Pontianak (Antaranews Kalbar) - Direktur Pusat Studi Kebijakan, Sofyano Zakaria menyatakan, pemerintah daerah harus mengawasi pembayaran PBBKB (Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor) oleh BU-PIUNU (Badan Usaha Pemegang Izin Niaga Umum) swasta.
   
"Pengawasan ketat tersebut harus dilakukan oleh pemda khususnya kepada pembayaran PBBKB bagi BBM industri dan marines atau BBM nonsubsidi, sementara untuk PBBKB di SPBU-SPBU sudah berjalan sesuai ketentuan," kata Sofyano Zakaria saat di hubungi di Jakarta, Jumat.
   
Sofyano menjelaskan, untuk PT Pertamina (persero) dan Patra Niaga sudah langsung dipungut pembayaran PBBKB dari para agennya, sementara terhadap Badan Usaha Niaga Umum swasta tidak, sehingga harus diawasi secara ketat.
   
Ia menambahkan, dalam harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi (BBM industri dan marines), terdapat komponen PBBKB yang besarnya ditetapkan oleh masing-masing pemda yang bersangkutan, yang diatur dalam Perpres No. 22/2005 tentang Harga Jual Eceran BBM Dalam Negeri.
   
Sofyano mencontohkan, untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta misalnya, mereka menetapkan besaran PBBKB sebesar 5 persen per liter, yang mengacu padaa Perda Pemrop DKI No. 10/2010.
   
"Perolehan PBBKB bagi pemda sangat berarti sehingga harus diawasi secara intensif, terutama terhadap pemungutan PBBKB BBM nonsubsidi. Apalagi pengawasan penjualan BBM nonsubsidi bagi keperluan industri, laut atau perairan atau dikenal dengan BBM marines, sulit mengawasinya karena bisnis itu nyaris dilakukan secara 'door to door'," ungkapnya.
   
Menurut dia, penyedia BBM industri marine yang berbentuk BU-PIUNU tercatat sekitar 120 BU-PIUNU yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan total sekitar 60 juta kiloliter BBM nonsubsid industri marines yang diperdagangkan setiap tahunnya.
   
"Jika PBBKB untuk BBM industri marines yang besarannya sekitar 5 hingga 7,5 persen atau sekitar Rp200 /liter, maka PBBKB secara nasional menyumbang pendapatan bagi pemda sekitar Rp12 triliun/tahun," ujarnya.
   
Sehingga, menurut Sofyano sebaiknya pemda bekerjasama dengan Badan Usaha Niaga Umun BUMN dan anak perusahaannya, yakni Pertamina dan Patra Niaga agar BUMN ini memungut PBBKB ketika Badan Usaha Niaga Umum swasta membeli BBM industri marines darinya. 
   
"Lebih mudah mengontrol Pertamina dan Patra Niaga terkait pemungutan PBBKB ketimbang pihak swasta, karena mereka langsung memungut PBBKB dari agen-agen mereka ketika para agen membeli BBM industri marines darinya. Sementara hal yang sama tidak dilakukan terhadap Badan Usaha Niaga Umum swasta karena mereka juga adalah badan usaha yang juga adalah wajib pungut," ujarnya.
   
Ia menambahkan, tidak dipungutnya PBBKB dari pembeli akhir oleh para wajib pungut bisa membuat selisih harga yang cukup besar, dan menjadi masalah sebagai persaingan yang tidak sehat antar pelaku bisnis BBM industri marines atau pemdalah yang dirugikan.
 

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019