Gubernur Kalbar, Sutarmidji didampingi Bupati Sanggau melakukan penyerahan sertifikat lahan kepada masyarakat adat yang ada di Kabupaten Sanggau.
"Penyerahan sertifikat ini merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap hak-hak masyarakat atas tanah. Adanya sertifikat ini untuk melindungi tanah masyarakat (mereka), hak tanah mereka di lindungi oleh undang-undang, jadi kalau ada yang bilang ini bagi-bagi lahan itu salah besar," kata Sutarmidji, Sabtu (30/3).
Sutarmidji mengatakan realisasi perizinan perhutanan sosial yang telah terbit di Provinsi Kalbar salah satu yang perlu didorong adalah terkait hutan adat. Kendala yang dihadapi dalam penentuan hukum adat adalah mengharuskan adanya produk hukum daerah yang mengakui masyarakat hukum adat tersebut yaitu berupa peraturan daerah untuk hutan adat yang berada dalam kawasan hutan dan peraturan/keputusan bupati untuk hutan adat yang berada di luar kawasan hutan.
"Sampai dengan akhir 2018, baru 4 kabupaten yang memiliki Perda Pengakuan Masyarakat Hukum adat, yakni Kabupaten Sanggau, Sintang, Landak dan Melawi. Proses penerbitan Perda ini di kabupaten lainnya perlu segera didorong dalam rangka percepatan pengakuan hak wilayah adat, khususnya yang berada di dalam kawasan hutan," katanya.
Ia mengatakan untuk Kabupaten Sanggau sendiri, hingga saat ini telah diterbitkan sebanyak 15 akses kelola perhutanan sosial dengan total luasan 12.104,68 ha. Adapun perizinan perhutanan sosial terdiri dari 10 nit HKM dengan luas 8.465,00 ha, 3 unit HTR dengan luas 799,68 ha dan 2 unit diantaranya merupakan hutan adat dengan luas mencapai 2.840,00 ha.
Pembangunan pedesaan merupakan salah satu fokus utama Pemprov Kalbar dalam rangka mendongkrak IPM yang saat ini berada pada angka 66 persen. Angka ini masih cukup jauh dari rata-rata IPM Nasional yang berada pada kisaran 70-71 persen sehingga menempatkan Kalbar pada peringkat 29 dari 34 provinsi se-Indonesia.
"Dari 2.036 desa yang berada di Provinsi Kalbar, baru satu desa yang berkategori Desa Mandiri yakni di Desa Sutera di Kabupaten Kayong Utara. Ini berarti, sebagian desa di Kalbar berstatus tertinggal dan sangat tertinggal," tuturnya.
Fakta menunjukkan bahwa ketertinggalan atau tingginya angka kemiskinan di wilayah perdesaan dipicu rendah akses masyarakat kepemilikan dan penguasa lahan. Keterbatasan akses terhadap lahan tersebut telah memicu semakin banyaknya konflik terkait tenurial.
Menyikapi hal tersebut, maka Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menetapkan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) sebagai agenda prioritas nasional dalam Rencana Kerja Pemerintah.
"Kebijakan RAPS ini dicanangkan sebagai langkah untuk memberikan akses legal kepada masyarakat terhadap hutan dan lahan dalam rangka pemerataan ekonomi dan mengurangi kesenjangan pembangunan," jelasnya.
Kebijakan RAPS juga diselenggarakan dalam rangka mengatasi ketimpangan dan penyelesaian kasus agraria, termasuk untuk mengatasi kemiskinan di perdesaan dan memperluas akses kredit untuk rakyat.
Melalui program perhutanan sosial masyarakat diberikan peluang untuk mengelola sumberdaya hutan secara sah dengan skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Hak/Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.
Program perhutanan sosial sendiri digalakkan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan. Kebijakan ini didasari fakta bahwa sebagian lahan kelola masyarakat berada pada kawasan hutan sehingga aktivitas masyarakat dianggap "illegal" dan masyarakat diberi label sebagai "perambah".
"Berdasarkan hasil telaahan yang telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar terdapat 718 desa yang terindikasi berada pada kawasan hutan. Seperti kita ketahui bersama bahwa kawasan hutan merupakan hutan negara yang tidak dapat menjadi hak milik atau disertifikatkan.
Pemerintah melalui Kementerian/Lembaga terkait telah mengalokasi target nasional seluas 12,7 juta Ha untuk perhutanan sosial dan 9 juta Ha untuk reforma agraria melalui program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) hingga tahun 2019.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019
"Penyerahan sertifikat ini merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap hak-hak masyarakat atas tanah. Adanya sertifikat ini untuk melindungi tanah masyarakat (mereka), hak tanah mereka di lindungi oleh undang-undang, jadi kalau ada yang bilang ini bagi-bagi lahan itu salah besar," kata Sutarmidji, Sabtu (30/3).
Sutarmidji mengatakan realisasi perizinan perhutanan sosial yang telah terbit di Provinsi Kalbar salah satu yang perlu didorong adalah terkait hutan adat. Kendala yang dihadapi dalam penentuan hukum adat adalah mengharuskan adanya produk hukum daerah yang mengakui masyarakat hukum adat tersebut yaitu berupa peraturan daerah untuk hutan adat yang berada dalam kawasan hutan dan peraturan/keputusan bupati untuk hutan adat yang berada di luar kawasan hutan.
"Sampai dengan akhir 2018, baru 4 kabupaten yang memiliki Perda Pengakuan Masyarakat Hukum adat, yakni Kabupaten Sanggau, Sintang, Landak dan Melawi. Proses penerbitan Perda ini di kabupaten lainnya perlu segera didorong dalam rangka percepatan pengakuan hak wilayah adat, khususnya yang berada di dalam kawasan hutan," katanya.
Ia mengatakan untuk Kabupaten Sanggau sendiri, hingga saat ini telah diterbitkan sebanyak 15 akses kelola perhutanan sosial dengan total luasan 12.104,68 ha. Adapun perizinan perhutanan sosial terdiri dari 10 nit HKM dengan luas 8.465,00 ha, 3 unit HTR dengan luas 799,68 ha dan 2 unit diantaranya merupakan hutan adat dengan luas mencapai 2.840,00 ha.
Pembangunan pedesaan merupakan salah satu fokus utama Pemprov Kalbar dalam rangka mendongkrak IPM yang saat ini berada pada angka 66 persen. Angka ini masih cukup jauh dari rata-rata IPM Nasional yang berada pada kisaran 70-71 persen sehingga menempatkan Kalbar pada peringkat 29 dari 34 provinsi se-Indonesia.
"Dari 2.036 desa yang berada di Provinsi Kalbar, baru satu desa yang berkategori Desa Mandiri yakni di Desa Sutera di Kabupaten Kayong Utara. Ini berarti, sebagian desa di Kalbar berstatus tertinggal dan sangat tertinggal," tuturnya.
Fakta menunjukkan bahwa ketertinggalan atau tingginya angka kemiskinan di wilayah perdesaan dipicu rendah akses masyarakat kepemilikan dan penguasa lahan. Keterbatasan akses terhadap lahan tersebut telah memicu semakin banyaknya konflik terkait tenurial.
Menyikapi hal tersebut, maka Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menetapkan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) sebagai agenda prioritas nasional dalam Rencana Kerja Pemerintah.
"Kebijakan RAPS ini dicanangkan sebagai langkah untuk memberikan akses legal kepada masyarakat terhadap hutan dan lahan dalam rangka pemerataan ekonomi dan mengurangi kesenjangan pembangunan," jelasnya.
Kebijakan RAPS juga diselenggarakan dalam rangka mengatasi ketimpangan dan penyelesaian kasus agraria, termasuk untuk mengatasi kemiskinan di perdesaan dan memperluas akses kredit untuk rakyat.
Melalui program perhutanan sosial masyarakat diberikan peluang untuk mengelola sumberdaya hutan secara sah dengan skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Hak/Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.
Program perhutanan sosial sendiri digalakkan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan. Kebijakan ini didasari fakta bahwa sebagian lahan kelola masyarakat berada pada kawasan hutan sehingga aktivitas masyarakat dianggap "illegal" dan masyarakat diberi label sebagai "perambah".
"Berdasarkan hasil telaahan yang telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar terdapat 718 desa yang terindikasi berada pada kawasan hutan. Seperti kita ketahui bersama bahwa kawasan hutan merupakan hutan negara yang tidak dapat menjadi hak milik atau disertifikatkan.
Pemerintah melalui Kementerian/Lembaga terkait telah mengalokasi target nasional seluas 12,7 juta Ha untuk perhutanan sosial dan 9 juta Ha untuk reforma agraria melalui program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) hingga tahun 2019.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019