Palangkaraya (Antara Kalbar) - Meski pengakuan hak tanah adat telah didengungkan oleh Kepala Negara dan menemui titik baru di tingkat kebijakan, namun pemberian hak atas tanah masih jalan di tempat.
"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berulang kali menyatakan mengakui hak masyarakat adat. Namun kenyataannya belum ada perubahan, konflik justru meluas," kata Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Franky Samperante di sela-sela workshop internasional Deforestation Drivers and The Rights of Forest Peoples di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu.
Ia mengatakan memang ada perubahan di tingkat kebijakan terkait pengakuan hak masyarakat adat atas hutan mereka.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUUâ€ÂX/2012 tentang Hutan Adat, Perda Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng dan Pergub Kalteng Nomor 13 tahun 2009 tentang Tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah merupakan bentuk-bentuk kebijakan yang memberikan hak akses lahan terhadap masyarakat adat.
"Tapi pada kenyataannya, di tingkat praktiknya tidak ada," ujar dia.
Sekarang ini, ia menegaskan, skema hutan adat, hutan desa, atau hutan kemasyarakatan, porsi yang diberikan jauh dibanding hutan yang dikelola oleh perusahaan besar. Tidak hanya itu, pemberian izin konsesi pun begitu lambat dilakukan.
Pendamping dari Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan (POKKER-SHK) Kalteng Oeban Hadjo mengatakan sudah dua tahun melakukan kerja sama pendampingan untuk masyarakat adat dan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan di Kalteng.
Inti dari pendampingan ini, menurut dia, bagaimana agar masyarakat adat atau pun masyarakat lokal mempunyai hak akses terhadap hutan.
Identifikasi wilayah adat terutama wilayah pangan mereka agar dapat dikelola sehingga dapat dimasukkan dalam kebijakan tata ruang provinsi, kabupaten, kota.
Wilayah pangan dalam wilayah adat ini, menurut dia, harus dapat dioptimalkan agar pangan bagi masyarakat adat dan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan tetap terpenuhi.
Sebelumnya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat telah menangani 143 kasus konflik kekerasan terhadap masyarakat adat pada 2013. Jumlah konflik diperkirakan tiga kali lebih besar dari yang telah ditindaklanjuti AMAN karena banyak yang tidak dilaporkan dan tidak terdokumentasi dengan baik.
Bahkan enam bulan pascapenetapan Undang-Undang (UU) Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) yang disahkan pada 6 Agustus 2013 atau tiga bulan setelah Putusan MK Nomor 35, sudah 11 orang warga masyarakat adat ditangkap dan terjadi pengusiran terhadap 378 kepala keluarga di Bengkulu dan Kalimantan Selatan dengan menggunakan UU P3H ini.
Pemberian Hak Atas Tanah Adat masih Berjalan di Tempat
Rabu, 12 Maret 2014 10:49 WIB