Pontianak  (Antara Kalbar) - Direktur Puskepi, Sofyano Zakaria menyatakan, melakukan koreksi terhadap harga gas tabung tiga kilogram atau gas bersubsidi lebih efektif ketimbang rencana program distribusi tertutup.

"Distribusi tertutup tentu akan dilaksanakan dengan menentukan siapa masyarakat yang diberi hak dan berhak menggunakan gas bersubsidi. Dan itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan walau pelaksanaannya bersifat memaksa sekalipun," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

Ia menjelaskan, jika pelaksanaannya tanpa diikuti adanya sanksi pidana yang diatur dalam UU yang memiliki kekuatan hukum maka "orang" akan tetap saja berani melakukan pelanggaran terhadap program tersebut.

"Apakah jika ada rakyat yang tidak berhak membeli satu atau dua tabung gas tiga kilogram maka dia harus dihukum?. Ini pertanyaan yang akan dilematis untuk dijawab," ungkapnya.

Sehingga, menurut dia, pengawasan terhadap distribusi tertutup berpotensi hanya akan membuat "masalah" bagi BUMN Pertamina yang selama melaksanakan penugasan pengadaan dan distribusi gas bersubsidi tersebut.

Rencana distribusi tertutup tersebut merupakan salah satu solusi menekan kuota subsidi gas bersubsidi yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun sehingga menggerus anggaran.

Peningkatan kuota gas bersubsidi tentu saja tidak lepas dari tidak jelasnya peraturan pemerintah terhadap peruntukan dan pengguna gas bersubsidi itu sendiri, katanya.

"Pengalaman selama ini, pemerintah hanya bisa mengimbau agar orang kaya tidak membeli BBM bersubsidi, yang terbukti tidak berhasil. Begitu juga melarang masyarakat mampu agar tidak menggunakan gas bersubsidi, maka akan berpotensi menimbulkan gejolak sosial, apalagi tidak ada UU yang khusus mengatur tentang subsidi," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Direktur Puskepi menyarankan, agar pemerintah harus berani membuat terobosan secara bertahap mengurangi subsidi dengan mengkoreksi naik harga gas bersubsidi yang hingga kini sejak diluncurkan 2001 tidak pernah dikoreksi naik oleh pemerintah.

"Hal itu, berbeda dengan subsidi BBM yang kini nyaris dihapus total, yang kini tinggal solar saja yang masih disubsidi, dan ternyata berhasil dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo," katanya.

Seharusnya, menurut Sofyano, bisa dijadikan pertimbangan oleh pemerintah dalam melakukan kebijakan terhadap harga gas tabung tiga kilogram itu.


                                                   HET Tidak Terbukti

Menurut Sofyano, penetapan HET (harga eceran tertinggi) gas tabung tiga kilogram yang ditetapkan oleh pemerintah sejak dilaksanakannya program konversi minyak tanah adalah Rp4.250 /kilogram.

Namun kenyataannya, konsumen di tanah air, selama ini membeli gas bersubsidi dari pengecer dan atau pangkalan selalu dengan harga yang tidak sesuai dengan HET, baik ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun yang ditetapkan gubernur, atau bupati wali kota.

"Dan kenyataannya pembelian gas bersubsidi yang tidak mengacu kepada HET, tetapi tidak bermasalah buat masyarakat, serta anehnya tidak pula dipermasalahkan oleh pemerintah yang berkuasa sejak tahun 2001," ungkapnya.

Masyarakat sepertinya berpendapat harga yang tidak sesuai dengan HET tidaklah masalah, asalkan gas bersubsidi itu selalu tersedia, serta mudah diperoleh, katanya.

Jika pemerintah menetapkan mengkoreksi atau menaikan harga jual gas bersubsidi setidaknya menjadi sebesar Rp6.500 /kilogram, dengan harga itu berlaku sama diseluruh Indonesia, maka diyakini bisa diterima dan tidak akan menjadi masalah serius oleh masyarakat, katanya.

Kemudian, untuk terwujudnya satu harga yang sama di seluruh Indonesia, pemerintah harus melakukan tata ulang mekanisme distribusi gas yang ada dengan menetapkan mata rantai distribusi gas, mulai dari Pertamina kemudian ke SPBE, dilanjutkan ke agen, kemudian ke pangkalan dan pengecer.

"Kemudian pemerintah perlu membuat ketentuan selanjutnya, yakni pengangkatan, pembinaan, pengawasan pangkalan dan pengecer gas bersubsidi diserahkan dan menjadi domain pemda setempat, dan Pertamina hanya mengelola SPBE dan agen gas saja," katanya.

Dengan pola distribusi baru untuk mewujudkan satu harga gas bersubsidi diseluruh Indonesia, maka margin agen, pangkalan dan pengecer ditetapkan dalam HET yang berdasarkan Perpres atau Permen.

Sehingga, pemerintah harus mencabut kewenangan pemda dalam melakukan penetapan HET di daerah. Agen, pangkalan dan pengecer gas bersubsid harus mendapat margin dengan mengacu kepada peraturan yang ditetapkan pemerintah tersebut, kata Sofyano.






Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016