Manila (ANTARA Kalbar) - Uji kompetensi wartawan (UKW) di Indonesia menarik perhatian kalangan wartawan Filipina karena dinilai bermanfaat bagi pertumbuhan pers secara sehat tanpa harus membatasi aspek kebebasan persnya sendiri.
"Uji kompetensi wartawan itu pada dasarnya memang perlu, beruntung Indonesia bisa menerapkannya. Bagi kami di sini, rasanya masih sulit diterapkan karena wartawan Filipina sudah terlalu bebas," kata Arlene Burgos, Kepala Pemberitaan TV ABS CBN Filipina yang dimintai pendapatnya di Quezon City, dekat Manila, Sabtu (14/7).
Arlene mengatakan seorang wartawan di manapun dituntut untuk bekerja profesional, mengetahui etika dan aspek tanggung jawab pekerjaan kewartawanan yang digelutinya. Jika tidak disertai kompentensi cukup di bidangnya, maka selalu akan ada potensi persoalan.
Menurut Arlene, gagasan UKW di Indonesia itu sangat menarik karena belum pernah ada atau diterapkan di negara-negara lain.
"Oleh karena itu bisa saja diterapkan di negara-negara lain termasuk Filipina sepanjang usulannya muncul dari organisasi wartawan sendiri, seperti di Indonesia," katanya.
Wartawan investigasi terkemuka Filipina, Luz Rimban, menyatakan keheranannya mengapa hal yang secara teoritis sulit bisa diterima kalangan pers di manapun itu bisa diterapkan di Indonesia.
"Saya terkejut mendengar kalau Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) juga menyetujui UKW," kata Luz, yang mengatakan ia punya cukup banyak teman di kalangan AJI.
Luz menambahkan UKW di Indonesia tentu didorong kebutuhan tertentu, termasuk untuk membedakan mana wartawan sungguhan mana yang bukan. "Kami di sini juga punya persoalan serius mengenai apa yang di Indonesia dikenal wartawan bodrex," kata Luz, salah satu pendiri asosiasi wartawan investigasi Filipina.
Namun Luz menyatakan tidak sependapat jika UKW dikaitkan dengan kebutuhan sertifikasi bagi wartawan, seperti dokter, pengacara dan akuntan, meski sama-sama bidang pekerjaannya berkeahlian tertentu.
Menurut dia, pekerjaan jurnalistik itu lebih terkait pada kekebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi.
Lebih dari itu, kata Luz mengingatkan, jangan sampai mekanisme UKW akhirnya digunakan penguasa sebagai cara untuk membatasi kebebasan pers. Tetapi persoalannya akan lain jika UKW dilaksanakan atas komitmen dari dalam kalangan pers sendiri, seperti yang terjadi di Indonesia sekarang.
Dr Violet Valdez, Direktur Eksekutif ACFJ (Asian Center for Journalism), menyambut baik pelaksanaan UKW di Indonesia dan baginya itu sesuatu yang menarik dipelajari. Gagasan untuk mendorong profesionalisme di bidang jurnalistik ini sebenarnya sudah cukup banyak diperdengarkan, tetapi tidak pernah ada yang berani mewujudkannya.
"Wartawan itu memang harus memahami tugas dan tanggung jawabnya secara benar, bukan hanya terus berpedoman kepada kebebasan pers dari kaca mata sendiri," kata Valdez yang dimintai pendapatnya di kantornya (13/7) di Universitas Ateneo de Manila, di Quezon City.
Dalam catatan, UKW berpijak pada kesepakatan organisasi-organisasi pers dan kewartawanan seluruh Indonesia pada 9 Februari 2010 saat puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) dan HUT ke-64 PWI di Palembang, Sumatera Selatan mengenai perlunya Standar Kompetensi Wartawan (SKW).
Kesepakatan diambil sebagai upaya meningkatkan kualitas wartawan dalam menjalankan kemerdekaan pers serta telah ditandatangani oleh masing-masing pimpinan organisasi pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, pada 26 Januari 2010.
Sejak pertama kali dilaksanakan hingga pertengahan 2012 sudah lebih 2.500 wartawan di seluruh Indonesia yang dinyatakan lolos UKW dari sekitar 20.000 wartawan yang terdaftar sebagai anggota di berbagai organisasi kewartawanan di seluruh Indonesia.
(E004).
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
"Uji kompetensi wartawan itu pada dasarnya memang perlu, beruntung Indonesia bisa menerapkannya. Bagi kami di sini, rasanya masih sulit diterapkan karena wartawan Filipina sudah terlalu bebas," kata Arlene Burgos, Kepala Pemberitaan TV ABS CBN Filipina yang dimintai pendapatnya di Quezon City, dekat Manila, Sabtu (14/7).
Arlene mengatakan seorang wartawan di manapun dituntut untuk bekerja profesional, mengetahui etika dan aspek tanggung jawab pekerjaan kewartawanan yang digelutinya. Jika tidak disertai kompentensi cukup di bidangnya, maka selalu akan ada potensi persoalan.
Menurut Arlene, gagasan UKW di Indonesia itu sangat menarik karena belum pernah ada atau diterapkan di negara-negara lain.
"Oleh karena itu bisa saja diterapkan di negara-negara lain termasuk Filipina sepanjang usulannya muncul dari organisasi wartawan sendiri, seperti di Indonesia," katanya.
Wartawan investigasi terkemuka Filipina, Luz Rimban, menyatakan keheranannya mengapa hal yang secara teoritis sulit bisa diterima kalangan pers di manapun itu bisa diterapkan di Indonesia.
"Saya terkejut mendengar kalau Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) juga menyetujui UKW," kata Luz, yang mengatakan ia punya cukup banyak teman di kalangan AJI.
Luz menambahkan UKW di Indonesia tentu didorong kebutuhan tertentu, termasuk untuk membedakan mana wartawan sungguhan mana yang bukan. "Kami di sini juga punya persoalan serius mengenai apa yang di Indonesia dikenal wartawan bodrex," kata Luz, salah satu pendiri asosiasi wartawan investigasi Filipina.
Namun Luz menyatakan tidak sependapat jika UKW dikaitkan dengan kebutuhan sertifikasi bagi wartawan, seperti dokter, pengacara dan akuntan, meski sama-sama bidang pekerjaannya berkeahlian tertentu.
Menurut dia, pekerjaan jurnalistik itu lebih terkait pada kekebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi.
Lebih dari itu, kata Luz mengingatkan, jangan sampai mekanisme UKW akhirnya digunakan penguasa sebagai cara untuk membatasi kebebasan pers. Tetapi persoalannya akan lain jika UKW dilaksanakan atas komitmen dari dalam kalangan pers sendiri, seperti yang terjadi di Indonesia sekarang.
Dr Violet Valdez, Direktur Eksekutif ACFJ (Asian Center for Journalism), menyambut baik pelaksanaan UKW di Indonesia dan baginya itu sesuatu yang menarik dipelajari. Gagasan untuk mendorong profesionalisme di bidang jurnalistik ini sebenarnya sudah cukup banyak diperdengarkan, tetapi tidak pernah ada yang berani mewujudkannya.
"Wartawan itu memang harus memahami tugas dan tanggung jawabnya secara benar, bukan hanya terus berpedoman kepada kebebasan pers dari kaca mata sendiri," kata Valdez yang dimintai pendapatnya di kantornya (13/7) di Universitas Ateneo de Manila, di Quezon City.
Dalam catatan, UKW berpijak pada kesepakatan organisasi-organisasi pers dan kewartawanan seluruh Indonesia pada 9 Februari 2010 saat puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) dan HUT ke-64 PWI di Palembang, Sumatera Selatan mengenai perlunya Standar Kompetensi Wartawan (SKW).
Kesepakatan diambil sebagai upaya meningkatkan kualitas wartawan dalam menjalankan kemerdekaan pers serta telah ditandatangani oleh masing-masing pimpinan organisasi pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, pada 26 Januari 2010.
Sejak pertama kali dilaksanakan hingga pertengahan 2012 sudah lebih 2.500 wartawan di seluruh Indonesia yang dinyatakan lolos UKW dari sekitar 20.000 wartawan yang terdaftar sebagai anggota di berbagai organisasi kewartawanan di seluruh Indonesia.
(E004).
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012