Indonesia Medical Education and Research Institute Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (IMERI-FKUI) mendorong keterlibatan akademisi dalam perumusan regulasi agar dimaksimalkan oleh para pembuat kebijakan untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan di Indonesia, termasuk prevalensi merokok.

"Harapannya akademisi bisa berpartisipasi aktif dalam melakukan kajian ilmiah yang hasilnya nanti dapat dijadikan acuan pemerintah dalam menyusun regulasi untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan di Indonesia, termasuk prevalensi merokok," kata Koordinator Analisis Kebijakan Kesehatan Berbasis Bukti IMERI-FKUI dr. Ahmad Fuady dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

Pasalnya, keterlibatan akademisi dalam perumusan suatu regulasi saat ini belum dimaksimalkan oleh para pembuat kebijakan.

Hal ini terlihat pada tingkat partisipasi akademisi dalam perumusan kebijakan, baik di level undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan kepala daerah, hingga dinas kesehatan kota/kabupaten.

"Contoh di undang-undang, kita tidak bisa terapkan 100 persen akademisi terlibat dan berikan kontribusi kontekstual. Tapi kalau bicara di daerah, keterlibatan akademisi sangat tinggi," ujar Ahmad.

Untuk level undang-undang, menurut dia, keterlibatan akademisi sebesar 30 persen sudah cukup besar. Biasanya peran akademisi baru dilibatkan ketika produk hukum hendak disahkan.

Sementara mantan Direktur Riset Kebijakan Penelitian dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Profesor Tikki Pangestu menambahkan, ada bukti yang cukup kuat bahwa kebijakan yang dibentuk dengan berlandaskan kajian ilmiah dan analisis rasional akan memberikan hasil yang baik.

Pihaknya mencontohkan Pemerintah Jepang yang mendukung penggunaan produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan, setelah melihat hasil kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa produk tersebut merupakan alternatif untuk beralih dari kebiasaan merokok karena memiliki profil risiko yang jauh lebih rendah.

Hasilnya, berdasarkan survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, jumlah perokok pria dan perempuan terus menurun pada 2022.

Rekomendasi tersebut diharapkan menjadi acuan dalam penyusunan regulasi.

"Kita juga memerlukan kebijakan dalam bidang kesehatan yang rasional dan proporsional. Kita harus mempromosikan alat baru (produk tembakau yang dipanaskan) ini untuk menurunkan jumlah perokok dan beban biaya kesehatan di Indonesia," kata Tikki.
 


 

Pewarta: Anita Permata Dewi

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024