Washington DC (ANTARA Kalbar) - Salah satu bahan diskusi hangat dalam Konferensi AIDS Internasional yang berakhir minggu lalu di Washington, DC, adalah menggalakkan prosedur sunat atau khitan bagi kaum lelaki. Menurut WHO, sunat bisa mengurangi risiko terinfeksi hingga 60 persen.

Menyadari manfaat sunat, para pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat di daerah-daerah yang memiliki prevalensi tinggi HIV/AIDS telah gencar menggalakkan prosedur yang dikatakan sederhana dan tidak mahal ini.
 
Papua adalah provinsi yang memiliki proporsi populasi dengan HIV/AIDS paling tinggi di Indonesia. Constant Karma, ketua Komisi Pencegahan AIDS (KPA) provinsi dan ketua delegasi Papua ke konferensi ini mengatakan, sekitar 2,4 persen penduduk provinsi itu terjangkit virus mematikan itu. Dia mengatakan KPA Papua berusaha keras dalam pencegahan serta pemberian dukungan pengobatan dan perawatan kepada ODHA.
 
Dalam upaya pencegahan, KPA Papua bekerja sama dengan para tokoh masyarakat, agama dan budaya setempat untuk mempromosikan sunat yang masih asing di Papua dan seolah-olah dilarang oleh gereja.
 
Ketua delegasi Papua itu mengatakan dasar kampanye sunat medis adalah rekomendasi UNAIDS dan WHO.
 
“Dalam pertemuan ahli kedokteran di Paris tahun 2007 yang disponsori UNAIDS dan WHO, ada rekomendasi bahwa sunat bisa mencegah penularan HIV pada waktu hubungan seks sampai 61 persen,” ungkap Karma.
 
Constant Karma mengatakan,  kampanye sunat (sirkumsisi) di Papua tidak mudah karena seakan-akan gereja melarang, tetapi dia kemudian dibantu oleh para ahli teologia. Mereka memberikan pemahaman kepada para pendeta, tokoh masyarakat dan tokoh adat, dan ternyata hasilnya menggembirakan.
 
 â€œSemua dokter tahu sirkumsisi untuk kesehatan, bukan untuk keselamatan di surga. Jadi jangan melihat dari aspek agamanya. Jadi sunat untuk kesehatan reproduksi. Forum internasional yang besar di Washington ini pun banyak diskusi dan film tentang sirkumsisi, “ tambah Karma.
 
Delegasi Papua dalam Konferensi AIDS ini juga membuka stand pameran dan membagi-bagikan buku tentang pandangan gereja yang menyatakan bahwa sirkumsisi tidak bertentangan dengan alkitab.
 
Constant Karma mengatakan selama tiga tahun KPA Papua berusaha menghubungkan benang merah dari HIV/AIDS, sirkumsisi dan alkitab yang katanya agak asing bagi masyarakat Papua. Tetapi, upaya itu terus dilakukan dengan menyebarluaskan buku tentang sirkumsisi tentang pandangan ahli teologia.
 
​​Doktor Sostenes Sumihe, salah seorang pengarang buku itu, menyatakan sirkumsisi terbukti secara ilmiah baik bagi kesehatan dan tidak dilarang alkitab, sehingga baik untuk mempertahankan kehidupan yang merupakan anugerah Tuhan.
 
Di belahan lain dunia, di bagian selatan Afrika, tepatnya di Zambia ada seorang kepala suku yang bekerja keras melawan tradisi sukunya yang tadinya menganggap sunat sebagai tindakan biadab.

Dia adalah Jonathan Eshiloni Mumena, ketua suku Kaonde di Zambia yang secara historis tidak memiliki tradisi sunat. Ketua suku ini sangat aktif terjun ke lapangan untuk mengkampanyekan sunat bagi pria sehingga dia mendapat banyak pujian karena upayanya itu.
 
Prevalensi HIV/AIDS yang tinggi di Zambia, yakni mencapai 15,4 persen di antara orang dewasa usia 14-49 tahun membuatnya terbeban untuk terus berkampanye mendorong warga sukunya agar menggunakan salah satu metode pencegahan infeksi HIV yang bisa mengurangi risiko infeksi hingga 60 persen itu.
 
Kepala suku berusia 48 tahun itu sendiri memberikan contoh dengan menjalani prosedur sunat dan suri tauladan itu juga ikut mengilhami para pria yang tidak terhitung jumlahnya di Zambia untuk menjalani prosedur sunat.
 
Berbicara dengan VOA di sela-sela acara konferensi, dia mengatakan bahwa dia merasa wajib melindungi warga sukunya.
 Mumena mengatakan, salah satu pencegahan terbesar yang ada kini adalah sunat bagi laki-laki. Sebagai kepala suku dia merasa tertantang untuk memberikan perlindungan bagi segenap anggota sukunya. Menurutnya, dalam kapasitas untuk melindungi budaya sukunya, tugas nomor satu yang diembannya adalah melindungi kehidupan, memberikan kesempatan kepada warga suku untuk hidup lebih lama dan untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara, suku, dan budaya mereka. Baginya sangat penting bahwa orang mendapat kelangsungan hidup.
 
Mumena mengatakan, dulu warga Zambia menganggap sunat sebagai tindakan biadab, tapi sekarang, dengan upaya-upaya kampanye, orang sepakat bahwa sunat adalah salah satu cara yang dapat membantu pencegahan infeksi HIV sehingga orang akan bertahan hidup lebih lama untuk menikmati budaya suku itu sendiri.

(VOA)

Pewarta:

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012