Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menyatakan pemerintah harus mengatur secara tegas peruntukan dan penggunaan BBM solar bersubsidi bagi PLN bagi golongan pelanggan masyarakat tidak mampu dan mampu.
"Pemerintah harus membuat keputusan tegas dan mengikat terhadap peruntukan dan penggunaan BBM solar bagi PLN," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Menurut dia ketegasan itu dengan membedakan antara penggunaan solar bagi keperluan listrik khusus untuk pengguna kelompok yang perlu disubsidi (450va dan 900va), dan bagi golongan mampu termasuk industri.
Ia menjelaskan harus ada audit penggunaan solar pada PLN yang membedakan penggunaan BBM solar bagi kelompok pengguna dengan daya 450va dan 900va, dan dengan kelompok pelanggan mampu termasuk Industri.
Subsidi pemerintah terhadap PLN juga perlu dievaluasi dengan cermat atau dikaji ulang, apakah sudah sejalan dengan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang rutin dilakukan selama ini. Artinya adanya kenaikan TDL logikanya harus diikuti dengan berkurangnya subsidi pemerintah terhadap PLN, katanya.
Hasil audit terhadap peruntukan penggunaan bbm solar PLN tersebut, bisa dijadikan salah satu referensi dalam menentukan besaran harga beli BBM solar dari pihak manapun.
"Artinya jika PLN menenentukan harga beli solar sesuai dengan yang mereka inginkan karena dengan pertimbangan bahwa solar tersebut dominan dipergunakan untuk golongan tidak mampu yang harus disubsidi, sehingga bisa dimaklumi oleh siapapun termasuk Pertamina sebagai persero milik negara," ungkapnya.
Terasa aneh dan tidak "fair" jika solar yang akan dibeli PLN dengan harga subsidi, ternyata solar tersebut dipergunakan untuk pembangkit listrik untuk kebutuhan golongan mampu dan industri yang seharusnya tidak disubsidi.
Sofyano menambahkan perlunya audit subsidi PLN, sejalan dengan ikhtisar hasil Pemeriksaan BPK semester I (IHPS) tahun 2013 yang disampaikan dalam sidang Peripurna di Gedung Nusantara DPR RI, dimana BPK menyatakan adanya subsidi senilai Rp44,61 triliun yang diberikan kepada golongan tarif pelanggan menengah, besar, khusus dan pemerintah.
"Hal itu bertentangan dengan tujuan pemberian subsidi sehingga alokasi subsidi listrik menjadi tidak tepat sasaran," katanya.
Terkait adanya audit terhadap harga solar yang ditawarkan Pertamina ke PLN, pada hakekatnya itu tidaklah diperlukan.
Audit terhadap harga jual solar yang ditawarkan ke PLN oleh Pertamina, pada dasarnya merupakan bentuk ketidakpercayaan PLN terhadap harga yang ditawarkan Pertamina.
"Masyarakat juga bisa menilai bahwa audit tersebut sebagai cara untuk membuktikan ke publik bahwa harga solar Pertamina diluar batas kewajaran jika hasil audit yang dilakukan lembaga audit ternyata lebih rendah dari harga yang ditawarkan Pertamina," kata Sofyano.
Terhadap tidak didapatnya persesuaian harga beli solar keekonomian yang diinginkan pihak PLN, seharusnya pihak PLN melakukan tender terbuka secara umum bahkan jika perlu mengundang pihak swasta dan termasuk pihak asing untuk turut memberikan penawaran.
"Dengan demikian pihak Pertamina tidak berpotensi disudutkan oleh publik seakan Pertamina menawarkan harga jual yang tidak wajar," kata Direktur Puskepi.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
"Pemerintah harus membuat keputusan tegas dan mengikat terhadap peruntukan dan penggunaan BBM solar bagi PLN," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Menurut dia ketegasan itu dengan membedakan antara penggunaan solar bagi keperluan listrik khusus untuk pengguna kelompok yang perlu disubsidi (450va dan 900va), dan bagi golongan mampu termasuk industri.
Ia menjelaskan harus ada audit penggunaan solar pada PLN yang membedakan penggunaan BBM solar bagi kelompok pengguna dengan daya 450va dan 900va, dan dengan kelompok pelanggan mampu termasuk Industri.
Subsidi pemerintah terhadap PLN juga perlu dievaluasi dengan cermat atau dikaji ulang, apakah sudah sejalan dengan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang rutin dilakukan selama ini. Artinya adanya kenaikan TDL logikanya harus diikuti dengan berkurangnya subsidi pemerintah terhadap PLN, katanya.
Hasil audit terhadap peruntukan penggunaan bbm solar PLN tersebut, bisa dijadikan salah satu referensi dalam menentukan besaran harga beli BBM solar dari pihak manapun.
"Artinya jika PLN menenentukan harga beli solar sesuai dengan yang mereka inginkan karena dengan pertimbangan bahwa solar tersebut dominan dipergunakan untuk golongan tidak mampu yang harus disubsidi, sehingga bisa dimaklumi oleh siapapun termasuk Pertamina sebagai persero milik negara," ungkapnya.
Terasa aneh dan tidak "fair" jika solar yang akan dibeli PLN dengan harga subsidi, ternyata solar tersebut dipergunakan untuk pembangkit listrik untuk kebutuhan golongan mampu dan industri yang seharusnya tidak disubsidi.
Sofyano menambahkan perlunya audit subsidi PLN, sejalan dengan ikhtisar hasil Pemeriksaan BPK semester I (IHPS) tahun 2013 yang disampaikan dalam sidang Peripurna di Gedung Nusantara DPR RI, dimana BPK menyatakan adanya subsidi senilai Rp44,61 triliun yang diberikan kepada golongan tarif pelanggan menengah, besar, khusus dan pemerintah.
"Hal itu bertentangan dengan tujuan pemberian subsidi sehingga alokasi subsidi listrik menjadi tidak tepat sasaran," katanya.
Terkait adanya audit terhadap harga solar yang ditawarkan Pertamina ke PLN, pada hakekatnya itu tidaklah diperlukan.
Audit terhadap harga jual solar yang ditawarkan ke PLN oleh Pertamina, pada dasarnya merupakan bentuk ketidakpercayaan PLN terhadap harga yang ditawarkan Pertamina.
"Masyarakat juga bisa menilai bahwa audit tersebut sebagai cara untuk membuktikan ke publik bahwa harga solar Pertamina diluar batas kewajaran jika hasil audit yang dilakukan lembaga audit ternyata lebih rendah dari harga yang ditawarkan Pertamina," kata Sofyano.
Terhadap tidak didapatnya persesuaian harga beli solar keekonomian yang diinginkan pihak PLN, seharusnya pihak PLN melakukan tender terbuka secara umum bahkan jika perlu mengundang pihak swasta dan termasuk pihak asing untuk turut memberikan penawaran.
"Dengan demikian pihak Pertamina tidak berpotensi disudutkan oleh publik seakan Pertamina menawarkan harga jual yang tidak wajar," kata Direktur Puskepi.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014