Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menyatakan, pengguna BBM solar bersubsidi harus diatur oleh pemerintah agar tepat sasaran.
"Setidaknya harus ada pemilahan pada pengguna yang berhak atas solar bersubsidi agar subsidi untuk BBM tersebut tidak `membengkak`," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan, selain kendaraan angkutan pertambangan yang dilarang menggunakan solar bersubsidi, maka harusnya pemerintah bisa menetapkan bahwa solar bersubsidi hanya untuk kendaraan angkutan barang atau penumpang ber plat hitam dan milik perorangan.
"Atau bisa pula hanya berlaku bagi kendaraan yang berplat kuning saja, artinya pengguna solar bersubsidi harus ada pembatasan, tidak bisa bebas seperti saat ini," ungkapnya.
Ia menambahkan, jika pemerintah dan DPR RI menyetujui adanya seleksi terhadap masyarakat pengguna listrik yang berarti mengurangi beban subsidi serta mengkoreksi naik besaran TDL, maka seharusnya demi mengurangi besaran subsidi pada solar, juga perlu diseleksi pengguna yang berhak atas solar bersubsidi tersebut.
"Subsidi BBM solar atau premium harusnya dibuat dengan pola subsidi tetap. Pemerintah mensubsidi secara tetap maksimal sebesar Rp1.000 per liter dari harga keekonomian yang berlaku," kata Sofyano.
Menanggapi, besaran subsidi untuk BBM solar bersubsidi sekitar Rp20,7 triliun di tahun 2017 yang disusbdidi oleh BUMN Pertamina, dengan kuota sebesar 14,82 juta kilo liter di tahun 2017, menurut dia angka subsidi tersebut itu sangat luar biasa.
Sementara untuk subsidi dari pemerintah sebesar Rp500 per liter, maka para pengguna solar bersubsidi menikmati subsidi dari negara sekitar Rp7,4 triliun, atau total subsidi terhadap BBM solar adalah sekitar Rp28 triliun, katanya.
"Angka subsidi sebesar itu, melebihi angka subsidi untuk gas tiga kilogram. Dan dalih bahwa solar bersubsidi digunakan untuk menggerakkan perekonomian, hendaknya perlu dikaji ulang oleh pemerintah," katanya.
Selain itu, pemerintah harus menseleksi pengguna solar bersubsidi sehingga penggunaannya tepat dan tidak menjadi beban bagi negara, sehingga dirasa adil oleh masyarakat, kata Sofyano.
(U.A057/B012)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017
"Setidaknya harus ada pemilahan pada pengguna yang berhak atas solar bersubsidi agar subsidi untuk BBM tersebut tidak `membengkak`," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan, selain kendaraan angkutan pertambangan yang dilarang menggunakan solar bersubsidi, maka harusnya pemerintah bisa menetapkan bahwa solar bersubsidi hanya untuk kendaraan angkutan barang atau penumpang ber plat hitam dan milik perorangan.
"Atau bisa pula hanya berlaku bagi kendaraan yang berplat kuning saja, artinya pengguna solar bersubsidi harus ada pembatasan, tidak bisa bebas seperti saat ini," ungkapnya.
Ia menambahkan, jika pemerintah dan DPR RI menyetujui adanya seleksi terhadap masyarakat pengguna listrik yang berarti mengurangi beban subsidi serta mengkoreksi naik besaran TDL, maka seharusnya demi mengurangi besaran subsidi pada solar, juga perlu diseleksi pengguna yang berhak atas solar bersubsidi tersebut.
"Subsidi BBM solar atau premium harusnya dibuat dengan pola subsidi tetap. Pemerintah mensubsidi secara tetap maksimal sebesar Rp1.000 per liter dari harga keekonomian yang berlaku," kata Sofyano.
Menanggapi, besaran subsidi untuk BBM solar bersubsidi sekitar Rp20,7 triliun di tahun 2017 yang disusbdidi oleh BUMN Pertamina, dengan kuota sebesar 14,82 juta kilo liter di tahun 2017, menurut dia angka subsidi tersebut itu sangat luar biasa.
Sementara untuk subsidi dari pemerintah sebesar Rp500 per liter, maka para pengguna solar bersubsidi menikmati subsidi dari negara sekitar Rp7,4 triliun, atau total subsidi terhadap BBM solar adalah sekitar Rp28 triliun, katanya.
"Angka subsidi sebesar itu, melebihi angka subsidi untuk gas tiga kilogram. Dan dalih bahwa solar bersubsidi digunakan untuk menggerakkan perekonomian, hendaknya perlu dikaji ulang oleh pemerintah," katanya.
Selain itu, pemerintah harus menseleksi pengguna solar bersubsidi sehingga penggunaannya tepat dan tidak menjadi beban bagi negara, sehingga dirasa adil oleh masyarakat, kata Sofyano.
(U.A057/B012)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017