Jakarta (Antara Kalbar) - Kepala Divisi Asia--Oceania Rainforest Foundation Norway (RFN) Hege Karsti Ragnhildstveit mengatakan masih tingginya konflik di kawasan hutan menunjukan masih sangat lemahnya pengakuan hak adat dalam masyarakat di Indonesia.
"Sampai sekarang hak-hak mereka (masyarakat adat di sekitar hutan) lemah sekali, karena nya masih banyak konflik. Di Peru atau Brasil juga ada konflik, tapi di Indonesia pengakuan hak-hak adat ini masih sangat lemah," kata Hege disela-sela peluncuran laporan RFN terkait pengelolaan hutan Indonesia berbasis hak di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan perlu ada perubahan perspektif bagaimana dapat melindungi hutan, dan itu harus dimulai dari masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang menggantungkan hidup dari hutan.
Dengan mengakui keberadaan mereka, masyarakat di sekitar hutan dan hak-hak adat berserta kearifan lokal yang mereka miliki akan menjadi salah satu solusi sebagai upaya melindungi hutan. Menurut Hege, pemerintah lah yang perlu melakukan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat adat.
a mengatakan penguatan pengakuan hak masyarakat adat dapat segera dilakukan jika putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 tentang pengeluaran hutan adat dari kawasan hutan negara dapat diimplementasikan.
"Tapi yang jadi masalah selanjutnya bagaimana Perda tentang Hukum Adat di 400 lebih kabupaten di Indonesia bisa selesai, itu prosesnya akan makan waktu lebih lama lagi. Bisa sampai rusak dulu semua hutannya kalau menunggu kabupaten punya Perda Hukum Adat," ujar Hege.
Harapan berikutnya, lanjutnya, dari RUU Pengakuan dan Perlindungan Hukum Masyarakat Adat (PPMA) yang saat ini sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2010--2014.
Berdasarkan catatan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HUMA) konflok perkebunan dan kehutanan hingga akhir November 2012 mencapai 191 dengan luasan total lahan yang menjadi pemicu konflik mencapai 1.613.972 hektare (ha).
Berdasarkan catatan HUMA konflik sektor kehutanan pada umumnya disebabkan hak menguasai negara secara sepihak pada tanah-tanah yang dikuasai oleh komunitas lokal secara komunal. Politik penunjukan tanah yang diklaim milik negara menyulut perlawanan yang menyebabkan konflik berlarut-larut.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kehutanan tahun 2007 dan 2009, terdapat 31.957 desa yang teridentifikasi berada di sekitar dan dalam kawasan hutan yang sedang menunggu proses kejelasan statusnya. Banyak desa yang secara keseluruhan wilayah administratifnya berada di dalam kawasan hutan lindung atau konservasi sehingga dapat dengan mudah dianggap ilegal.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013
"Sampai sekarang hak-hak mereka (masyarakat adat di sekitar hutan) lemah sekali, karena nya masih banyak konflik. Di Peru atau Brasil juga ada konflik, tapi di Indonesia pengakuan hak-hak adat ini masih sangat lemah," kata Hege disela-sela peluncuran laporan RFN terkait pengelolaan hutan Indonesia berbasis hak di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan perlu ada perubahan perspektif bagaimana dapat melindungi hutan, dan itu harus dimulai dari masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang menggantungkan hidup dari hutan.
Dengan mengakui keberadaan mereka, masyarakat di sekitar hutan dan hak-hak adat berserta kearifan lokal yang mereka miliki akan menjadi salah satu solusi sebagai upaya melindungi hutan. Menurut Hege, pemerintah lah yang perlu melakukan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat adat.
a mengatakan penguatan pengakuan hak masyarakat adat dapat segera dilakukan jika putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 tentang pengeluaran hutan adat dari kawasan hutan negara dapat diimplementasikan.
"Tapi yang jadi masalah selanjutnya bagaimana Perda tentang Hukum Adat di 400 lebih kabupaten di Indonesia bisa selesai, itu prosesnya akan makan waktu lebih lama lagi. Bisa sampai rusak dulu semua hutannya kalau menunggu kabupaten punya Perda Hukum Adat," ujar Hege.
Harapan berikutnya, lanjutnya, dari RUU Pengakuan dan Perlindungan Hukum Masyarakat Adat (PPMA) yang saat ini sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2010--2014.
Berdasarkan catatan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HUMA) konflok perkebunan dan kehutanan hingga akhir November 2012 mencapai 191 dengan luasan total lahan yang menjadi pemicu konflik mencapai 1.613.972 hektare (ha).
Berdasarkan catatan HUMA konflik sektor kehutanan pada umumnya disebabkan hak menguasai negara secara sepihak pada tanah-tanah yang dikuasai oleh komunitas lokal secara komunal. Politik penunjukan tanah yang diklaim milik negara menyulut perlawanan yang menyebabkan konflik berlarut-larut.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kehutanan tahun 2007 dan 2009, terdapat 31.957 desa yang teridentifikasi berada di sekitar dan dalam kawasan hutan yang sedang menunggu proses kejelasan statusnya. Banyak desa yang secara keseluruhan wilayah administratifnya berada di dalam kawasan hutan lindung atau konservasi sehingga dapat dengan mudah dianggap ilegal.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013