Pontianak (ANTARA) - Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kalimantan Barat (Kalbar) menegaskan hingga saat ini tak ada pengaduan yang masuk berkaitan dengan eksploitasi pekerja perempuan khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit di provinsi itu
"Sejauh yang kami deteksi, memang banyak pekerja perempuan di perkebunan sawit, namun laporan adanya eksploitasi itu belum ada," kata Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kalimantan Barat (Kalbar) Manto di Pontianak, Senin.
Ia menambahkan dari pemantauannya hak-hak pekerja, khususnya pekerja perempuan di perkebunan sawit masih berjalan sebagaimana mestinya. Sejauh ini, perusahaan sawit telah memberikan hak-hak mereka, terutama hak cuti bagi pekerja perempuan.
“Tetap mereka dari perusahaan patuhi, kalau sudah masanya untuk melahirkan, mereka berikan cuti,” tutur dia.
Namun begitu, lanjut dia, pihaknya terus membuka keran pengaduan bagi setiap pekerja yang menghadapi persoalan ketenagakerjaan dengan perusahaan, termasuk bagi pekerja perempuan. Pengaduan, kata dia, bisa dilakukan di Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi di tingkat kabupaten/kota. Provinsi, kata dia, juga menerima pengaduan, termasuk via sosial media.
“Akan kami resopon setiap pengaduan, lalu akan kami tugaskan petugas kami di lapangan,” jelas dia.
Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menampik tuduhan adanya eksploitasi terhadap wanita di perkebunan kelapa sawit. Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI, Sumarjono Saragih, mengatakan, perusahaan sawit di Indonesia, terutama yang menjadi anggota GAPKI, tidak mungkin melakukan praktik ketenagakerjaan yang melanggar Undang Undang dan prinsip serta kriteria di dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
"GAPKI memastikan industri sawit Indonesia sudah mampu menciptakan iklim kerja yang kondusif dan layak bagi para pekerjanya," tutur dia.
Dikatakan dia, GAPKI telah bekerjasama dengan ILO (Organisasi PBB untuk urusan Pekerja) dan sejumlah LSM internasional untuk membangun sistem ketenagakerjaan yang layak di sektor yang menjadi andalan Indonesia ini. Menurutnya, perusahaan-perusahaan anggota GAPKI tunduk dengan semua peraturan sesuai UU Ketenagakerjaan. Bahkan, GAPKI menargetkan sampai akhir 2020 ini, semua anggota GAPKI telah bersertifikasi ISPO.
“Kalau sudah ISPO, kan sudah tidak ada lagi isu isu terkait tenaga kerja. Karena kalau ada pelanggaran, tidak mungkin mendapatkan sertifikat SPQ," katanya.
Dia meyakini, viralnya berita mengenai eksploitasi pekerja wanita di perkebunan sawit ini adalah bagian dari perang dagang dalam pasar minyak nabati dunia. Ketika berbagai komoditas minyak nabati non sawit tidak bisa lagi bersaing dengan minyak sawit, negara negara maju melakukan kampanye negatif untuk merusak reputasi.
“Harapan mereka bisa memutus rantai pasok dari sisi pembeli minyak sawit dan juga pelanggan dengan memviralkan isu isu negatif,” katanya.
Padahal, lanjut dia, di tengah pandemik COVID-19, sektor minyak sawit memberikan sumbangan devisa ekspor sebesar 15 miliar USD hingga September tahun 2020. Sumbangan sawit ini memastikan neraca perdagangan Indonesia pada periode tersebut surplus. Di sisi lain, melalui kolaborasi multi pihak baik lembaga pemerintah maupun organisasi internasional di bidang ketenagakerjaan, tambah dia, GAPKI melakukan upaya berkelanjutan untuk peningkatan, perbaikan, promosi dan implementasi semua aspek yang terangkum dalam kerja layak.
"Ada enam agenda yang menjadi perhatian GAPKI dengan mitra kerjanya, status pekerjaan, dialog sosial, perlindungan anak dan pekerja perempuan, pengupahan, keselamatan dan kesehatan kerja, dan mendorong pengawasan oleh pemerintah," kata dia.
Baca juga: Disnakertrans : Angka pengangguran terbuka Kalbar mencapai 5,81 persen
Baca juga: 252.700 tenaga kerja di Kalbar terima BSU di tengah pandemi COVID-19
Belum ada laporan eksploitasi perempuan di kebun sawit
Senin, 7 Desember 2020 8:48 WIB