Harare (ANTARA) - Serikat pekerja pegawai negeri sipil (PNS) di Zimbabwe pada Selasa mengatakan mereka tidak sanggup bekerja.
Pemicunya, harga-harga kebutuhan pokok, termasuk di antaranya pangan dan bahan bakar minyak melambung tinggi.
Mogoknya para pekerja pun menambah persoalan yang dihadapi pemerintah Zimbabwe di tengah anjloknya perekonomian di negara tersebut.
Walaupun demikian, beberapa serikat pekerja di Zimbabwe menyerukan agar aksi mogok kerja juga berhenti sementara karena mereka ingin memberi waktu untuk pemerintah menanggapi permintaan kenaikan gaji.
Presiden Zimbabwe Emmerson Mnangagwa tengah dililit persoalan ekonomi seperti inflasi tiga digit, kelangkaan sejumlah komoditas seperti bahan bakar minyak, pangan, juga dolar AS. Kondisi itu pun memaksa pemadaman bergilir dilakukan di sejumlah tempat sehingga membuat sektor pertambangan dan industri lain ikut terdampak.
Inflasi tinggi itu terjadi setelah pemerintah menghentikan subsidi untuk bahan bakar minyak dan listrik, serta memakai kembali dolar Zimbabwe sebagai ganti dolar AS sebagai mata uangnya. Langkah itu diyakini sejumlah pihak dapat menghambat pemerintah memulihkan perekonomian di Zimbabwe.
Dewan Apex, aliansi 14 serikat pekerja dari sektor publik, mengatakan pihaknya pada Senin telah menyampaikan bahwa 230 ribu anggotanya, selain aparat keamanan dan petugas kesehatan, tidak sanggup kembali bekerja.
Salah satu pimpinan Dewan Apex, Thomas Muzondo, mengatakan para pekerja akan kembali ke kantor apabila mereka sanggup melakukan kegiatan tersebut. Pernyataan itu disampaikan saat Muzondo ditanya mengenai kemungkinan langkah serikat pekerja akan berujung jadi mogok kerja massal.
"Ini adalah situasi di saat pekerja tidak sanggup untuk masuk ke kantor. Mereka ingin bekerja, tetapi tidak bisa. Ini bukan upaya mangkir kerja," kata Muzondo.
Bagi serikat buruh, para pegawai negeri sipil harus dibayar dengan upah dalam bentuk dolar AS. Permintaan buruh, pemerintah harus menggaji mereka minimal 1.023 Zimbabwe dolar per bulan atau setara dengan 475 dolar AS.
Di pasar, harga gula, minyak goreng, dan tepung jagung melonjak naik setidaknya satu kali dalam seminggu. Harga-harga meningkat seiring dengan pelemahan mata uang Zimbabwe. Walaupun demikian, gaji pegawai tidak ikut meningkat untuk mengimbangi kenaikan harga kebutuhan pokok.
Beberapa dokter di rumah sakit pemerintah telah mogok kerja sejak 3 September menuntut kenaikan upah. Mereka berjanji tidak akan kembali bekerja, meskipun pengadilan memutuskan aksi para dokter itu melanggar hukum.
Pemerintah saat ini dihadapkan pada dua pilihan, menuruti keinginan para buruh atau tetap menempatkan alokasi anggaran untuk gaji pegawai pada jumlah terendah. Pasalnya, porsi gaji pegawai yang rendah merupakan salah satu komitmen pemerintah terhadap program Dana Moneter Internasional (IMF) yang akan berakhir pada tahun depan.
Selain krisis ekonomi terburuk dalam 10 tahun terakhir, rakyat Zimbabwe juga menghadapi musim kering yang membuat jumlah produksi bahan pangan berkurang. Pemerintah di bawah kepemimpinan Mnangagwa pun cemas mengantisipasi aksi unjuk rasa yang dapat berujung ricuh sebagaimana terjadi pada Januari.
Saat itu, warga turun ke jalan memprotes naiknya harga bahan bakar minyak.
Krisis ekonomi saat ini pun mengingatkan rakyat terhadap situasi serupa saat Zimbabwe dipimpin oleh mendiang Presiden Robert Mugabe. Di bawah kepemimpinan Mugabe, Zimbabwe mengalami hiper-inflasi hingga 500 persen, dan para pekerja berhenti masuk ke kantor karena gaji dan uang pensiun mereka tidak dapat digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan pokok.
Sumber: Reuters