Pontianak (ANTARA) - Masjid Jamik Sultan Syarif Abdurrahman merupakan masjid peninggalan Kesultanan Kadriah Pontianak, Kalimantan Barat. Masjid ini memiliki enam pilar utama berdiameter 60 sentimeter yang kokoh. Konon, menurut cerita yang berkembang, siapapun yang berhasil memeluk tiang penyangga bangunan masjid ini maka akan terkabul doanya.
Karena arsitekturnya yang menarik, kuno, kokoh dan pernak-pernik bangunannya yang diwarnai pengaruh berbagai budaya dari luar, maka masjid ini menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjunginya.
"Mitosnya jika bisa memeluk tiang nanti doanya akan terkabul. Tetapi secara logika, kalau bisa memeluk tiang besar ini artinya orang tersebut luar biasa hebatnya. Sampai sekarang juga belum ada yang bisa memeluknya. Bahkan orang dari luar negeri yang memiliki badan besar," ujar Pengurus Masjid Jamik, Abdul Hamid Adam, saat ditemui di Pontianak, Senin (17/4).
Hamid menjelaskan, enam pilar utama masjid ini dibangun sebagai tiang pancang, ditanam sedalam 20 meter bersama dengan 14 tiang yang mengelilinginya. Pilar tersebut berwarna hitam dan terbuat dari kayu belian.
Enam pilar ini merepresentasikan rukun iman. Sementara lima tiang pancang di sisi kiri kanan yang melambangkan Rukun Islam, dan empat tiang pancang di depan dan belakang melambangkan Khulafaur Rasyidin.
Sekilas. enam pilar ini terlihat mudah untuk dipeluk. Namun, ketika mendekat dan mencoba memeluknya, tangan tidak akan bisa bertemu satu dengan lainnya. Hal inilah yang menjadi daya pikat wisatawan untuk mengunjungi masjid ini, serta ingin mencoba memeluk pilar tersebut. Wisatawan dari luar negeri seperti Brunei Darussalam dan Malaysia, biasa mencobanya.
Masjid Masjid Sultan Syarif Abdurrahman mulai dibangun pada 23 Oktober 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (1771-1808), sultan pertama Kesultanan Kadriah, sebagai penanda berdirinya Kota Pontianak di simpang tiga Sungai Kapuas dan Landak.
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie sendiri merupakan anak ulama Sayid Husein Alkadrie yang berasal dari Yaman. Ia menikah dengan Utin Candramidi, putri Opu Daeng Manambon yang merupakan Raja Mempawah. Oleh mertuanya ini diberi amanah untuk membangun daerah baru sekaligus menyebarkan agama Islam.
Sultan Syarif Abdurrahman dalam misinya membuka dan membangun daerah baru membawa 14 kapal berisi rombongan dari Kerajaan Mempawah. Dalam perjalanan ia sempat berhenti di daerah Peniti, tetapi mendapat firasat bahwa tempat tersebut tidak cocok dijadikan pusat kota.
Lalu, rombongan menyusuri Sungai Kapuas dan berhenti di daerah Batu Layang. Di sana melihat banyak burung pemakan bangkai dan memutuskan bahwa daerah tersebut lebih cocok sebagai pemakaman sehingga mengamanatkan bahwa ia dan keturunannya harus dimakamkan di sana.
Kemudian, rombongan melanjutkan perjalanan dan berhenti di persimpangan Sungai Kapuas dan Landak. Di situlah mendapatkan petunjuk melalui mimpi bahwa daerah tersebut cocok dijadikan sebagai pusat kota karena letaknya strategis.
"Setelah mendapatkan mimpi itu, beliau bersama rombongannya mulai menebang pohon dan semak di tempat ini selama 8 hari untuk dijadikan pemukiman. Lalu, mulai membangun masjid di dekat muara ini pada 23 Oktober 1771 dan selesai setelah 2 tahun," kata dia.
Pembangunan masjid dilakukan secara manual dengan mendatangkan bahan bangunan dari Kerajaan Mempawah. Bangunan awal masjid hanya berupa langgar sederhana yang beratap rumbia dan selesai dalam 2 tahun pembangunan. Setelah itu baru dibangun istana Kesultanan Kadriah.
Pembangunan masjid jamik yang awalnya berupa langgar dilanjutkan oleh Sultan Syarif Usman (1819-1855), sultan ketiga Kesultanan Kadriah. Peletakan batu pondasi bangunan dilakukan pada 1821 dan diberi nama Masjid Abdurrahman sebagai bentuk penghormatan untuk mengenang jasa ayahnya.
Kemudian, renovasi selanjutnya dilakukan pada masa kepemimpinan Sultan Syarif Hamid (1855-1872). Pembangunan dilakukan secara besar-besaran dan diubah menjadi lebih besar dan megah tanpa menghilangkan tiang-tiang pancang dan pilar yang telah ada sejak dulu.
Pada pemerintahan Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) renovasi kembali dilakukan dengan menambahkan ornamen-ornamen untuk memperindah arsitektur bangunan.
Majid jamik berukuran 33,27 meter x 27,74 meter itu dapat menampung sekitar 1.500 jamaah untuk shalat. Tempat shalat terdiri dari 26 shaf sudah diatur dengan rapi. Masjid ini akan dipenuhi jamaah pada saat shalat Jum’at, Idul fitri, Idul Adha, dan shalat tarawih pada bulan Ramadhan.
Masjid bersejarah ini biasanya dikunjungi oleh Kesultanan Brunei, Malaysia, untuk menjalin silaturahmi. Penceramah dari luar Kalimantan biasanya juga diarahkan untuk melakukan tausiah di masjid ini.
Arsitektur bangunan masjid bisa dikatakan mirip dengan rumah panggung, karena tiang kayunya setinggi 20 sentimeter di atas permukaan tanah, dan juga ada yang ditanam ke dalam tanah untuk mencegah pelapukan. Selain itu, warna yang identik dari masjid ini adalah warna kuning dengan plafonnya warna hijau. Warna tersebut miliki filosofi bahwa warna kuning melambangkan keagungan, sedangkan warna hijau melambangkan kenabian atau keislaman.
Pintu utama dengan tinggi 3 meter yang berada di depan, sisi kiri, dan sisi kanan. Untuk pintu kecil, terdapat sekitar 20 buah pintu dengan tinggi kurang dari 2 meter. Pintu ini juga berfungsi sebagai jendela, dipasangi papan pagar sehingga ukurannya terlihat lebih kecil lagi menyerupai jendela pada zaman sekarang.
Area pembangunan masjid Jamik sangat luas. Dari sini, bisa dilihat Istana Sultan Kadariah dan halaman depannya yang menyerupai alun-alun di Jawa. Ini menunjukkan jika adanya pengaruh dari tradisi kesultanan di tanah Jawa. Karena secara keseluruhan bangunan masjid mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa, Timur Tengah, Melayu, dan Eropa.
Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk atap undak layaknya tajug pada arsitektur Jawa, serta bentuk mahkota atau genta khas Eropa di bagian ujungnya. Pengaruh budaya Eropa juga terlihat dari pintu dan jendela masjid yang cukup besar. Sedangkan ciri Timur Tengah terlihat pada mimbar yang berbentuk kubah. Untuk pengaruh bangunan Melayu terdapat pada masjid yang berbentuk rumah kolong atau rumah panggung.
Hal unik yang masih jadi daya tarik dari masjid ini sampai sekarang adalah keunikan dari enam tiang yang belum berhasil di peluk oleh siapapun. Tiang tersebut merupakan kayu belian yang berukuran raksasa. Bahkan saking besarnya tak akan sampai tangan dipeluk oleh orang dewasa sekalipun. Konon cerita yang tersebar di masyarakat, apabila ada yang berhasil memeluk tiang tersebut maka keinginan atau hajatnya akan dikabulkan. Pengurus masjid mengatakan jika kayu tersebut konon diambil dari hutan di daerah Ketapang.
Peninggalan bersejarah lainnya yang masih dapat dijumpai di dalam masjid jamik tersebut yakni mimbar khatib shalat Jumat. Mimbar ini berwarna kuning dengan arsitektur khas. Ukiran yang dibuat pada kayu mimbar masih asli dan tidak pernah mengalami perubahan. Hingga kini mimbar tersebut tetap berfungsi sebagai tempat khatib berceramah. Selain itu, di dalam masjid juga terdapat beberapa barang bersejarah seperti guci tempat menyimpan air minum.
Arsitektur masjid yang dipengaruhi budaya dari berbagai daerah atau negara dan masih terpelihara dengan baik hingga kini, menjadi hal menarik dari Masjid Sultan Syarif Abdurrahman untuk dikunjungi, tidak sekadar untuk menyaksikan keindahannya, tetapi juga belajar dari sejarah panjang tempat ibadah tersebut.
Arsitektur Masjid Sultan Syarif Abdurrahman pikat wisatawan
Senin, 17 April 2023 18:23 WIB