Pontianak (Antara Kalbar) - WWF Indonesia sebagai lembaga pendamping, membidik Desa Sungai Nibung sebagai target sasaran pembuatan plot percontohan penerapan Fishery Improvement Project (FIP).

"Plot ini bertujuan menjamin pengelolaan kepiting yang berkelanjutan," kata Manajer Program Kalbar WWF-Indonesia Albertus Tjiu di Pontianak, Selasa.

Dia mengatakan bahwa hasil kajian penilaian awal dengan standar MSC menunjukkan bahwa perikanan kepiting bakau di perairan Kubu Raya sudah ada sejak 1980-an. "Nelayan kita menggunakan alat tangkap bernama rakang," tuturnya.

Menurut Albert, transisi penggunaan alat tangkap rakang ke bubu diperkirakan terjadi sekitar tahun 2007. Bubu untuk penangkapan kepiting bakau ini diketahui berasal dari Malaysia dan pertama kali digunakan oleh nelayan Kubu. Semenjak itu, nelayan dari desa lain mulai mengadopsi penggunaan bubu untuk melakukan penangkapan kepiting.

Dalam perkembangannya, jelas Albert, nelayan menyebut bahwa telah terjadi penurunan, baik dari sisi jenis dan jumlah kepiting bakau terutama sejak tahun 2011. "Penyebab turunnya hasil tangkapan menurut nelayan adalah karena penggunaan bubu,� kata Albert.

Hal ini sangat beralasan, sebab alat tangkap bubu sangat efektif. Apalagi saat ini tidak ada seleksi ukuran kepiting bakau yang ditangkap. Pun, tidak ada area perlindungan serta pengelolaan yang belum terintegrasi antara semua stakeholder yang ada di Perairan Kubu Raya.

Kendati demikian, jelas Albert, penurunan stok kepiting bakau ini tidak bisa dipastikan secara de facto karena tidak ada pencatatan hasil tangkapan oleh nelayan. Penangkapan kepiting bakau di lokasi ini juga bersifat open access.

Semua nelayan bebas menangkap kepiting bakau di semua lokasi dan belum ada pengaturan atau strategi penangkapan yang mengarah ke skema keberlanjutan.

Oleh karenanya, WWF-Indonesia memandang hasil kajian penilaian awal dengan standar MSC sangat penting disosialisasikan kepada stakeholder terkait. "Kita berharap ini akan menjadi salah satu informasi penting dalam pengelolaan perikanan kepiting di Kubu Raya secara berkelanjutan," tuturnya.

Sementara itu, Kepala Desa Sungai Nibung Syarif Ibrahim menyambut baik inisiatif WWF membangun plot percontohan FIP di desanya.

"Ini adalah inisiatif yang baik. Kami punya kawasan kelola, tinggal infrastruktur pendukung dan kapasitas masyarakat yang perlu diperhatikan," katanya.

Menurut Syarif Ibrahim, infrastruktur dimaksud adalah ketersediaan bibit kepiting untuk dibudidayakan. Selanjutnya adalah peningkatan kapasitas masyarakat.

"Kita mohon pendampingan itu dilakukan. Harapannya ke depan kesejahteraan masyarakat bisa meningkat tanpa harus merusak lingkungan," kata Syarif.

Potensi besar di sektor perikanan disertai nilai ekonomi yang tinggi mendorong adanya upaya komprehensif agar kepiting bakau ini dapat dikelola secara berkelanjutan. Salah satunya adalah melakukan kajian penilaian awal dengan standar Marine Stewardship Council (MSC) terhadap praktik penangkapan kepiting bakau oleh masyarakat di perairan Kubu Raya.

Kepala Unit KPH Wilayah Kubu Raya (KPHP Unit XXXIII), Ponty Wijaya menyambut baik upaya tersebut. "Pemerintah mengapresiasi sebagai sebuah komitmen bersama untuk mensejahterakan masyarakat tanpa harus merusak," katanya.

Menurut Ponty, sangat penting melibatkan masyarakat dari awal hingga proses kegiatan berjalan. Bila perlu program pendampingan masyarakat itu berkelanjutan, terutama dalam menyusun rencana aksi terhadap praktik penangkapan kepiting bakau di perairan Kubu Raya.

Lebih jauh Ponty menjelaskan bahwa kemitraan yang sudah dibangun dalam mengelola potensi kawasan Kubu Raya secara berkelanjutan perlu terus dipertahankan.

"Kubu Raya punya potensi mangrove paling lengkap, dimana empat jenis di antaranya paling langka di dunia. Kita juga punya bekantan, pesut, dan satwa lainnya. Mari kita kelola kawasan itu melalui pendekatan ekowisata," katanya.


(U.SYS/T013)

Pewarta: Rendra Oxtora

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017