Pontianak (ANTARA) - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau (FISIP UNRI) kembali menggelar diskusi bertema filsafat ilmu pada Selasa (31/1). Diskusi yang mengambil tema "Pandangan Anarkistik dalam Ilmu Pengetahuan: Kritik Feyerabend atas Universalisasi Pandangan Metodologis" ini dibawakan oleh Alumnus HI FISIP UNRI, Bambang Putra Ermansyah.
Pria yang akrab disapa Ibam ini, menjelaskan tentang pertentangan aliran positivisme dan post-posivitisme dalam ilmu pengetahuan. Ibam mengatakan bahwa Feyerabend jengah dengan konsepsi pengetahuan yang terkesan memaksa satu metode baku. Padahal dalam penjelasannya, pandangan universalitas dalam ilmu pengetahuan dapat menyebabkan penghakiman yang tidak adil terhadap pandangan alternatif yang muncul.
“Adakah demarkasi dan rasionalitas dalam filsafat ilmu? Kata Feyeraband , tidak ada. Karena tidak ada rasionalitas yang bebas konteks,” ujar Ibam dalam kalimat penutup pemaparannya.
Diskusi dipandu Wira Ananda Manalu, berlangsung di Ruang Rapat Senat Universitas Riau. Kegiatan rutin yang telah diadakan sebanyak dua kali ini, diberi nama Syarahan Shadu Perdana dan dimotori oleh Guru Besar Sosiologi UNRI Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M.Psi.
Dalam kata pembukanya sebelum diskusi dimulai, kehadiran diskusi ini disebutnya dalam Bahasa Perancis sebagai crème de la crème atau ditranslasi ke Bahasa Indonesia sebagai yang terbaik di antara yang terbaik. Pria yang juga dikenal sebagai fenomenolog dan budayawa Riau ini, berharap bahwa kegiatan diskusi ini dapat terus berjalan dan diadakan di seluruh Sumatera untuk mengembalikan semangat intelektualitas masyarakat Pulau Sumatera.
“Kegiatan ini seolah keluar dari jantung bintang-bintang dalam malam kelam yang beludru,” kata Yusmar sembari tersenyum.
Dalam syarahan pengantar nya Yusmar lebih lanjut memaparkan, Paul Karl Feyerabend sesuai nama yang mengambil frasa kelam malam beludru. “Pikiran-pikiran Germania (osterreicht) yang formal dan kaku dingin. Namun, setelah pembakuan ‘bid'ah’ pemikiran tentang anarkhi ilmu pengetahuan, dia semacam dikucilkan. Sains tak lebih satu dari sekian bentuk pengucapan (bahasa) selain agama untuk berdepan dengan dunia,” sebut Yusmar tentang sosok Feyerabend.
Di tengah malam (abend) beludru itulah, arkian pemikiran-pemikiran Feyerabend meluncur bak "il viendra tout droit, du coeur des étoiles... (dia turun dari jantung bintang-bintang) abad ke 20, jelasnya kemudian.
Feyerabend menolak kerajaan banalitas sains yang mendaku-daku sebagai raja kebenaran. “Sains itu bawannya a-historis bagi peradaban manusia. Dunia ini diselamatkan oleh (juga orang-orang malas); kalau semuanya rajin, maka bumi ini dalam 20 tahun ke depan punah,” demikian Yusmar.
Diskusi yang diwarnai oleh teatrikal puisi dari Fedli Azis dan Siti Salmah, petikan gambus dari Matrock dan talent tari dari Nanda, dinilai demikian impresif para peserta. Haldi Ryaldi, salah seorang peserta diskusi mengapresiasi kegiatan ini. Menurutnya, diskusi filsafat ini sangat-sangat dibutuhkan untuk menambah pengetahuan dan wawasan, terutama di lingkungan akademik FISIP UNRI.
“Kita sangat membutuhkan diskusi seperti ini. Apalagi, selama saya kuliah jarang sekali ada diskusi filsafat macam ini,” ujar Haldi.
Acara yang mulai mendapat atensi publik ini diinisiasi oleh Prof. Yusmar Yusuf yang sebagai agenda rutin FISIP UNRI yang didukung Dekan DR. Meyzi Herianto dan DR. Meliani, DR. Saiman Pakpahan dan rekan dosen lainnya. Syarahan Shadu Perdana dikelola bersama KedaiReka (Kampus Mandiri) dengan Tsabitah Cyndicate. Juga tampak hadir DR. drh. Chaidir, seorang akademisi, penulis dan budayawan Riau, dan pemerhati filsafat dan pikiran-pikiran alternatif, Sukri.
Edisi perdana helat intelektual ini menghadirkan pembicara Muhammad Natsir Tahar seorang writerprenuer dan pembaca filsafat dari Batam melalui makalah “Humanisme Vs Demuhanisme dalam Perspektif Happy Ending (Utopia)”. Edisi perdana yang berlangsung di Private Room, Norma Coffee, Pekanbaru tersebut mengambil tema “Paradoks Utopia, Rezim Digitalisme: Obsesi Ilmu dan Kebenaran Singular(itas)”.