Antusiame terkait informasi perkembangan ekonomi Kalimantan Barat menjadi gambaran suasana loka karya bertajuk "Sinergi Membangun Ekonomi Kalbar Pascapandemi" yang digelar Fojekha di Hotel Maestro Pontianak, Jumat (3/2). Salah satunya datang dari Anggota DPRD Kota Pontianak, Zulfydar Zaidar Mochtar.
Zulfydar menanyakan pemanfaatan Pelabuhan Internasional Kijing yang belum terlalu berdampak pada ekonomi Kalbar sementara ini.
"Bagaimana ekspor komoditas kita, terutama CPO masih banyak tercatat di pelabuhan lain. Hal ini tentu sangat merugikan pemerintah daerah karena pajak daerah tidak kita dapatkan. Malah provinsi lain yang menikmati," sebutnya.
Ekonom Universitas Tanjungpura, Prof Dr Eddy Suratman yang menjadi narasumber dalam seminar itu berpendapat serupa. Menurutnya, berdasarkan perkiraan, transaksi CPO yang keluar dari Kalbar berkisar antara Rp150-200 triliun per tahun.
Terkait pemanfaatan Pelabuhan Internasional Kijing yang masih minim, Eddy menyebut perlu banyak hal yang harus dipenuhi agar pelabuhan tersebut bisa optimal. "Misalnya kita lihat jalan dari Pontianak ke Kijing yang kapasitasnya belum mampu untuk lalu lintas angkutan komoditas. Tahun ini rencananya memang akan dimulai pembangunan jalan tol di sana," ujarnya.
Selain itu, sejumlah proyek pembangunan industri manufaktur di kawasan Pelabuhan Kijing sedang dibangun atau direncanakan untuk dibangun. Hal tersebut penting bagi ekonomi Kalbar di masa depan. Lantaran saat ini sektor sumber daya alam mentah masih menjadi penopang terbesar perekonomian Kalimantan Barat. Kendati berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk mendorong industrialisasi di provinsi ini.
“Dunia industri manufaktur di Kalbar tergolong mengalami stagnasi, dimana sebagian besar ekspor kita masih berupa bahan mentah seperti CPO (minyak sawit mentah) dan bauksit,” sebutnya
Hal serupa menjadi potret kondisi industri nasional. Menurut Eddy, deindustrialisasi itu nyata, dimana Indonesia tidak pernah mencapai level industrialisasi 30% Produk Domestik Bruto (PDB). Level industrialisasi tertinggi yang pernah dicapai adalah 29,1% pada 2001. Setelah itu menurun secara konsisten. Data sementara PDB 2018 Triwulan III, level industrialisasi hanya 19,7%.
Padahal, lanjutnya, sektor utama pendorong pertumbuhan ekonomi yakni sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, dan industri pengolahan. Termasuk di dalam sektor pertanian yang potensial untuk dikembangkan adalah pertanian perkebunan, seperti padi, sawit, dan karet. Termasuk dari industri pengolahan alumina dan bauksit.
Menurutnya, faktor penghambat utama pembangunan Kalbar terkait dengan aspek kapasitas sumber daya manusia. “rata-rata lama menempuh pendidikan masyarakat kita yang tergambar dalam Indeks Pembangunan Manusia masih relatif rendah. Selain itu, terkait aspek infrastruktur serta akses listrik, sanitasi, dan air bersih relatif rendah. Begitu juga rasio jalan dengan kondisi baik relatif rendah,” jelasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023
Zulfydar menanyakan pemanfaatan Pelabuhan Internasional Kijing yang belum terlalu berdampak pada ekonomi Kalbar sementara ini.
"Bagaimana ekspor komoditas kita, terutama CPO masih banyak tercatat di pelabuhan lain. Hal ini tentu sangat merugikan pemerintah daerah karena pajak daerah tidak kita dapatkan. Malah provinsi lain yang menikmati," sebutnya.
Ekonom Universitas Tanjungpura, Prof Dr Eddy Suratman yang menjadi narasumber dalam seminar itu berpendapat serupa. Menurutnya, berdasarkan perkiraan, transaksi CPO yang keluar dari Kalbar berkisar antara Rp150-200 triliun per tahun.
Terkait pemanfaatan Pelabuhan Internasional Kijing yang masih minim, Eddy menyebut perlu banyak hal yang harus dipenuhi agar pelabuhan tersebut bisa optimal. "Misalnya kita lihat jalan dari Pontianak ke Kijing yang kapasitasnya belum mampu untuk lalu lintas angkutan komoditas. Tahun ini rencananya memang akan dimulai pembangunan jalan tol di sana," ujarnya.
Selain itu, sejumlah proyek pembangunan industri manufaktur di kawasan Pelabuhan Kijing sedang dibangun atau direncanakan untuk dibangun. Hal tersebut penting bagi ekonomi Kalbar di masa depan. Lantaran saat ini sektor sumber daya alam mentah masih menjadi penopang terbesar perekonomian Kalimantan Barat. Kendati berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk mendorong industrialisasi di provinsi ini.
“Dunia industri manufaktur di Kalbar tergolong mengalami stagnasi, dimana sebagian besar ekspor kita masih berupa bahan mentah seperti CPO (minyak sawit mentah) dan bauksit,” sebutnya
Hal serupa menjadi potret kondisi industri nasional. Menurut Eddy, deindustrialisasi itu nyata, dimana Indonesia tidak pernah mencapai level industrialisasi 30% Produk Domestik Bruto (PDB). Level industrialisasi tertinggi yang pernah dicapai adalah 29,1% pada 2001. Setelah itu menurun secara konsisten. Data sementara PDB 2018 Triwulan III, level industrialisasi hanya 19,7%.
Padahal, lanjutnya, sektor utama pendorong pertumbuhan ekonomi yakni sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, dan industri pengolahan. Termasuk di dalam sektor pertanian yang potensial untuk dikembangkan adalah pertanian perkebunan, seperti padi, sawit, dan karet. Termasuk dari industri pengolahan alumina dan bauksit.
Menurutnya, faktor penghambat utama pembangunan Kalbar terkait dengan aspek kapasitas sumber daya manusia. “rata-rata lama menempuh pendidikan masyarakat kita yang tergambar dalam Indeks Pembangunan Manusia masih relatif rendah. Selain itu, terkait aspek infrastruktur serta akses listrik, sanitasi, dan air bersih relatif rendah. Begitu juga rasio jalan dengan kondisi baik relatif rendah,” jelasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023