Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean B Pontianak menggagalkan upaya pengiriman delapan kontainer berisi rotan berbagai bentuk dan ukuran yang akan diekspor melalui Pelabuhan Dwikora, Pontianak, dengan tujuan China.

"Upaya penggagalan ini menjadi salah satu bukti nyata komitmen Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam memberantas praktik ekspor ilegal, khususnya barang-barang yang dilarang untuk diekspor sesuai dengan ketentuan perundang-undangan," kata Kepala Bidang Fasilitas Kepabeanan dan Cukai Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Barat, Beni Novri di Pontianak, Selasa.

Dia menjelaskan, pengungkapan kasus ini bermula dari analisis yang dilakukan oleh tim analis Kantor Wilayah (Kanwil) DJBC Kalimantan Bagian Barat. Tim tersebut menemukan indikasi pelanggaran kepabeanan dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang diajukan oleh seorang eksportir berinisial CV M.A.S. Menindaklanjuti temuan ini, petugas Bea Cukai menerbitkan Nota Hasil Intelijen (NHI) untuk menghentikan dan memeriksa barang ekspor tersebut.

"Pemeriksaan terhadap delapan kontainer berukuran 20 feet FCL ini dilakukan oleh petugas KPPBC TMP B Pontianak dengan disaksikan oleh pihak pengusaha Tempat Penimbunan Sementara (TPS) PT Pelindo Pontianak pada 15 Agustus 2024," tuturnya.

Hasil pemeriksaan menemukan bahwa seluruh kontainer tersebut berisi rotan dalam berbagai bentuk dan ukuran, dengan total sebanyak 861 paket dan berat mencapai ±50.307 kilogram. Barang-barang ini diperkirakan memiliki nilai sebesar Rp2.597.305.000,00.

Menurutnya, pemilik barang atau kuasanya tidak hadir pada batas waktu yang diberikan, sehingga petugas Bea Cukai melaksanakan pemeriksaan jabatan. Setelah pemeriksaan selesai, penanganan perkara dilimpahkan dari Bea Cukai Pontianak kepada Kanwil DJBC Kalimantan Bagian Barat pada 22 Agustus 2024, dan diterbitkan Surat Perintah Tugas Penyidikan (SPTP).

Modus pelanggaran yang digunakan oleh eksportir adalah dengan memberikan informasi yang tidak benar mengenai barang yang diekspor dalam dokumen PEB.

Dalam dokumen tersebut, barang yang dilaporkan adalah kelapa (coconut) dengan tujuan ekspor ke China, namun hasil pemeriksaan mengungkapkan bahwa barang yang diekspor sebenarnya adalah rotan, yang merupakan komoditas yang dilarang untuk diekspor berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023.

Atas perbuatannya, eksportir disangkakan melanggar Pasal 103 huruf (a) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Pasal ini mengatur bahwa setiap orang yang menyerahkan pemberitahuan pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau dipalsukan dapat dikenai pidana penjara dengan masa hukuman minimal dua tahun dan maksimal delapan tahun, serta denda antara Rp100 juta hingga Rp5 miliar.

Di tempat yang sama, Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kalimantan Barat, Imik Eko Putro menambahkan, penggagalan ekspor rotan tersebut menjadi komitmen DJBC Kalimantan bagian Barat dalam mengawasi dan menegakkan aturan ekspor tidak hanya terbatas pada penanganan kasus ini.

Langkah ini juga sejalan dengan semangat pengawasan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2024.

Peraturan tersebut menegaskan pengawasan terhadap komoditi tertentu yang diangkut dalam daerah pabean, terutama barang yang dikenakan Bea Keluar, barang yang terkena ketentuan larangan dan pembatasan di bidang ekspor, serta barang yang mendapatkan subsidi.

"Kantor Wilayah DJBC Kalimantan Bagian Barat senantiasa berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan fungsi secara profesional dan transparan. Bea Cukai Makin Baik," tuturnya.

Upaya penggagalan ekspor ilegal ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap ekspor barang-barang yang dilarang, termasuk rotan, tetap menjadi prioritas utama Bea Cukai dalam melindungi kekayaan alam Indonesia dan menjaga keadilan dalam perdagangan internasional.

Pewarta: Rendra Oxtora

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024