Jakarta (Antara Kalbar) - Pakar komunikasi politik Universitas Harvard Amerika Serikat Pippa Norris nyatanya tidak sekadar berteori manakala ia merilis studinya soal internet yang mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam politik dan pemilu.
Dalam kajiannya yang berjudul Who Surf Cafe Europe yang dirilis pada 1999 menyebutkan internet akan mendorong peningkatan keterlibatan politik masyarakat.
Banyak negara di dunia kemudian membuktikan fakta itu termasuk Amerika Serikat sendiri yang berhasil menaikkan keterlibatan generasi mudanya dalam pemilu presiden salah satunya melalui sosial media.
Di negara adikuasa itu peran sosial media dan internet bahkan terbukti mampu menjaring begitu banyak pemilih pemula menjadi pemilih aktif yang potensial.
Media sosial telah menggantikan sumber-sumber berita tradisional sebagai metode penyampaian pilihan dan informasi untuk generasi pemilih baru.
Komputer dan peranti bergerak (mobile device) mentransformasi kecepatan dan medium tempat para pemilih di Amerika Serikat untuk mendapatkan informasi mengenai para kandidat.
Media sosial seperti Twitter dan Facebook secara mantap menggantikan sumber-sumber tradisional sebagai metode penyampaian pilihan untuk sebuah generasi pemilih baru.
Seperti yang dirilis dari VoA, menjelang pemilihan umum tahun lalu misalnya, mahasiswa Center College Kelly Bolton, yang sedang berada di kampus pada debat calon wakil presiden mendapatkan kabar terbaru mengenai politik tidak dari televisi atau sumber berita tradisional lainnya, namun secara instan lewat telepon.
"Kami mengetahui apa yang terjadi saat peristiwa itu terjadi. Dan sangat menyenangkan pada saat musim politik karena Anda ingin tahu hasil survei, atau jika Romney mengatakan sesuatu atau Obama mengatakan sesuatu," ujar Bolton.
Informasi tersebut disampaikan lewat teleponnya melalui situs-situs sosial media seperti Facebook dan Twitter, yang meningkat popularitasnya seiring peningkatan jumlah orang Amerika yang memiliki peranti bergerak.
Selama debat pertama antara Presiden Barack Obama dan penantang dari Partai Republik Mitt Romney pada akhir 2012 menjelang pelaksanaan pemilu presiden di negara itu, Pusat Riset Pew menyatakan ada satu di antara 10 orang Amerika menonton debat sambil mengikuti berita mengenainya di komputer atau peranti bergerak mereka.
Adam Sharp dari twitter menyatakan saat itu lalu lintas di situs media sosial tersebut melonjak dari 1.000 kicauan per menit menjadi 100.000 kicauan (tweet) per menit selama debat-debat berlangsung.
"Twitter telah melipatgandakan jumlah pembicaraan seputar pemilu," katanya kepada VoA.
Dengan membuat grafik lalu lintas di Twitter, ia dapat menggambarkan bagaimana debat dimainkan kepada publik Amerika secara instan.
"Satu atau dua generasi yang lalu, kita mungkin harus menunggu koran esok pagi untuk mengetahui apa yang terjadi pagi ini pada kegiatan kampanye. Sekarang, kita dapat mengikuti apa yang terjadi saat hal itu terjadi lewat Twitter dan lebih dekat dengan para kandidat dan peristiwa pada waktu yang sama," ujar Sharp.
Potensi Indonesia
Hal serupa bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia, apalagi Nielsen pada 2012 menyebutkan pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta orang. Pengguna itu menyumbang 24 persen dari total 260 juta populasi penduduk Indonesia.
Mayoritas pengakses internet tersebut, menggunakan sosial media untuk mengembangkan jejaring sosial dimana total jumlahnya hampir mencapai 75 persen.
Hal itu dibenarkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring yang menyatakan saat ini sudah ada 63 juta pelanggan layanan internet di Indonesia, dengan jumlah pengguna Twitter berkisar 19,7 juta.
"Sementara untuk jumlah pengguna layanan Facebook di Indonesia mencapai 47 juta pengguna," katanya.
Pihaknya juga mencatat jumlah pengguna ponsel di Indonesia saat ini hampir sama setara penduduknya, yakni sebanyak 220 juta pengguna, dengan sebagian besar di antaranya merupakan ponsel yang dapat digunakan untuk mengakses internet secara mobile.
Angka itu, menurut dia, menunjukkan betapa besar potensi Indonesia menjadi surga internet dan sosial media sebagai wahana untuk mempropaganda dan menyosialisasikan suatu hal atau kebijakan.
Generasi muda dipastikan menjadi segmen penyumbang utama pengguna internet tersebut di mana sebagian besar dari mereka menggunakan internet untuk tetap terhubung dengan komunitasnya melalui sosial media.
Dari situlah kemudian, sosial media dianggap banyak kalangan mampu mendongrak partisipasi pemilih pemula dalam pemilu.
Wahana Strategis
Pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia (UI), Ari Junaedi, mengatakan sosial media bisa menjadi wahana yang sangat strategis untuk menjaring partisipasi pemilih pemula yang didominasi oleh kalangan muda dalam penyelenggaraan pemilu.
"Ajakan melalui media sosial dapat menjadi ajang pendidikan politik baru bagi pemilih pemula, mengingat penggunanya sebagian besar anak-anak muda," katanya.
Ari mengatakan melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter, berbagai informasi terkait Pemilihan Umum 2014 dapat disebarkan dengan gaya bahasa yang juga dekat dengan anak-anak muda.
"Bahasa yang digunakan sebaiknya informal, atau bahasa `gaul` yang biasa digunakan anak muda, bukan bahasa yang formal dan kaku," kata Ari.
Menurut Ari, sosialisasi pemilu melalui media sosial dapat mengantisipasi tingginya angka golongan putih (golput) atau pihak yang tidak memilih dari kalangan pemilih pemula pada Pemilu 2014.
Hal tersebut dapat diupayakan, lanjut Ari, karena pemilih pemula akan mengenal dan merasa dekat dengan berbagai elemen pemilu seperti tahapannya, parpol yang menjadi peserta pemilu, maupun cara memilihnya.
Apalagi ada potensi menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah, pada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, terutama pada kalangan pemilih pemula.
"Ada ketidakpercayaan pemilih terhadap peserta pemilu karena sering terjadinya kasus korupsi di kalangan kepala daerah. Mereka menganggap siapapun yang menang tidak akan membawa perubahan," kata Ari.
Menurut dia, penyelenggaraan pemilu harus dirancang lebih inovatif agar mampu memberikan kesadaran kepada para pemilih pemula bahwa pemilu akan mampu membawa perubahan dan menentukan masa depan bangsa.
Oleh karena itulah, sosialisasi soal pemilu harus lebih kreatif dan membidik tepat pada sasaran dengan instrumen yang cocok yakni sosial media sebagai sesuatu yang sedang sangat digandrungi oleh generasi muda di Tanah Air. Dengan begitu kelak akan lebih banyak pemilih pemula terjaring sebagai pemilih aktif dalam pemilu untuk Indonesia yang lebih baik.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013
Dalam kajiannya yang berjudul Who Surf Cafe Europe yang dirilis pada 1999 menyebutkan internet akan mendorong peningkatan keterlibatan politik masyarakat.
Banyak negara di dunia kemudian membuktikan fakta itu termasuk Amerika Serikat sendiri yang berhasil menaikkan keterlibatan generasi mudanya dalam pemilu presiden salah satunya melalui sosial media.
Di negara adikuasa itu peran sosial media dan internet bahkan terbukti mampu menjaring begitu banyak pemilih pemula menjadi pemilih aktif yang potensial.
Media sosial telah menggantikan sumber-sumber berita tradisional sebagai metode penyampaian pilihan dan informasi untuk generasi pemilih baru.
Komputer dan peranti bergerak (mobile device) mentransformasi kecepatan dan medium tempat para pemilih di Amerika Serikat untuk mendapatkan informasi mengenai para kandidat.
Media sosial seperti Twitter dan Facebook secara mantap menggantikan sumber-sumber tradisional sebagai metode penyampaian pilihan untuk sebuah generasi pemilih baru.
Seperti yang dirilis dari VoA, menjelang pemilihan umum tahun lalu misalnya, mahasiswa Center College Kelly Bolton, yang sedang berada di kampus pada debat calon wakil presiden mendapatkan kabar terbaru mengenai politik tidak dari televisi atau sumber berita tradisional lainnya, namun secara instan lewat telepon.
"Kami mengetahui apa yang terjadi saat peristiwa itu terjadi. Dan sangat menyenangkan pada saat musim politik karena Anda ingin tahu hasil survei, atau jika Romney mengatakan sesuatu atau Obama mengatakan sesuatu," ujar Bolton.
Informasi tersebut disampaikan lewat teleponnya melalui situs-situs sosial media seperti Facebook dan Twitter, yang meningkat popularitasnya seiring peningkatan jumlah orang Amerika yang memiliki peranti bergerak.
Selama debat pertama antara Presiden Barack Obama dan penantang dari Partai Republik Mitt Romney pada akhir 2012 menjelang pelaksanaan pemilu presiden di negara itu, Pusat Riset Pew menyatakan ada satu di antara 10 orang Amerika menonton debat sambil mengikuti berita mengenainya di komputer atau peranti bergerak mereka.
Adam Sharp dari twitter menyatakan saat itu lalu lintas di situs media sosial tersebut melonjak dari 1.000 kicauan per menit menjadi 100.000 kicauan (tweet) per menit selama debat-debat berlangsung.
"Twitter telah melipatgandakan jumlah pembicaraan seputar pemilu," katanya kepada VoA.
Dengan membuat grafik lalu lintas di Twitter, ia dapat menggambarkan bagaimana debat dimainkan kepada publik Amerika secara instan.
"Satu atau dua generasi yang lalu, kita mungkin harus menunggu koran esok pagi untuk mengetahui apa yang terjadi pagi ini pada kegiatan kampanye. Sekarang, kita dapat mengikuti apa yang terjadi saat hal itu terjadi lewat Twitter dan lebih dekat dengan para kandidat dan peristiwa pada waktu yang sama," ujar Sharp.
Potensi Indonesia
Hal serupa bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia, apalagi Nielsen pada 2012 menyebutkan pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta orang. Pengguna itu menyumbang 24 persen dari total 260 juta populasi penduduk Indonesia.
Mayoritas pengakses internet tersebut, menggunakan sosial media untuk mengembangkan jejaring sosial dimana total jumlahnya hampir mencapai 75 persen.
Hal itu dibenarkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring yang menyatakan saat ini sudah ada 63 juta pelanggan layanan internet di Indonesia, dengan jumlah pengguna Twitter berkisar 19,7 juta.
"Sementara untuk jumlah pengguna layanan Facebook di Indonesia mencapai 47 juta pengguna," katanya.
Pihaknya juga mencatat jumlah pengguna ponsel di Indonesia saat ini hampir sama setara penduduknya, yakni sebanyak 220 juta pengguna, dengan sebagian besar di antaranya merupakan ponsel yang dapat digunakan untuk mengakses internet secara mobile.
Angka itu, menurut dia, menunjukkan betapa besar potensi Indonesia menjadi surga internet dan sosial media sebagai wahana untuk mempropaganda dan menyosialisasikan suatu hal atau kebijakan.
Generasi muda dipastikan menjadi segmen penyumbang utama pengguna internet tersebut di mana sebagian besar dari mereka menggunakan internet untuk tetap terhubung dengan komunitasnya melalui sosial media.
Dari situlah kemudian, sosial media dianggap banyak kalangan mampu mendongrak partisipasi pemilih pemula dalam pemilu.
Wahana Strategis
Pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia (UI), Ari Junaedi, mengatakan sosial media bisa menjadi wahana yang sangat strategis untuk menjaring partisipasi pemilih pemula yang didominasi oleh kalangan muda dalam penyelenggaraan pemilu.
"Ajakan melalui media sosial dapat menjadi ajang pendidikan politik baru bagi pemilih pemula, mengingat penggunanya sebagian besar anak-anak muda," katanya.
Ari mengatakan melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter, berbagai informasi terkait Pemilihan Umum 2014 dapat disebarkan dengan gaya bahasa yang juga dekat dengan anak-anak muda.
"Bahasa yang digunakan sebaiknya informal, atau bahasa `gaul` yang biasa digunakan anak muda, bukan bahasa yang formal dan kaku," kata Ari.
Menurut Ari, sosialisasi pemilu melalui media sosial dapat mengantisipasi tingginya angka golongan putih (golput) atau pihak yang tidak memilih dari kalangan pemilih pemula pada Pemilu 2014.
Hal tersebut dapat diupayakan, lanjut Ari, karena pemilih pemula akan mengenal dan merasa dekat dengan berbagai elemen pemilu seperti tahapannya, parpol yang menjadi peserta pemilu, maupun cara memilihnya.
Apalagi ada potensi menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah, pada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, terutama pada kalangan pemilih pemula.
"Ada ketidakpercayaan pemilih terhadap peserta pemilu karena sering terjadinya kasus korupsi di kalangan kepala daerah. Mereka menganggap siapapun yang menang tidak akan membawa perubahan," kata Ari.
Menurut dia, penyelenggaraan pemilu harus dirancang lebih inovatif agar mampu memberikan kesadaran kepada para pemilih pemula bahwa pemilu akan mampu membawa perubahan dan menentukan masa depan bangsa.
Oleh karena itulah, sosialisasi soal pemilu harus lebih kreatif dan membidik tepat pada sasaran dengan instrumen yang cocok yakni sosial media sebagai sesuatu yang sedang sangat digandrungi oleh generasi muda di Tanah Air. Dengan begitu kelak akan lebih banyak pemilih pemula terjaring sebagai pemilih aktif dalam pemilu untuk Indonesia yang lebih baik.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013