Jakarta (Antara Kalbar) - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyatakan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) tidak ditujukan untuk menghukum rakyat kecil, melainkan guna melawan kejahatan yang dilakukan korporasi besar dan terorganisir.

"Ini saya tidak mengerti, kenapa UU ini dianggap akan menahan rakyat kecil. Saya tegaskan, tidak. Ini adalah untuk kejahatan yang terorganisir, yang sebagian dilakukan oleh korporasi bukan untuk peladang tradisional," kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan seusai melantik pejabat eselon I dan II Kementerian Kehutanan, Jakarta, Jumat.

Dia menjelaskan, UU P3H  untuk melawan kejahatan korporasi dan secara terorganisir melakukan perusakan pelanggaran terhadap kawasan hutan negara yang akan merugikan masyarakat luas.

Sementara itu, lanjutnya, untuk peladang tradisional justru akan   dilindungi oleh undang-undang tersebut dan tidak akan terganggun kegiatannya berladang.

"Jadi peladang tradisional, masyarakat asli sekitar hutan  itu yang kita lindungi, tidak boleh diganggu, biarkan mereka berladang seperti yang mereka lakukan secara turun temurun, ini kita lindungi," tukasnya.

Penegasan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan tersebut menanggapi ancaman Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan yang berencana akan mengajukan "judicial review" kepada Mahkamah Konstitusi (MK), terkait UU P3H tersebut

Sebelumnya Rapat Paripurna DPR-RI, tanggal 9 Juli 2013 telah mengesahkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).

Koalisi yang diantaranya terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Sawit Watch, Indonesia Corruption Watch (ICW), menilai UU P3H mengkriminalisasi Masyarakat Adat.

Menurut Menhut, Undang-undang P3H yang terdiri dari 12 bab dan 114 pasal  dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas dua orang atau lebih yang bertindak secara bersama-sama, pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan.

Tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional, atau kegiatan nonkomersial seperti pemenuhan kebutuhan sandang/pangan/papan rumah tangga sendiri.

Undang-undang tersebut, lanjutnya, juga mengamanatkan pembentukan suatu lembaga yang melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan terorganisasi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Lembaga itu terdiri atas unsur kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan unsur terkait lainnya, seperti unsur kementerian terkait, ahli/pakar, dan wakil masyarakat. Selain memiliki fungsi penegakan hukum, lembaga ini juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi.

Dengan dibentuknya lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, maka penanganan semua tindak pidana perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini menjadi kewenangan lembaga tersebut.

Pewarta: Subagyo

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013