Pontianak (Antara Kalbar) - Indonesia Corruption Watch mengungkap hasil riset di Kalimantan Barat tentang patron-client (kekuasaan-bawahan) bisnis sumber daya alam menjadi pendanaan yang besar dalam kompetisi politik.
Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan ICW, Emerson Yuntho, saat menjadi pembicara Seminar Nasional "Sengkarut Tata Kelola Hutan dan Lahan di Kalbar : korupsi, aktor dan patronase politik-bisnis", di Pontianak, Selasa mengungkapkan hasil riset yang dilakukan lembaga tersebut di Kabupaten Ketapang, Kalbar.
Menurut dia, alasan Ketapang sebagai objek riset karena Ketapang masuk kategori daerah kaya sumber daya alam (SDA). Selain itu, diduga elit politik setempat mengandalkan pendanaan pada industri yang terkait alih fungsi lahan, terutama dari pertambangan dan perkebunan
Maka hasil riset ICW mengungkapkan elit politik setempat menggunakan isu SDA untuk pendanaan saat kompetisi politik, seperti dalam Pemilu kepala daerah (Pilkada) periode 2010-2015.
Pada Pilkada Ketapang tersebut diikuti empat pasangan calon bupati dan wakil bupati, namun yang kelihatan bersaing ketat ada dua pasangan. Dari hasil riset yang dilakukan ICW, muncul dana resmi dan tidak resmi saat Pilkada. Dana resmi dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Salah satu pasangan memiliki dana resmi Rp3,2 miliar, namun dana tidak resmi sekitar Rp50 miliar. Sedangkan satu pasangan lainnya memiliki dana resmi Rp1 miliar, tetapi dana tidak resmi Rp8 miliar.
Adanya dana tidak resmi diduga diperoleh dari perusahaan-perusahaan yang mengelola sumber daya alam setempat.
Emerson menyatakan, mengapa perusahaan mau menyumbang dana dalam kompetisi politik. "Karena pastinya tidak ada `makan siang` yang gratis," katanya.
Menurut dia, karena perusahaan tahu betul peran sentral dari kepala daerah. Mereka punya harapan jika membantu, maka bisa "menyetir" dikeluarkannya kebijakan untuk kepentingan perusahaan-perusahaan tersebut. Mereka juga bisa investasi untuk perusahaan baru.
"Dari cara-cara yang tidak sehat, kecenderungan muncul tidak `fair` (adil). Potensi korupsi dari sumber dana yang tidak jelas itu," katanya lagi.
Emerson mengatakan, daerah yang kaya SDA, korupsi terjadi dengan mengambil dari perizinan yang dikeluarkan sementara dari miskin SDA melakukan korupsi dari dana-dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Adapun kesimpulan dari riset tersebut, bahwa jaringan patronase di tingkat kabupaten berpusat pada bupati. Bupati begitu berkuasa sehingga yang muncul adalah "rent seizing", yaitu eksekutif yang dapat mengontrol hampir seluruh suap antara birokrasi dengan pengusaha.
Kemudian bupati mengandalkan pendanaan dari pungutan dalam pengurusan perizinan alih fungsi lahan atau SDA untuk mempertahankan kekuasaan. Aspek patronase lain adalah penempatan kerabat bupati sebagai pemilik usaha yang kemudian diberi izin batu bara. Perusahaan yang dimiliki oleh kerabat tersebut, serta izin yang dimilikinya, dijual ke perusahaan lain ketika bupati memerlukan dana, misalnya untuk pilkada.
Di Kabupaten Ketapang yang mengalami transisi dari bupati lama kepada bupati baru dari partai lain, dalam waktu yang singkat tampak bagaimana pemimpin baru mengikuti pola patronase yang mirip dengan pemimpin lama. Praktik korupsi dalam alih fungsi lahan dan pemberian izin diduga masih terus berlangsung. ***1***
(N005)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan ICW, Emerson Yuntho, saat menjadi pembicara Seminar Nasional "Sengkarut Tata Kelola Hutan dan Lahan di Kalbar : korupsi, aktor dan patronase politik-bisnis", di Pontianak, Selasa mengungkapkan hasil riset yang dilakukan lembaga tersebut di Kabupaten Ketapang, Kalbar.
Menurut dia, alasan Ketapang sebagai objek riset karena Ketapang masuk kategori daerah kaya sumber daya alam (SDA). Selain itu, diduga elit politik setempat mengandalkan pendanaan pada industri yang terkait alih fungsi lahan, terutama dari pertambangan dan perkebunan
Maka hasil riset ICW mengungkapkan elit politik setempat menggunakan isu SDA untuk pendanaan saat kompetisi politik, seperti dalam Pemilu kepala daerah (Pilkada) periode 2010-2015.
Pada Pilkada Ketapang tersebut diikuti empat pasangan calon bupati dan wakil bupati, namun yang kelihatan bersaing ketat ada dua pasangan. Dari hasil riset yang dilakukan ICW, muncul dana resmi dan tidak resmi saat Pilkada. Dana resmi dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Salah satu pasangan memiliki dana resmi Rp3,2 miliar, namun dana tidak resmi sekitar Rp50 miliar. Sedangkan satu pasangan lainnya memiliki dana resmi Rp1 miliar, tetapi dana tidak resmi Rp8 miliar.
Adanya dana tidak resmi diduga diperoleh dari perusahaan-perusahaan yang mengelola sumber daya alam setempat.
Emerson menyatakan, mengapa perusahaan mau menyumbang dana dalam kompetisi politik. "Karena pastinya tidak ada `makan siang` yang gratis," katanya.
Menurut dia, karena perusahaan tahu betul peran sentral dari kepala daerah. Mereka punya harapan jika membantu, maka bisa "menyetir" dikeluarkannya kebijakan untuk kepentingan perusahaan-perusahaan tersebut. Mereka juga bisa investasi untuk perusahaan baru.
"Dari cara-cara yang tidak sehat, kecenderungan muncul tidak `fair` (adil). Potensi korupsi dari sumber dana yang tidak jelas itu," katanya lagi.
Emerson mengatakan, daerah yang kaya SDA, korupsi terjadi dengan mengambil dari perizinan yang dikeluarkan sementara dari miskin SDA melakukan korupsi dari dana-dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Adapun kesimpulan dari riset tersebut, bahwa jaringan patronase di tingkat kabupaten berpusat pada bupati. Bupati begitu berkuasa sehingga yang muncul adalah "rent seizing", yaitu eksekutif yang dapat mengontrol hampir seluruh suap antara birokrasi dengan pengusaha.
Kemudian bupati mengandalkan pendanaan dari pungutan dalam pengurusan perizinan alih fungsi lahan atau SDA untuk mempertahankan kekuasaan. Aspek patronase lain adalah penempatan kerabat bupati sebagai pemilik usaha yang kemudian diberi izin batu bara. Perusahaan yang dimiliki oleh kerabat tersebut, serta izin yang dimilikinya, dijual ke perusahaan lain ketika bupati memerlukan dana, misalnya untuk pilkada.
Di Kabupaten Ketapang yang mengalami transisi dari bupati lama kepada bupati baru dari partai lain, dalam waktu yang singkat tampak bagaimana pemimpin baru mengikuti pola patronase yang mirip dengan pemimpin lama. Praktik korupsi dalam alih fungsi lahan dan pemberian izin diduga masih terus berlangsung. ***1***
(N005)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014