Jakarta (Antara Kalbar) - Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) mengecam keras terbitnnya surat peringatan dan pemanggilan pertama kepada 541 pekerja peserta mogok oleh direksi perusahaan itu.
"Ini sangat kami sesalkan dan kecam. Padahal Sudinaker (Suku Dinas Tenaga Kerja) Jakarta Utara tidak pernah mengeluarkan pernyataan mogok JICT sah atau tidak. Namun, tindakan direksi JICT mendahului otoritas yang berwenang dan menantang Undang-Undang," kata Sekjen SP JICT Firmansyah dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
SP JICT melakukan aksi mogok kerja mulai 3 Agustus 2017 dan direncanakan akan berlanjut hingga 10 Agustus 2017.
Menurut dia, upaya direksi JICT itu patut diduga sebagai upaya intimidasi dan pemberangusan terhadap aksi Serikat Pekerja.
"Alih-alih mencari solusi 'win-win', direksi JICT seolah membiarkan mogok terjadi dengan kerugian perusahaan dan pengguna jasa mencapai ratusan miliar rupiah," katanya.
Firmansyah kembali menegaskan bahwa aksi mogok yang dilakukan pihaknya merupakan reaksi atas wanprestasi kesepakatan oleh direksi terhadap hak pekerja akibat uang sewa ilegal perpanjangan kontrak jilid II.
Dikatakannya, mogok juga bagian dari aksi penyelamatan aset nasional JICT yang dilakukan sejak 2014, namun telah dicoba untuk dibusukkan oleh gerakan yang sistematis, masif dan terstruktur oleh beberapa pihak dengan isu gaji besar pekerja.
"Sesungguhnya tidak seorang pun, berapa pun besarnya penghasilan, akan merelakan haknya dirampas," katanya.
Sementara, katanya, direksi JICT yang bergaji jauh lebih besar yakni diatas Rp2,5 miliar per tahun diduga sengaja wanprestasi terhadap hak-hak pekerja dan membiarkan JICT rugi ratusan miliar rupiah akibat mogok kerja.
"Prestasi buruk direksi ini patut dicurigai bagian dari gerakan memuluskan penjualan aset nasional JICT," katanya.
Kemandirian nasional Ia menyebut pendapatan perusahaan yang besar atau mencapai Rp3,5-4 triliun per tahun, diduga menjadi sumber bancakan korupsi bagi direksi dan investor Hutchison serta pihak-pihak lain untuk terus mengamankan perpanjangan kontrak JICT.
Hal itu ditandai sejak 2015, JICT telah melakukan super efisiensi besar-besaran karena beban sewa perpanjangan kontrak JICT 85 juta dolar AS/tahun padahal pendapatan perusahaan naik 4,6 persen pada 2016.
Jadi perpanjangan kontrak JICT jilid II (2015-2039) yang dilakukan Pelindo II kepada Hutchison, kata Firmansyah, telah terbukti tidak ada nilai tambah karena melanggar UU, merugikan negara, pekerja dan JICT sendiri dalam jangka waktu panjang.
Untuk itu, perjuangan terhadap hak-hak pekerja karena dampak perpanjangan kontrak JICT menjadi penting.
"Namun hal yang tidak kalah penting adalah, bagaimana menyelamatkan aset nasional JICT yang masa kontrak jilid I habis di 2019, agar bisa dikelola bangsa sendiri sesuai visi kemandirian nasional," katanya.(TZ.E008)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017
"Ini sangat kami sesalkan dan kecam. Padahal Sudinaker (Suku Dinas Tenaga Kerja) Jakarta Utara tidak pernah mengeluarkan pernyataan mogok JICT sah atau tidak. Namun, tindakan direksi JICT mendahului otoritas yang berwenang dan menantang Undang-Undang," kata Sekjen SP JICT Firmansyah dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
SP JICT melakukan aksi mogok kerja mulai 3 Agustus 2017 dan direncanakan akan berlanjut hingga 10 Agustus 2017.
Menurut dia, upaya direksi JICT itu patut diduga sebagai upaya intimidasi dan pemberangusan terhadap aksi Serikat Pekerja.
"Alih-alih mencari solusi 'win-win', direksi JICT seolah membiarkan mogok terjadi dengan kerugian perusahaan dan pengguna jasa mencapai ratusan miliar rupiah," katanya.
Firmansyah kembali menegaskan bahwa aksi mogok yang dilakukan pihaknya merupakan reaksi atas wanprestasi kesepakatan oleh direksi terhadap hak pekerja akibat uang sewa ilegal perpanjangan kontrak jilid II.
Dikatakannya, mogok juga bagian dari aksi penyelamatan aset nasional JICT yang dilakukan sejak 2014, namun telah dicoba untuk dibusukkan oleh gerakan yang sistematis, masif dan terstruktur oleh beberapa pihak dengan isu gaji besar pekerja.
"Sesungguhnya tidak seorang pun, berapa pun besarnya penghasilan, akan merelakan haknya dirampas," katanya.
Sementara, katanya, direksi JICT yang bergaji jauh lebih besar yakni diatas Rp2,5 miliar per tahun diduga sengaja wanprestasi terhadap hak-hak pekerja dan membiarkan JICT rugi ratusan miliar rupiah akibat mogok kerja.
"Prestasi buruk direksi ini patut dicurigai bagian dari gerakan memuluskan penjualan aset nasional JICT," katanya.
Kemandirian nasional Ia menyebut pendapatan perusahaan yang besar atau mencapai Rp3,5-4 triliun per tahun, diduga menjadi sumber bancakan korupsi bagi direksi dan investor Hutchison serta pihak-pihak lain untuk terus mengamankan perpanjangan kontrak JICT.
Hal itu ditandai sejak 2015, JICT telah melakukan super efisiensi besar-besaran karena beban sewa perpanjangan kontrak JICT 85 juta dolar AS/tahun padahal pendapatan perusahaan naik 4,6 persen pada 2016.
Jadi perpanjangan kontrak JICT jilid II (2015-2039) yang dilakukan Pelindo II kepada Hutchison, kata Firmansyah, telah terbukti tidak ada nilai tambah karena melanggar UU, merugikan negara, pekerja dan JICT sendiri dalam jangka waktu panjang.
Untuk itu, perjuangan terhadap hak-hak pekerja karena dampak perpanjangan kontrak JICT menjadi penting.
"Namun hal yang tidak kalah penting adalah, bagaimana menyelamatkan aset nasional JICT yang masa kontrak jilid I habis di 2019, agar bisa dikelola bangsa sendiri sesuai visi kemandirian nasional," katanya.(TZ.E008)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017