Makassar (Antara Kalbar) - Sejumlah lembaga survei di Makassar menolak Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU-Pilkada) yang akan disahkan pada akhir September karena dinilai telah merusak tatanan demokrasi.

         "Jika disahkan pada 25 September mendatang maka RUU Pilkada tersebut otomatis tidak hanya merusak tatanan demokrasi di Indonesia, tetapi juga akan membatasi eksistensi dari lembaga survei nantinya," ujar Manager Strategi dan Pemenangan Jaringan Riset Institute (JRI), Irfan Idris di Makassar, Jumat.

         Ia mengatakan, RUU Pilkada yang digodok oleh pemerintah itu sudah berada ditangan DPR dan sebelum pengesahan dilakukan, sejumlah elit dan lapisan masyarakat secara tegas menolak RUU tersebut.

        "Jelas akan berdampak negatif terhadap lembaga survei nantinya, makanya kami tidak mendukung jika RUU Pilkada disahkan nantinya," katanya.

         Ifran Idris menuturkan, pilkada ketika harus dipaksakan untuk dikembalikan ke DPRD juga akan berdampak negatif terhadap resistensi kepala daerahi. Padahal, masyarakat harus mengetahui siapa calon bupati atau wali kotanya mereka nantinya.  
    Apalagi dari segi peranan, bupati dan wali kota jelas sangat berbeda dengan gubernur ataupun menteri. Kalau gubernur merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, maka bupati dan wali kota lah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

         Irfan Idris lebih sepakat jika wakil bupati atau wakil wali kota yang dipilih melalui lembaga legislatif. Alasannya, peranan wakil di pucuk pemerintahan adalah sebagai pendorong apabila bupati atau wali kota tidak berada di tempat.

         "Sebenarnya (RUU Pilkada) ini tidak lebih dari efek politik yang ada. Wacana ini lempar akibat sakit hati, meski memang sebelum pilpres sudah diwacanakan," jelasnya.

         Hal serupa juga dinyatakan Direktur Eksekutif Duta Politika Indonesia (DPI) Dedi Alamsyah Mannaroi yang menilai jika pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD sebagai kemunduran karena kembali menggunakan produk Orde Baru.

         "Apa jaminannya kalau pilkada di DPRD itu tidak akan kotupsi. Koalisi Merah Putih Bisa jamin atau Mendagri bisa jamin, apa tidak salah tuh alasannya, katanya pro reformasi, kok justru malahan kembali ke adat istiadat Orde Baru," ujarnya.

         Ia mengatakan, harusnya koalisi merah putih jangan menggunakan emosionalnya dan kepentingannya kemudian mendadak pro terhadap pemerintah.      Koalisi Merah Putih saat Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden justru getol menolak RUU Pilkada yang didalamnya mendukung pemilihan dilakukan di DPRD.

         "Dulu mereka menolak RUU Pilkada, pas kalah di pilpres mereka mendukung. Andai Prabowo - Hatta menang pasti mereka menolak RUU Pilkada itu," katanya.

         Mengenai lembaga survei yang sekarang banyak digunakan oleh kandidat atau calon yang akan maju, itu tidak akan berpengaruh dan tetap bisa digunakan.

         "Jadi gunakan dua tahapan, membaca persepsi masyarakat siapa yang mereka kenal, suka dan pilih. Setelah itu hasil survei yang tinggi tetap dikembalikan ke partai dan memilih di DPRD," katanya.

         Mantan jurnalis itu mengemukakan, ini dilakukan sepanjangan RUU Pilkada itu disahkan, meski secara pribadi dirinya menolak dengan tegas karena dikhawatirkan akan adanya praktek politik uang atau "money politic" pindah ke DPRD.

         Jika praktek-praktek itu pindah ke DPRD, maka dia pun membayangkan angka politik uang itu justru jumlahnya relatif lebih besar jika dibandingkan sebelum-sebelumnya yang menggunakan sistem pilkada langsung.

         "Tidak ada jaminan RUU Pilkada itu lebih baik dari UU Pilkada saat ini. Karena baik buruknya pemimpin saat ini tergantung rakyatnya yang memilih," jelasnya.

Pewarta: Muh Hasanuddin

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014