Pontianak (Antaranews Kalbar) - Meski telah memanfaatkan kebijakan ekspor oleh pemerintah, namun tiga perusahaan tambang di Provinsi Kalimantan Barat, laporan perkembangan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) hingga saat ini masih rendah.
"Ketiga perusahaan pertambangan tersebut sudah memanfaatkan kebijakan ekspor oleh Pemerintah diantaranya PT Laman Mining, PT Kalbar Bumi Perkasa dan PT Dinamika Sejahtera Mandiri tetapi program smelternya masih rendah," kata Kepala Bidang Minerba Dinas ESDM Kalbar, Sigit Nugroho di Pontianak, Minggu.
Sementara dua perusahaan tambang yang sudah memiliki smelter, yakni PT Indonesia Chemical Alumina (Antam Group), dan PT WHW (Harita Group).
Ia menjelaskan, rendahnya realisasi pembangunan smelter di Kalbar menimbulkan persepsi bahwa kebijakan pelonggaran ekspor mineral mentah disalahgunakan, karena setelah jutaan ton nikel dan bauksit diekspor tanpa dimurnikan, tapi tidak satu pun smelter yang sudah terbangun.
Seperti diketahui pemerintah pusat sejak Januari 2017 lalu telah melakukan upaya dengan mengeluarkan kebijakan izin rekomendasi kepada perusahaan untuk ekspor mineral mentah guna menekan biaya pembangunan smelter, tetapi progres pembangunan smelternya masih sangat rendah bahkan bisa dikategorikan nihil, katanya.
Ia menjelaskan, jika mengacu pada UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal 103 dan pasal 104 bahwa pemerintah baru boleh memberikan izin ekspor bagi perusahaan-perusahaan yang memurnikan seluruh hasil tambangnya di dalam negeri baik dengan membangun smelter sendiri atau pun dengan bekerjasama dengan perusahaan smelter lainnya.
Dalam kesempatan itu, Sigit enggan mengomentari terkait masih rendahnya progres pembangunan smelter perusahaan tambang di Kalbar sekalipun telah memanfaatkan izin ekspor mineral mentah untuk menekan angka pembangunan smelter tersebut.
"Itu sebenarnya ranahnya perusahaan, kenapa tidak bisa 'kebut' progresnya, yang pasti pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan izin ekspor dengan catatan dia (perusahaan tambang tersebut) membangun smelter," ujarnya.
Sampai saat ini diakui Sigit, pihaknya juga belum pernah melakukan peninjauan progres pembangunan perusahaan smelter di Kalbar, dan dia berdalih hal tersebut merupakan kebijakan pemerintah pusat.
"Tapi awal tahun 2019 mendatang kami berencana akan melakukan peninjauan, agar bisa mengetahui juga kesulitan mereka (perusahaan)," katanya.
Mengenai kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang meminta pemerintah daerah bersikap tegas terhadap izin usaha pertambangan (IUP) yang tidak memenuhi syarat clean and clear (CnC), Sigit mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan rekonsiliasi IUP Kalbar, yang final sekitar bulan Oktober lalu.
"Jadi, dari 528 IUP minerba di Kalbar, sekarang tinggal tiga perusahaan pertambangan yang bersatus non-CnC yang akan kami cabut yaitu PT Ketapang Makmur Mandiri, PT Sumber Agro Lestari, dan PT Gema Nusa Abadi Mineral karena dianggap telah berakhir," ungkapnya.
Ia menambahkan, pihaknya juga sifatnya merekomendasikan ke Dinas PMPTSP, jadi nanti dinas tersebut yang bersangkutan yang eksekusinya.
Hal tersebut, menurut dia dilakukan dengan mengacu pada Permen ESDM No. 43/2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan IUP Minerba, maka IUP yang berstatus non-Clean and Clear (Non-CnC) harus dicabut atau berakhir.
"Untuk itu, jika pemegang IUP yang ingin melakukan eksplorasi ternyata tak memenuhi syarat yang ada, Pemda diminta mencegahnya," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018
"Ketiga perusahaan pertambangan tersebut sudah memanfaatkan kebijakan ekspor oleh Pemerintah diantaranya PT Laman Mining, PT Kalbar Bumi Perkasa dan PT Dinamika Sejahtera Mandiri tetapi program smelternya masih rendah," kata Kepala Bidang Minerba Dinas ESDM Kalbar, Sigit Nugroho di Pontianak, Minggu.
Sementara dua perusahaan tambang yang sudah memiliki smelter, yakni PT Indonesia Chemical Alumina (Antam Group), dan PT WHW (Harita Group).
Ia menjelaskan, rendahnya realisasi pembangunan smelter di Kalbar menimbulkan persepsi bahwa kebijakan pelonggaran ekspor mineral mentah disalahgunakan, karena setelah jutaan ton nikel dan bauksit diekspor tanpa dimurnikan, tapi tidak satu pun smelter yang sudah terbangun.
Seperti diketahui pemerintah pusat sejak Januari 2017 lalu telah melakukan upaya dengan mengeluarkan kebijakan izin rekomendasi kepada perusahaan untuk ekspor mineral mentah guna menekan biaya pembangunan smelter, tetapi progres pembangunan smelternya masih sangat rendah bahkan bisa dikategorikan nihil, katanya.
Ia menjelaskan, jika mengacu pada UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal 103 dan pasal 104 bahwa pemerintah baru boleh memberikan izin ekspor bagi perusahaan-perusahaan yang memurnikan seluruh hasil tambangnya di dalam negeri baik dengan membangun smelter sendiri atau pun dengan bekerjasama dengan perusahaan smelter lainnya.
Dalam kesempatan itu, Sigit enggan mengomentari terkait masih rendahnya progres pembangunan smelter perusahaan tambang di Kalbar sekalipun telah memanfaatkan izin ekspor mineral mentah untuk menekan angka pembangunan smelter tersebut.
"Itu sebenarnya ranahnya perusahaan, kenapa tidak bisa 'kebut' progresnya, yang pasti pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan izin ekspor dengan catatan dia (perusahaan tambang tersebut) membangun smelter," ujarnya.
Sampai saat ini diakui Sigit, pihaknya juga belum pernah melakukan peninjauan progres pembangunan perusahaan smelter di Kalbar, dan dia berdalih hal tersebut merupakan kebijakan pemerintah pusat.
"Tapi awal tahun 2019 mendatang kami berencana akan melakukan peninjauan, agar bisa mengetahui juga kesulitan mereka (perusahaan)," katanya.
Mengenai kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang meminta pemerintah daerah bersikap tegas terhadap izin usaha pertambangan (IUP) yang tidak memenuhi syarat clean and clear (CnC), Sigit mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan rekonsiliasi IUP Kalbar, yang final sekitar bulan Oktober lalu.
"Jadi, dari 528 IUP minerba di Kalbar, sekarang tinggal tiga perusahaan pertambangan yang bersatus non-CnC yang akan kami cabut yaitu PT Ketapang Makmur Mandiri, PT Sumber Agro Lestari, dan PT Gema Nusa Abadi Mineral karena dianggap telah berakhir," ungkapnya.
Ia menambahkan, pihaknya juga sifatnya merekomendasikan ke Dinas PMPTSP, jadi nanti dinas tersebut yang bersangkutan yang eksekusinya.
Hal tersebut, menurut dia dilakukan dengan mengacu pada Permen ESDM No. 43/2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan IUP Minerba, maka IUP yang berstatus non-Clean and Clear (Non-CnC) harus dicabut atau berakhir.
"Untuk itu, jika pemegang IUP yang ingin melakukan eksplorasi ternyata tak memenuhi syarat yang ada, Pemda diminta mencegahnya," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018