Pontianak  (Antara Kalbar) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menyatakan, penyaluran gas bersubsidi hendaknya digarap model distribusi beras bagi masyarakat miskin (Raskin).

"Gas bersubsidi yang harusnya diperuntukan bagi rumah tangga golongan tidak mampu, ternyata sudah lama tidak tepat sasaran," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Hal itu dibuktikan, bahwa gas bersubsidi itu telah digunakan sekitar 58 juta kepala keluarga atau setara dengan 232 juta jiwa, padahal jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta jiwa atau sekitar 90 persen rakyat Indonesia yang gunakan gas bersubsidi tersebut.

"Padahal masih ada beberapa propinsi yang belum dilakukan program konversi minyak tanah ke gas tabung tiga kilogram, seperti NTT, Maluku dan Papua," ungkapnya.

Menurut dia, besarnya jumlah gas bersubsidi yang dikonsumsi masyarakat itu, bukan berarti seluruhnya dinikmati oleh golongan mampu dan atau industri yang beralih ke gas bersubsidi.

"Dapat dipastikan elpiji atau bersubsidi itu telah menjadi alat bisnis bagi para pelaku pengoplos yang mengoplos gas bersubsidi kedalam tabung 12 kilogram dan 50 kilogram yang dijual dan digunakan oleh golongan mampu dan industri," katanya.

Sehingga, terkesan, pemerintah "mendiamkan" para pengoplos memakan uang subsidi untuk rakyat miskin. "Terjadinya pengoplosan gas bersubsidi ke tabung 12 kilogram keatas disebabkan faktor disparitas harga yang sangat lebar disamping lemahnya aspek pengawasan dari aparat penegak hukum," ujarnya.

Harga gas bersubsidi sejak 2001, HET yang ditetapkan pemerintah hanya sebesar Rp4.250/kg, sementara harga jual gas non subsidi pada posisi harga minyak dunia disekitaran 45 dolar AS per barel atau sekitar Rp10.500/kg, maka pengoplos bisa mengeruk keuntungan sekitar Rp5.000/kg, kata Sofyano.

"Mengecilkan disparitas harga jual untuk menghindari pengoplosan dengan memaksa Pertamina menurunkan harga jual gas non subsidi mendekati harga jual gas bersubsidi adalah tindakan tidak solutif, karena sekecil apapun disparitas harga gas tetap memancing minat pengoplos untuk tetap melakukan pengoplosan," katanya.

Pemerintah harusnya menetapkan bahwa penerima subsidi gas setidaknya adalah mereka yang selama ini telah tercatat sebagai penerima raskin. "Hal itu akan lebih bisa diterima oleh setiap pihak ketimbang membuat parameter lain tentang apa yang dimaksud dengan orang miskin atau rentan miskin," ujarnya.

Karena selama ini, pendistribusian raskin untuk rakyat miskin terbukti terselenggara dengan baik. Karenanya pendistribusian gas bersubsidi untuk orang miskin harusnya melibatkan serta menjadi domain Kementerian Sosial dan di bawah kendali Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia yang dikendalikan oleh Menkonya, Puan Maharani.

"Karena penetapan yang berhak sebagai pengguna gas bersubsidi bagi orang miskin dengan data raskin, maka akan punya efek psikologis yang bisa membuat malu orang," kata Sofyano.

Dalam kesempatan itu, Sofyano menambahkan, sudah saatnya harga jual gas bersubsidi dikoreksi ulang, paling tidak mendekati harga jual gas non subsidi, namun pemerintah harus menjamin bahwa HET gas bersubsidi, berlaku sama diseluruh wilayah NKRI.

"Selain itu, sudah saatnya pemerintah menjelaskan, bahwa sekitar 70 persen gas yang digunakan saat ini berasal dari impor. Serta harganya juga bergantung dengan biaya distribusi, pajak, margin SPBE, agen dan pangkalan," kata Direktur Puskepi.



Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016