Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menyatakan kebijakan subsidi harga gas bumi tertentu (HGBT) mampu menurunkan biaya komponen energi dari total modal produksi sebesar 23-26 persen.
"Kehadiran HGBT telah memberikan multiplier effect yang besar seperti investasi baru dan penyerapan jumlah tenaga kerja disamping kontribusi pembayaran pajak kepada negara," kata Ketua Umum Asaki Edy Suyanto dalam pernyataan di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan angka tersebut didapat berdasarkan awal implementasi penuh HGBT di wilayah Jawa bagian barat.
Sementara, untuk di Jawa bagian timur, sejak diberlakukannya beleid ini di tahun 2020 telah dikenakan pembatasan pemakaian atau kuota 70-75 persen dari volume kontrak gas.
Pihaknya berharap agar pemerintah segera memperpanjang kebijakan HGBT untuk industri keramik nasional pada Januari 2025, mengingat subsidi tersebut sangat vital bagi sektor ini, karena tergolong membutuhkan banyak energi untuk produksi.
Adapun dalam program HGBT menyasar tujuh subsektor industri yakni pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca dan sarung tangan karet, dengan biaya yang ditetapkan yakni sebesar 6,5 dolar AS per million British thermal unit (MMBTU).
Selain itu, Edy menyampaikan pihaknya saat ini telah menerima harga terbaru dari gas regasifikasi yang naik 2,5 kali lipat dari ketetapan HGBT yakni sebesar 16,77 dolar AS per MMBTU. Dikatakan dia, harga tersebut terbilang tinggi dan akan merugikan industri keramik domestik.
"Dengan kebijakan tersebut artinya ini merupakan harga gas termahal di kawasan Asia Tenggara," katanya.
Selanjutnya, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan mengatakan kebijakan harga gas yang sangat tinggi berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2025.
Oleh karena itu, terkait suplai gas, Yustinus mengatakan kondisi ini seharusnya dikendalikan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM dan berdasarkan rekomendasi Kementerian Perindustrian.