Pontianak (Antara Kalbar) - Gerakan Masyarakat untuk Pembebasan Warga Korban Kriminal melapor ke Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia perwakilan Kalimantan Barat terkait persoalan hilangnya tenda posko yang didirikan di bundaran Tugu Digulis Universitas Tanjungpura Pontianak.

Perwakilan GMPWKK, Hendrikus Adam, di Pontianak, Jumat mengatakan, pihaknya telah melapor ke Ombudsman RI perwakilan Kalbar dan Komnas HAM perwakilan Kalbar terkait posko yang didirikan pada Rabu (14/5) malam dan hilang dalam semalam.

Kepada Ombudsman, mereka melaporkan bentuk pelayanan publik yang diberikan Kepolisian Daerah Kalbar kepada GMPWKK tersebut, karena sesuai tugasnya aparat kepolisian hendaknya memberikan pelayanan dan rasa aman kepada warga masyarakat menjaga keberadaan posko tersebut agar tidak hilang.

Menurut Adam, posko berupa tenda tersebut didirikan terkait dengan adanya penangkapan terhadap warga Desa Batu Daya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang pada 5 Mei.

Sebanyak lima warga ditangkap paksa aparat Polda Kalbar terkait persoalan perkebunan kelapa sawit di daerah tersebut, yakni Antonius Sintu, Bethlywan, Puram Jorben Marinel, Anyun dan Yohanes Singkul.

Tiga warga di antaranya kemudian dibebaskan karena tidak cukup bukti, kecuali dua orang yang tetap ditahan Anyun (51) selaku mantan Kepala Dusun Keranji, Desa Batu Daya dan Yohanes Singkul (56) selaku ketua Badan Pemberdayaan Desa Batu Baya.

Berkaitan itu, GMPWKK mendirikan posko pada Rabu (14/5) malam dengan terlebih dahulu mengirim surat pemberitahuan kepada Kapolresta Pontianak dan diterima petugas jaga Polresta. Posko didirikan di kawasan Bundaran Untan, Jl Ahmad Yani, pukul 20.00 WIB.

Menurut Adam, pendirian posko tersebut sempat didatangi sejumlah aparat kepolisian dan terjalin diskusi karena ternyata petugas belum mengetahui latar belakang pendirian posko dengan alasan belum menerima surat pemberitahuan sebelumnya.

Setelah penjelasan mengenai keberadaan posko tersebut, tak berapa lama kemudian salah satu aktivis dihubungi petugas kepolisian dan meminta agar tenda tersebut dibuka.

"Pada saat bersamaan, ada penjelasan dan terbangun komunikasi dan akhirnya pihak yang menelepon dapat memahami bahwa tidak mungkin membongkar tenda yang sudah didirikan," kata Adam.

Atas dasar komunikasi yang baik serta saling percaya, lanjut Adam, maka akhirnya posko tetap berdiri tegak dan pihak aliansi menganggap hal tersebut dengan sendirinya selesai.

Namun pada Kamis (15/5) pagi, tim aliansi mendapati tenda posko dengan bahan material terdiri dari plastik warna biru dengan posisi terpasang rapi saat ditinggalkan anggota aliansi sekitar pukul 03.30 WIB, sudah hilang tidak diketahui keberadaannya lagi.

"Hilangnya tenda posko baru diketahui sekitar pukul 09.30 WIB, karena itu aliansi akhirnya membuat laporan kehilangan pada Kamis malam," katanya.

Jumat (16/5), mereka melapor ke Ombudsman dan Komnas HAM Kalbar.

"Kami melapor ke Ombudsman dalam kaitan pelayanan publik. Aparat kepolisian semestinya memberikan pelayanan publik yang baik dan memberikan rasa aman kepada warga. Menjaga posko agar tidak hilang. Kami juga tidak tahu siapa yang membongkar posko itu," katanya.

Kepada Komnas HAM perwakilan Kalbar, laporan secara tertulis yang disampaikan isinya sama dengan yang ditujukan ke Polsek Pontianak Selatan mengenai kehilangan posko tersebut.

"Tetapi konteksnya kita mendirikan posko bahwa pentingnya keadilan dan kemanusiaan. Posko itu sebagai ruang berkumpul, menyatakan pendapat dan dijamin oleh undang-undang. Dengan hilangnya posko kita melihat adanya keterbatasan berpendapat, adanya pembungkaman," katanya.

Padahal, menurut Adam, kebebasan berpendapat dijamin dalam undang-undang dan tidak boleh ada pembungkaman kepada siapa pun dan oleh siapa pun.

"Kita berharap Komnas HAM bisa jadi benteng dan menjamin kebebasan berekspresi warga masyarakat," kata aktivis lingkungan tersebut. 

(N005/E011)

Pewarta:

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014