakan tersebut. Idealnya, KILB digunakan oleh orang yang bersangkutan, bukan orang atau pihak lain. Ia mengungkapkan, malahan sebelumnya dibolehkan satu KILB untuk membeli enam karung gula pasir. "Memangnya warga saya disuruh diabetes semua," kata Suparman yang sekitar satu tahun menjadi camat di Entikong.

Akhirnya, satu KILB dibolehkan untuk membeli tiga karung gula pasir dari Malaysia dan sisanya belanja keperluan pokok lainnya. Kenapa gula pasir dari Malaysia? Karena ini kebutuhan yang bernilai ekonomis tinggi kalau di Indonesia. Ada selisih harga yang cukup lumayan.

Tidak heran, menurut Hendrikus, dalam satu hari biasanya ada dua kontainer yang membawa ratusan karung gula pasir dari perbatasan ke lini satu yakni paling jauh ke Kecamatan Sekayam. Masalah semakin kompleks ketika ada yang membeli gula pasir tersebut dan membawanya keluar dari lini satu kecamatan perbatasan lalu ditangkap aparat.

Si penampung di lini satu kecamatan tidak mau disalahkan kalau ada yang membeli gulanya dan membawa keluar lini satu. "Ini pernah jadi perdebatan," ungkap Hendrikus.

Untuk itu, ia mendesak pemerintah segera menyiapkan payung hukum yang tegas terkait perdagangan lintas batas tanpa menafikan peran masyarakat setempat. Misalnya dengan merealisasikan pelabuhan darat secepatnya di Entikong. Selain memberi pendapatan resmi ke negara dan daerah, juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Suparman menyarankan, pemerintah juga perlu mengeluarkan kebijakan di sektor agrobisnis atau agroindustri yang dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Seperti harapan Mikail Jon, jangan sampai masyarakat lokal hanya menjadi penonton dari kemajuan infrastruktur di perbatasan.




Pewarta: Teguh Imam Wibowo

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016