Hodeidah (Antaranews Kalbar) - Nelayan di Kota Pelabuhan Yaman, Hodeidah, telah menghadapi pilihan yang sulit setiap pagi: apakah terus menyaksikan anak mereka terancam kelaparan hingga menemui ajal atau menangkap ikan di bawah bayangan serangan udara gencar.
Menangkap ikan di Laut Merah adalah sumber utama nafkah buat ribuan keluarga miskin yang tinggal di kota yang dicabik pertempuran tersebut.
Abdullah Ibrahim, yang berusia 30-an tahun, adalah salah seorang nelayan kota itu yang telah kehilangan banyak temannya akibat pemboman saat mereka menangkap ikan di lepas pantai.
"Kami menderita ... kami pergi menangkap ikan dan itu bisa membuat kami membayar harga yang sangat mahal, harganya adalah nyawa kami," kata Ibrahim kepada Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa siang.
Baca juga: Warga Yaman rayakan Idul Adha di tengah penderitaan
"Selain itu, ada blokade Angkatan Laut. Jika kami pergi menangkap ikan hari ini, maka kami mungkin tak bisa melakukannya besok," kata Ibrahim sambil bersandar ke perahu kayunya.
"Hidup menjadi sangat sulit dan kami tak memiliki pekerjaan lain," Ibrahim menambahkan.
Sejak Juni, koalisi militer pimpinan Arab Saudi secara rutin telah mengeluarkan peringatan kepada nelayan agar menjauhi medan pertempuran dan zona militer di lepas pantai Hodeidah.
Pesawat tempur, Helikopter Apache, medan pertempuran, pasukan artileri secara tiba-tiba telah menyerang bagian dalam negeri itu.
Koaliai tersebut sejauh ini telah membuka pelabuhan kota itu buat kapal bantuan dan komersial.
Dua-belas hari sebelumnya, satu kapal frigat menyerang satu perahu nelayan di lepas pantai Pelabuhan Laut Merah Hodeidah, Al-Khoukha, sehingga menewaskan 18 nelayan dan melukai satu orang lagi, kata seorang nelayan yang selamat dari serangan tersebut.
Kolonel Turki Al-Maliki, Juru Bicara Koalisi itu, mengatakan di dalam satu pernyataan bahwa laporan semacam itu oleh sebagian media "tak berdasar".
Al-Maliki menambahkan, "Kapal yang tidak dikenal melepaskan tembakan ke arah nelayan, dan menewaskan 17 orang," katanya. Ia menuduh gerilyawan Syiah Al-Houthi melancarkan serangan serupa pada waktu lalu.
Baca juga: Keamanan Yaman penting untuk seluruh wilayah
Seorang nelayan lain, Saeed Ahmed, mengatakan menangkap ikan telah menjadi mimpi buruk. Ia menyampaikan kekhawatirannya bahwa ia bisa kehilangan nyawanya kapan saja di laut, dan menggambarkan menangkap ikan sebagai "jalan tanpa jalan pulang".
"Sekarang kami tak bisa menangkap ikan selama dua jam secara aman," kata Ahmed.
Pertempuran untuk memperebutkan Hodeidah dimulai pada Juni. Dalam peristiwa tersebut, pasukan pemerintah telah bergerak maju dari Mocha, Kota Pelabuhan di bagian barat-daya Yaman yang dikuasai pemerintah, ke Kabupaten Ad-Durayhemi dam Tahita. Pasukan pemerintah merebut kedua daerah di ujung selatan dan timur kota pelabuhan itu.
Gerak maju pasukan militer terhenti sebentar pada Agustus untuk memungkinkan upaya perdamaian lebih lanjut oleh utusan PBB untuk Yaman, Martin Griffiths, untuk membawa semua pihak yang berperang ke meja perundingan di Jenewa, Swiss.
Menurut warga di Hodeidah, pertempuran telah bertambah sengit sejak awal September, setelah ambruknya pembicaraan perdamaian yang dituan-rumahi PBB di Jenewa pada 28 September, setelah delegasi gerilyawan Al-Houthi tidak muncul.
Berbagai lembaga bantuan di Yaman mengidentifikasi bahwa hampir 500.000 orang telah meninggalkan rumah mereka di Hodeidah antara Juni dan Agustus.
Di Ibu Kota Yaman, Sana'a, harga ikan sangat mahal, dan hanya segelintir keluarga kelas menengah bisa membelinya.
Pedagang ikan yang bernama Ali Jabir mengatakan usahanya telah menjadi sangat lemah sebab harga melambung tinggi dan pelanggan merosot tajam.
"Jalan Kilo 16, yang menjadi jalur perjalanan dari Hodeidah ke Sana'a dengan daya tempuh empat jam berkendaraan, telah ditutup sejak awal September," kata Jabir.
"Sekarang kami harus berkendaraan lebih dari 15 jam melalui jalan pegunungan tenggara Jabal Ash-Shark ke Provinsi Dhamar di bagian selatan dan kemudian ke Sana'a," ia menambahkan.
Talal Al-Mesyabi, warga kelas menengah Sana'a dan ayah dua anak perempuan, mengatakan ia sebelumnya biasa membeli ikan buat keluarganya setiap hari tiga bulan lalu.
"Tapi sekarang, saya bisa membeli satu porsi ikan hanya pada akhir bulan," kata Talal.
Yaman telah terjerumus ke dalam perang saudara sejak gerilyawah Syiah dukungan Iran, Al-Houthi, menguasai sebagian besar negeri itu secara militer dan merebut semua provinsi Yaman Utara, termasuk Ibu Kotanya, Sana'a, pada 2014.
Arab Saudi memimpin koalisi militer Arab yang ikut-campur di Yaman pada 2015 untuk mendukung Pemerintah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi, setelah gerilyawan Al-Houthi memaksa dia hidup di pengasingan.
Perang tersebut telah menewaskan lebih dari 10.000 orang dan membuat lebih dari tiga juta orang lagi menyelamatkan diri.
Menurut laporan PBB, sebanyak 18 juta dari 29 juta warga Yaman, termasuk sebagian besar anak-anak, menghadapi kondisi rawan pangan. Lebih dari delapan juta di antara mereka menghadapi rawan pangan parah, yang berarti mereka tidak tahu dari mana makanan mereka selanjutnya.
Lembaga bantuan internasional Save The Children juga memperingatkan bahwa 5,2 juta anak Yaman terancam kelaparan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018