Kuasa hukum tujuh buruh PT Swadaya Mukti Prakarsa (SMP) yang dituduh melakukan aksi kekerasan hingga mengakibatkan kerugian pada barang menilai hakim yang menangani perkara ini tidak objektif.
“Kami menilai hakim tidak objektif dan terkesan ada keberpihakan dalam perkara ini,” kata salah satu dari tiga kuasa hukum para terdakwa dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Hendrik Hutagalung di Ketapang, Rabu.
Ia menilai hakim terkesan berpihak pada perkara ini sebab dalam sidang mendengarkan keterangan saksi ahli dan saksi fakta pada Selasa, 30 Januari 2024, hakim Ketua mengilustrasikan keputusan MK nomor 65/PUU-VIII/2010 bahwa saksi yang tidak melihat tetapi mengalami seperti contoh terhadap kasus pemerkosaan dimana korbannya satu orang dan tidak ada yang melihat.
Menurutnya ilustrasi hakim ini menyesatkan bila ditarik kepada kasus para buruh yang dituduh melakukan kekerasan terhadap barang, dalam hal ini penyegelan pintu gerbang perusahaan.
“Sedangkan dari fakta persidangan tidak ada saksi yang melihat para terdakwa melakukan penyegelan, bahkan saksi pelapor kasus ini pun tidak melihat para terdakwa ini melakukan perbuatan yang dituduhkan,” katanya.
Kasus ini berawal dari aksi mogok kerja yang dilakukan ratusan karyawan PT SMP pada 2 Oktober 2023.
Setelah aksi mogok dengan delapan tuntutan hak buruh, sembilan orang anggota dan pengurus SBSI di PT SMP dipanggil oleh polisi dan tujuh diantaranya ditetapkan tersangka dengan tuduhan dugaan tindak pidana pasal 170 KUH Pidana dan atau Pasal 335 ayat (1) KUH Pidana dan atau Pasal Juncto Pasal 107 UU RI No. 39 tahun 2014 Tentang Perkebunan.
Ketujuh terdakwa yakni Antonius. Ipi, FL. Pengku, Masdi, Dedi Sucipto, Sukandin, Herianto Beri dan Kukuh.
Dalam unjukrasa yang berlangsung damai dan tanpa tindakan anarkis itu pada 2 Oktober 2023 para buruh mengusung delapan tuntutan yakni pertama tentang perubahan peraturan kerja bagi buruh/pekerja pemanen sawit yang dinilai memberatkan buruh/pekerja.
Tuntutan kedua adalah buruh menolak perubahan absensi kerja yang semula hanya menggunakan cek lokasi pada saat apel pagi jam 05.30 WIB dan pulang kerja, kemudian berubah dengan aplikasi android harus menggunakan scan wajah dan bila tidak terekam wajah buruh/pekerja maka mereka dianggap mangkir dan upahnya tidak dibayarkan.
Ketiga, buruh menuntut bantuan subsidi pembelian beras Rp7.500/kg yang tidak merata diberikan kepada buruh/pekerja (karyawan), sehingga hal ini dianggap oleh buruh/pekerja adanya diskriminasi atau tebang pilih.
Keempat, cuti haid bagi buruh/pekerja perempuan yang seharusnya libur pada saat haid pertama dan kedua akan tetapi buruh/pekerja perempuan masih dipekerjakan dan bila tidak bekerja maka upah tidak dibayar.
Tuntutan kelima adalah pengadaan air bersih, sebagai buruh/pekerja untuk konsumsi air minum dan masak nasi harus membeli air bersih dan untuk mandi mereka harus menggunakan air yang tidak layak sehingga buruh/pekerja sering mengalami sakit kulit atau gatal-gatal. Keenam, buruh menuntut pengadaan bus sekolah, antar jemput anak sekolah tidak maksimal dikarenakan unit bus antar jemput kurang dan akibatnya anak -anak sekolah sering terlantar.
Tuntutan ketujuh adalah pelayanan kesehatan di klinik perusahaan yang kurang maksimal, tidak sesuai dengan standar fasilitas BPJS Kesehatan. Tuntutan kedelapan adalah kartu kepersertaan BPJS ketenagakerjaan bagi buruh/pekerja yang telah lama bekerja atau yang baru bekerja tidak mendapatkan kartu BPJS ketenagakerjaan.
“Aksi berjalan damai dan kalaupun anarkis ada pihak kepolisian yang melakukan pengamanan saat unjukrasa buruh, tentu yang melakukan anarkis sudah ditangkap saat unjukrasa tapi tidak ada,” kata Hendrik.
Dalam sidang mendengarkan saksi fakta yang dihadirkan JPU pada 9 Januari 2024, saat kuasa hukum terdakwa mempertanyakan siapa yang melakukan penyegelan pabrik, lima saksi yang dihadirkan JPU tidak memberikan jawaban dan mengatakan tidak tahu.
Sementara saksi fakta atas nama Abdias Pewang yang merupakan General Affair PT SMP mdenyebutkan pada saat peserta aksi mogok kerja datang, gerbang masuk ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang menggunakan hidrolik sudah ditutup agar para peserta mogok kerja tidak masuk ke area PKS.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
“Kami menilai hakim tidak objektif dan terkesan ada keberpihakan dalam perkara ini,” kata salah satu dari tiga kuasa hukum para terdakwa dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Hendrik Hutagalung di Ketapang, Rabu.
Ia menilai hakim terkesan berpihak pada perkara ini sebab dalam sidang mendengarkan keterangan saksi ahli dan saksi fakta pada Selasa, 30 Januari 2024, hakim Ketua mengilustrasikan keputusan MK nomor 65/PUU-VIII/2010 bahwa saksi yang tidak melihat tetapi mengalami seperti contoh terhadap kasus pemerkosaan dimana korbannya satu orang dan tidak ada yang melihat.
Menurutnya ilustrasi hakim ini menyesatkan bila ditarik kepada kasus para buruh yang dituduh melakukan kekerasan terhadap barang, dalam hal ini penyegelan pintu gerbang perusahaan.
“Sedangkan dari fakta persidangan tidak ada saksi yang melihat para terdakwa melakukan penyegelan, bahkan saksi pelapor kasus ini pun tidak melihat para terdakwa ini melakukan perbuatan yang dituduhkan,” katanya.
Kasus ini berawal dari aksi mogok kerja yang dilakukan ratusan karyawan PT SMP pada 2 Oktober 2023.
Setelah aksi mogok dengan delapan tuntutan hak buruh, sembilan orang anggota dan pengurus SBSI di PT SMP dipanggil oleh polisi dan tujuh diantaranya ditetapkan tersangka dengan tuduhan dugaan tindak pidana pasal 170 KUH Pidana dan atau Pasal 335 ayat (1) KUH Pidana dan atau Pasal Juncto Pasal 107 UU RI No. 39 tahun 2014 Tentang Perkebunan.
Ketujuh terdakwa yakni Antonius. Ipi, FL. Pengku, Masdi, Dedi Sucipto, Sukandin, Herianto Beri dan Kukuh.
Dalam unjukrasa yang berlangsung damai dan tanpa tindakan anarkis itu pada 2 Oktober 2023 para buruh mengusung delapan tuntutan yakni pertama tentang perubahan peraturan kerja bagi buruh/pekerja pemanen sawit yang dinilai memberatkan buruh/pekerja.
Tuntutan kedua adalah buruh menolak perubahan absensi kerja yang semula hanya menggunakan cek lokasi pada saat apel pagi jam 05.30 WIB dan pulang kerja, kemudian berubah dengan aplikasi android harus menggunakan scan wajah dan bila tidak terekam wajah buruh/pekerja maka mereka dianggap mangkir dan upahnya tidak dibayarkan.
Ketiga, buruh menuntut bantuan subsidi pembelian beras Rp7.500/kg yang tidak merata diberikan kepada buruh/pekerja (karyawan), sehingga hal ini dianggap oleh buruh/pekerja adanya diskriminasi atau tebang pilih.
Keempat, cuti haid bagi buruh/pekerja perempuan yang seharusnya libur pada saat haid pertama dan kedua akan tetapi buruh/pekerja perempuan masih dipekerjakan dan bila tidak bekerja maka upah tidak dibayar.
Tuntutan kelima adalah pengadaan air bersih, sebagai buruh/pekerja untuk konsumsi air minum dan masak nasi harus membeli air bersih dan untuk mandi mereka harus menggunakan air yang tidak layak sehingga buruh/pekerja sering mengalami sakit kulit atau gatal-gatal. Keenam, buruh menuntut pengadaan bus sekolah, antar jemput anak sekolah tidak maksimal dikarenakan unit bus antar jemput kurang dan akibatnya anak -anak sekolah sering terlantar.
Tuntutan ketujuh adalah pelayanan kesehatan di klinik perusahaan yang kurang maksimal, tidak sesuai dengan standar fasilitas BPJS Kesehatan. Tuntutan kedelapan adalah kartu kepersertaan BPJS ketenagakerjaan bagi buruh/pekerja yang telah lama bekerja atau yang baru bekerja tidak mendapatkan kartu BPJS ketenagakerjaan.
“Aksi berjalan damai dan kalaupun anarkis ada pihak kepolisian yang melakukan pengamanan saat unjukrasa buruh, tentu yang melakukan anarkis sudah ditangkap saat unjukrasa tapi tidak ada,” kata Hendrik.
Dalam sidang mendengarkan saksi fakta yang dihadirkan JPU pada 9 Januari 2024, saat kuasa hukum terdakwa mempertanyakan siapa yang melakukan penyegelan pabrik, lima saksi yang dihadirkan JPU tidak memberikan jawaban dan mengatakan tidak tahu.
Sementara saksi fakta atas nama Abdias Pewang yang merupakan General Affair PT SMP mdenyebutkan pada saat peserta aksi mogok kerja datang, gerbang masuk ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang menggunakan hidrolik sudah ditutup agar para peserta mogok kerja tidak masuk ke area PKS.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024