Kesulitan ekonomi yang menerpa hidup selama pandemi COVID-19, membuat dia mencari penghasilan tambahan, sebagai penjual burung. Alih-alih keuntungan yang diperoleh, melainkan sel tahanan menjadi tempat persinggahannya kini.

Begitulah nasib yang menimpa Jumardi atau Jumar, seorang warga Dusun Tempakung, RT 01/RW 01, Desa Tempatan, Kecamatan Sebawi, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Karena ketidaktahuannya akan peraturan perundangan yang mengatur mengenai satwa yang dilindungi, menjadikan ayah tiga anak tersebut dijerat hukum.

Ia dianggap telah melanggar Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan dimasukkannya sebagai daftar lampiran pada Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Peristiwa itu diawali ketika Jumar mencoba mencari penghasilan tambahan penyambung hidup bersama keluarga, usai dipulangkan secara paksa atau deportasi sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) karena dampak pandemi COVID-19.

Ia memang sempat bekerja di perusahaan sawit di Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya. Di sela waktu bekerja itulah, Jumar kemudian menangkap burung-burung yang banyak beterbangan di lokasi tempatnya bekerja.

Dia berhasil menangkap 10 ekor burung. Burung itu bernama Bayan dari ordo Psittaciformes. Bayan atau biasa disebut juga Betet, menurut wikipedia memiliki 350 spesies. Burung ini sering dijumpai di wilayah hangat atau tropis. Salah satu spesiesnya bernama eclectus roratus atau nuri bayan.

Ia menangkap burung itu menggunakan perangkap dari getah sebanyak tiga kali dan berhasil mengumpul 10 ekor burung, dari perangkap yang dipasangnya pada bulan Juli hingga September 2020.

Burung yang berhasil ia tangkap itu kemudian dijual seharga Rp70 ribu per ekor, dengan cara di-posting di media sosial facebook.

“Saya akan menggunakan uang hasil penjualan burung itu untuk biaya berobat anak yang sakit-sakitan dan membeli susu. Juga beli beras untuk makan sekeluarga,” kata laki-laki yang menanggung hidup seorang istri, tiga anak, dan juga sepasang mertua yang sudah berusia lanjut.

Hingga pada 10 Februari 2021, seseorang menghubunginya melalui facebook dan berniat membeli 10 ekor burung Bayan seharga Rp750 ribu.
Jumar dan calon pembeli bersepakat untuk bertemu di Tugu Limau, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas pada 11 Februari lalu. Dari kampungnya di Sentapung, ia berkendara motor sekitar 1,5 jam untuk tiba di Tugu Limau Tebas. Limau adalah nama lain dari buah jeruk asli Tebas yang terkenal manis rasanya, dan kemudian populer di nusantara sebagai Jeruk Pontianak.

Saat tiba di tugu tersebut, ia menunggu sekitar 15 menit. Tak berapa lama datang tujuh orang yang tak dikenal yang kemudian secara tiba-tiba menangkapnya. Dia kemudian dibawa dengan mobil menuju ke Pontianak. Belakangan diketahui, ketujuh orang tersebut adalah personel dari Kepolisian Daerah Kalbar.

Dia ditangkap dengan tuduhan menjual burung Bayan yang ternyata dilindungi oleh UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan dimasukkannya sebagai daftar lampiran pada Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Tuntutan pembebasan

Aliansi Mahasiswa Sambas (AMS) bersama keluarga Jumardi dan elemen masyarakat Kabupaten Sambas kemudian melakukan aksi mendesak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar untuk mempertanggungjawabkan ketidaksampaian informasi terkait satwa dilindungi.

Alasannya karena ketidaktahuan Jumardi bahwa burung-burung tersebut merupakan satwa yang dilindungi, maka ia menjualnya melalui media sosial.

Aliansi menilai sosialisasi yang dijalankan selama ini hanya di toko-toko burung saja, tidak sampai ke masyarakat desa seperti Jumardi.
“Masyarakat umum seperti Jumardi, semestinya juga turut teredukasi seperti yang telah diatur dalam Permen LHK No. 20 tahun 2018,” kata Koodinator lapangan AMS Angga, saat memimpin aksi unjuk rasa menentang penangkapan itu, pada awal Maret lalu.

Ia menambahkan, AMS mendesak BKSDA Kalbar maupun institusi terkait bertanggung jawab akan kesalahan sepihak yang telah dilakukan Jumardi.

Menanggapi aksi tersebut, Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Sadtata Nooradiramanta menyatakan tidak turut melakukan penangkapan. BKSDA menerima burung Bayan dari Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum). Burung-burung tersebut kemudian dilepas oleh BKSDA.

Ia juga menyatakan sosialisasi sudah dilakukan namun karena luasnya wilayah Kalbar menyebabkan sukarnya menjangkau seluruh masyarakat.

Praperadilan yang ditolak

Menanggapi aksi penolakan penangkapan dan proses hukum terhadap Jumardi, Ketua Komisi II (Bidang Perekonomian dan Keuangan) DPRD Kabupaten Sambas, Ahmad Hapsa menyatakan, akan melakukan pendampingan hukum kepada warga kabupaten itu, baik tanpa atau dengan penangguhan penahanan agar ia diberikan hukuman seringan-ringannya.

Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang mendukung pembebasan Jumardi, menyambut positif pernyataan tersebut.

Namun di sisi lain, mereka menyayangkan pernyataan sikap dari lembaga eksekutif seperti Bupati Sambas atas kasus Jumardi dan kekhawatiran terjadinya kasus serupa terjadi kepada masyarakat lain, khususnya masyarakat desa.

Terkait penangkapan itu, Jumardi didampingi penasihat hukumnya, Andel SH, kemudian menempuh persidangan Praperadilan dengan termohon Kapolda Kalbar.

Namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Pontianak, Deny Ikhwan, menolak Praperadilan yang diajukan kuasa hukum Jumardi terkait kasus penjualan satwa yang dilindungi, yaitu burung Bayan.

“Berdasarkan rangkaian pertimbangan, maka surat penangkapan dan surat ketetapan tersangka dianggap sah menurut hukum, sehingga permohonan yang diajukan oleh termohon Praperadilan ditolak," kata Deny Ikhwan.

Hakim itu telah mempertimbangkan barang bukti yang ada untuk membuat penilaian yang logis dalam memutuskan perkara tersebut.

"Terhadap barang bukti yang telah dipertimbangkan dianggap telah cukup untuk memberikan penilaian yang logis dalam memutuskan perkara," katanya.

Menanggapi putusan itu, Ketua FRKP Bruder Stephanus Paiman menyatakan karena penyebabnya ketidaktahuan, seharusnya Jumardi tidak ditahan dan jika pun harus diperiksa dan diadili cukup Tipiring (tindak pidana ringan) saja.

"Kami tidak ingin hal ini terjadi lagi kepada masyarakat lain seperti masyarakat Kapuas Hulu yang masih menangkap ikan belida yang kini juga termasuk satwa dilindungi," ujarnya, mengambil perumpamaan.

Namun begitu, Penasihat Hukum Jumardi, Andel menyebut pihaknya menghormati apapun keputusan dari majelis hakim PN Pontianak.

“Terhadap putusan ini, karena dari awal kami sudah mempunyai bukti dan tinggal menunggu bagaimana majelis hakim mempertimbangkannya, dan apapun keputusan majelis hakim kami terima, karena itu merupakan risiko yang harus ditaati,” kata Andel.

Sementara Kepala Bidang Hukum Polda Kalbar, Kombes (Pol) Nurhadi Handayani menyatakan, dalam kasus tersebut, Jumardi tertangkap tangan menjual burung Bayan dan dibawa ke Polda Kalbar untuk proses hukum.

“Jadi Polisi Kehutanan (Polhut) melakukan operasi dan pengawasan terhadap satwa-satwa yang dilindungi. Kemudian Jumardi ditemukan membawa burung Bayan dan ditangkap di lokasi, lalu dibawa ke Polda karena harus ditangani sesuai dengan prosedur,” katanya menjelaskan.

Karena polisi adalah pelaksana undang-undang yang berlaku, katanya lagi. Pelanggaran berdasarkan hukum yang berlaku tidak akan melihat status sosial pelaku. Karena, siapapun yang melakukan pelanggaran tidak mengenal orang kaya atau miskin, akan tetap ditangani.

Pewarta: Andilala/Nurul Hayat dan Rahma

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021