Denpasar (Antara Kalbar) - Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) mengimbau umat Hindu di Bali tetap menjalani ritual Hari Raya Nyepi seperti biasa, meskipun bersamaan dengan musim kampanye Pemilu 2014.

"Gunakan sarana ritual tingkat terkecil dan sederhana," kata Ketua PHDI Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Sudiana, di Denpasar, Senin.

Ia juga meminta umat Hindu mengikuti ritual Nyepi di desa adat (pakraman) sebelum matahari terbit tanpa menggunakan api (amati geni).

Selain itu tidak menggunakan instrumen gamelan gong maupun tembang-tembang kekidungam dan warna sari.

Ngurah Sudiana menjelaskan bahwa ketentuan PHDI terkait "tapa brata penyepian" dapat disesuaikan dengan kondisi (dresta) yang berlaku.

PHDI mengeluarkan pedoman tentang pelaksanaan Hari Raya Nyepi hasil rapat pengurus majelis tertinggi umat Hindu tentang perayaan Nyepi Tahun Baru Saka 1936.

Rangkaian pelaksanaan Nyepi disesuaikan dengan tempat, waktu, dan keadaan di suatu desa (desa kala patra), termasuk tradisi di masing-masing desa adat di daerah ini.

Umat Hindu pada hari suci itu melaksanakan tapa brata penyepian yang meliputi tidak menyalakan api (Amati Geni), tidak melakukan kegiatan (Amati Karya), tidak bepergian (Amati Lelungan) serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang atau hura-hura (Amati Lelanguan).

Rangkaian Nyepi diawali dengan mengadakan prosesi "Melasti/Melis" di kawasan pantai  yang bermakna membersihkan "pratima" atau benda yang disakralkan oleh umat Hindu.

Tidak hanya ke pantai, "Melasti" juga bisa dilakukan ke tepi danau atau sumber mata air (kelebutan) yang dianggap suci. "Ritual ini dilakukan umat pada salah satu dari dua hari yang ditetapkan, yakni Minggu (30/3) dan Senin (31/3).

Ngurah Sudiana menjelaskan, umat yang bermukim dekat pantai melakukan prosesi "Melasti" ke laut, dan yang tinggal di daerah pegunungan melakukannya ke danau atau ke sumber mata air.

Sementara masyarakat yang tinggal di tengah-tengah daratan Pulau Dewata jauh dari laut maupun danau, dapat melakukan ritual "Melasti" di sumber mata air terdekat.

Setelah "Melasti", menyusul dilakukan "Bhatara Nyejer" di Pura Desa/Bale Agung di desa adat masing-masing, dilanjutkan dengan "Tawur Kesanga" atau persembahan kurban pada hari Minggu (30/3), sehari menjelang Nyepi.

"Tawur Kesanga" itu dilakukan secara berjenjang di tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan banjar hingga di rumah tangga masing-masing.

"Kegiatan ritual tersebut bermakna meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara sesama umat manusia, lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa," kata Ngurah Sudiana.

Pewarta: IK Sutika

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014