Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Prof KH Saifuddin Zuhri di Purwokerto, Fajry SS Sinaga MA, menilai, mewadahi anak muda untuk berekspresi secara positif dapat mencegah perang sarung.
"Terkait dengan maraknya fenomena perang sarung, saya justru melihat hal itu disebabkan oleh kurangnya wadah bagi anak-anak muda kita untuk berekspresi dalam hal positif," kata dia, di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Jika dilihat dari sisi teori psikologi perkembangan anak, kata dia, masa remaja merupakan fase untuk mencari jati diri. Ia mengatakan dalam proses pencarian jati diri tersebut, cukup banyak remaja yang mengungkapkan ekspresi atau menunjukkan keberadaannya melalui berbagai cara.
Dalam hal ini, kata dia, perang sarung ataupun tawuran bersenjata tajam merupakan salah satu upaya yang dilakukan remaja untuk menunjukkan eksistensi namun dengan cara yang salah.
"Kebetulan wadah yang positif enggak ada, jadi mereka memilih perang sarung itu. Padahal itu sesuatu yang tidak baik dan merugikan," katanya.
Ia menyayangkan sarung yang seyogianya digunakan untuk sesuatu yang baik seperti dijadikan sebagai penutup aurat bagi pria muslim saat menunaikan ibadah shalat maupun beriktikaf di masjid selama Ramadhan, justru dimanfaatkan sebagai alat untuk tawuran.
Terkait dengan hal itu, dia mengapresiasi upaya Kepolisian dalam mencegah terjadinya perang sarung karena aksi tersebut tidak hanya berbahaya bagi para pelakunya, juga dapat membahayakan orang lain.
Bahkan, kata dia, polisi sering kali mengamankan sejumlah remaja terlibat dalam perang sarung maupun yang diduga hendak melakukan perang sarung.
"Oleh karena rata-rata masih di bawah umur, mereka hanya didata dan diberi pembinaan. Namun menurut saya, pembinaan tersebut tidak cukup dengan mengundang orang tua dan selanjutnya mereka diminta untuk meminta maaf, sehingga kurang memberikan efek jera," katanya.
Menurut dia, para remaja yang terlibat perang sarung itu sebaiknya dilibatkan dalam kegiatan positif seperti pesantren kilat. Dalam hal ini, kata dia, Kepolisian bisa mengundang ulama untuk memberi materi keagamaan bagi para remaja yang terlibat perang sarung.
Selain itu, lanjut dia, anak-anak muda tersebut dibuatkan wadah untuk berekspresi melalui kegiatan positif. "Misalnya, yang suka musik diberikan pelatihan hadroh atau seni lainnya. Nanti saat lebaran, mereka diberi ruang untuk berekspresi," kata dosen musik itu.
Ia optimistis upaya tersebut dapat memberikan dampak positif bagi para pelaku perang sarung ketimbang pembinaan yang dilakukan polisi selama ini dengan mengundang orangtua.
Bahkan setelah menjalani pembinaan dengan meminta maaf kepada orang tua masing-masing, kata dia, anak-anak tersebut tidak menutup kemungkinan suatu saat akan melakukan perbuatannya lagi.
"Permasalahan sebenarnya bukan rasa bersalah mereka kepada orang tua, tapi kurangnya ruang untuk berekspresi. Jadi, berikan ruang untuk mengekspresikan hal-hal positif bagi remaja yang terlibat perang sarung, tawuran, dan sejenisnya," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
"Terkait dengan maraknya fenomena perang sarung, saya justru melihat hal itu disebabkan oleh kurangnya wadah bagi anak-anak muda kita untuk berekspresi dalam hal positif," kata dia, di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Jika dilihat dari sisi teori psikologi perkembangan anak, kata dia, masa remaja merupakan fase untuk mencari jati diri. Ia mengatakan dalam proses pencarian jati diri tersebut, cukup banyak remaja yang mengungkapkan ekspresi atau menunjukkan keberadaannya melalui berbagai cara.
Dalam hal ini, kata dia, perang sarung ataupun tawuran bersenjata tajam merupakan salah satu upaya yang dilakukan remaja untuk menunjukkan eksistensi namun dengan cara yang salah.
"Kebetulan wadah yang positif enggak ada, jadi mereka memilih perang sarung itu. Padahal itu sesuatu yang tidak baik dan merugikan," katanya.
Ia menyayangkan sarung yang seyogianya digunakan untuk sesuatu yang baik seperti dijadikan sebagai penutup aurat bagi pria muslim saat menunaikan ibadah shalat maupun beriktikaf di masjid selama Ramadhan, justru dimanfaatkan sebagai alat untuk tawuran.
Terkait dengan hal itu, dia mengapresiasi upaya Kepolisian dalam mencegah terjadinya perang sarung karena aksi tersebut tidak hanya berbahaya bagi para pelakunya, juga dapat membahayakan orang lain.
Bahkan, kata dia, polisi sering kali mengamankan sejumlah remaja terlibat dalam perang sarung maupun yang diduga hendak melakukan perang sarung.
"Oleh karena rata-rata masih di bawah umur, mereka hanya didata dan diberi pembinaan. Namun menurut saya, pembinaan tersebut tidak cukup dengan mengundang orang tua dan selanjutnya mereka diminta untuk meminta maaf, sehingga kurang memberikan efek jera," katanya.
Menurut dia, para remaja yang terlibat perang sarung itu sebaiknya dilibatkan dalam kegiatan positif seperti pesantren kilat. Dalam hal ini, kata dia, Kepolisian bisa mengundang ulama untuk memberi materi keagamaan bagi para remaja yang terlibat perang sarung.
Selain itu, lanjut dia, anak-anak muda tersebut dibuatkan wadah untuk berekspresi melalui kegiatan positif. "Misalnya, yang suka musik diberikan pelatihan hadroh atau seni lainnya. Nanti saat lebaran, mereka diberi ruang untuk berekspresi," kata dosen musik itu.
Ia optimistis upaya tersebut dapat memberikan dampak positif bagi para pelaku perang sarung ketimbang pembinaan yang dilakukan polisi selama ini dengan mengundang orangtua.
Bahkan setelah menjalani pembinaan dengan meminta maaf kepada orang tua masing-masing, kata dia, anak-anak tersebut tidak menutup kemungkinan suatu saat akan melakukan perbuatannya lagi.
"Permasalahan sebenarnya bukan rasa bersalah mereka kepada orang tua, tapi kurangnya ruang untuk berekspresi. Jadi, berikan ruang untuk mengekspresikan hal-hal positif bagi remaja yang terlibat perang sarung, tawuran, dan sejenisnya," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024