Hasil riset dari PwC Indonesia dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menunjukkan sejumlah film Indonesia berbiaya produksi di atas 4 juta Dolar AS atau setara Rp60 miliar.
Film yang masuk kategori film beranggaran besar ini seperti Buya Hamka (2023), Foxtrot Six (2019), Trilogi Merdeka (2011), The Raid 2: Berandal (2014) dan Gunung Emas Almayer (2014).
"Film lebih dari sekadar komoditas, pendanaan stabil diperlukan," kata Kepala Riset dan Ekonomi PwC Indonesia Denny Irawan di Jakarta, Kamis (1/2) malam.
Film beranggaran rendah biasanya merupakan produksi independen, dengan anggaran berkisar 7.000 Dolar AS sampai 66.000 Dolar AS atau Rp100 juta sampai Rp1 miliar.
Umumnya, biaya produksi film berkisar 140.000 Dolar AS sampai 1.600.000 Dolar AS atau Rp2 miliar sampai Rp25 miliar.
Produser di Indonesia secara umum mengalokasikan 10 sampai 20 persen dari total anggaran untuk kegiatan pemasaran.
Di Indonesia, terdapat skema pendanaan dari pemerintah dalam bentuk subsidi. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah meluncurkan skema hibah untuk mendukung produksi film nasional serta kegiatan promosi dan distribusi internasional melalui Dana Abadi Kebudayaan Indonesia.
Dana Abadi Kebudayaan Indonesia telah mengalokasikan 10 juta Dolar AS sebagai dana pendamping one-to-one untuk mendukung proyek film produksi bersama.
Ada juga dana abadi pendidikan sebesar 8 miliar Dolar AS atau Rp127 miliar untuk meningkatkan infrastruktur pendidikan perfilman dan Dana Indonesiana yang didirikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dan Kementerian Keuangan senilai 215 juta Dolar AS atau Rp3 triliun untuk peningkatan skala bisnis di industri layar.
Lalu riset juga menampilkan apa saja usaha yang diklasifikasikan sebagai industri layar. Klasifikasi baku lapangan usaha industri (KBLI) bisa dilihat dalam gambar tabel berikut:
Denny menyampaikan bahwa ketiadaan definisi tunggal yang diterima secara universal selama ini di Indonesia tentang "industri layar" menyebabkan keterbatasan dalam klasifikasi dan analisis usaha industri tersebut.
Kondisi itu juga menghadirkan tantangan bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan untuk industri tersebut.
Sehingga kajian literatur dan perbandingan dari berbagai negara perlu ditetapkan untuk menjaga fokus penelitian yang dilakukan PwC Indonesia bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Penelitian yang bertajuk "Dampak Ekonomi Industri Layar di Indonesia - Sebuah Peluang" itu pun menunjukkan KBLI dalam dua lampiran halaman 36 sampai 40.
Untuk melihat isi lengkap riset tersebut, pembaca bisa mengakses secara bebas dengan klik laman berikut.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
Film yang masuk kategori film beranggaran besar ini seperti Buya Hamka (2023), Foxtrot Six (2019), Trilogi Merdeka (2011), The Raid 2: Berandal (2014) dan Gunung Emas Almayer (2014).
"Film lebih dari sekadar komoditas, pendanaan stabil diperlukan," kata Kepala Riset dan Ekonomi PwC Indonesia Denny Irawan di Jakarta, Kamis (1/2) malam.
Film beranggaran rendah biasanya merupakan produksi independen, dengan anggaran berkisar 7.000 Dolar AS sampai 66.000 Dolar AS atau Rp100 juta sampai Rp1 miliar.
Umumnya, biaya produksi film berkisar 140.000 Dolar AS sampai 1.600.000 Dolar AS atau Rp2 miliar sampai Rp25 miliar.
Produser di Indonesia secara umum mengalokasikan 10 sampai 20 persen dari total anggaran untuk kegiatan pemasaran.
Di Indonesia, terdapat skema pendanaan dari pemerintah dalam bentuk subsidi. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah meluncurkan skema hibah untuk mendukung produksi film nasional serta kegiatan promosi dan distribusi internasional melalui Dana Abadi Kebudayaan Indonesia.
Dana Abadi Kebudayaan Indonesia telah mengalokasikan 10 juta Dolar AS sebagai dana pendamping one-to-one untuk mendukung proyek film produksi bersama.
Ada juga dana abadi pendidikan sebesar 8 miliar Dolar AS atau Rp127 miliar untuk meningkatkan infrastruktur pendidikan perfilman dan Dana Indonesiana yang didirikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dan Kementerian Keuangan senilai 215 juta Dolar AS atau Rp3 triliun untuk peningkatan skala bisnis di industri layar.
Lalu riset juga menampilkan apa saja usaha yang diklasifikasikan sebagai industri layar. Klasifikasi baku lapangan usaha industri (KBLI) bisa dilihat dalam gambar tabel berikut:
Denny menyampaikan bahwa ketiadaan definisi tunggal yang diterima secara universal selama ini di Indonesia tentang "industri layar" menyebabkan keterbatasan dalam klasifikasi dan analisis usaha industri tersebut.
Kondisi itu juga menghadirkan tantangan bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan untuk industri tersebut.
Sehingga kajian literatur dan perbandingan dari berbagai negara perlu ditetapkan untuk menjaga fokus penelitian yang dilakukan PwC Indonesia bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Penelitian yang bertajuk "Dampak Ekonomi Industri Layar di Indonesia - Sebuah Peluang" itu pun menunjukkan KBLI dalam dua lampiran halaman 36 sampai 40.
Untuk melihat isi lengkap riset tersebut, pembaca bisa mengakses secara bebas dengan klik laman berikut.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024