Jakarta (Antara Kalbar) - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta pemerintah untuk memberikan pengakuan terhadap para perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga dalam masyarakat.
"Karena posisinya tidak diakui, para perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga, karena berbagai sebab, sering tidak mendapatkan tempat dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat," ujar Komisioner Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah di kantornya, Jakarta, Kamis.
Contoh sederhananya, Yuniyanti melanjutkan, perempuan kepala keluarga sering tidak dilibatkan dalam pertemuan rt/rw.
"Biasanya yang diundang adalah bapak-bapak. Ini membuat suara para perempuan itu tidak masuk dalam kebijakan yang diambil," tutur dia.
Menurut mantan ketua Komnas Perempuan ini, adanya asumsi umum bahwa seorang pemimpin rumah tangga adalah seorang laki-laki membuat perempuan sulit mendapatkan posisi-posisi penting di bidang publik.
"Perempuan sulit menjadi pemimpin publik, karena asumsinya adalah yang menjadi pemimpin rumah tangga adalah laki-laki," kata dia.
Yuniyanti melanjutkan, cukup banyak perempuan Indonesia yang menjadi kepala rumah tangga karena berbagai alasan, seperti suami telah meninggal dunia, serta suami tidak dapat lagi bekerja.
Permasalahan perempuan kepala keluarga ini juga sempat dibawa oleh Komnas Perempuan bekerja sama dengan gerakan perempuan internasional "Musawah" dan perwakilan pemerintah Indonesia dalam sebuah acara sampingan ("side event") pada pertemuan Komisi Status Perempuan (CSW) PBB ke-59 di New York pada 9-20 Maret 2015.
Acara tersebut bertajuk "Recognising Common Ground: Islam dan Women's Human Rights", yang menurut Komnas Perempuan menjadi salah satu "side event" terbaik dalam pertemuan tersebut.
Sementara, data hasil survei lembaga Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) pada tahun 2012, ada 24 persen keluarga di Indonesia yang dipimpin oleh perempuan dan sekitar 60 persen dari mereka berada dalam kondisi paling miskin dalam masyarakat.
Masih menurut Pekka, 58 persen perempuan menjadi kepala keluarga akibat suami meninggal dunia dan mayoritas (29 persen) berumur 41-50 tahun.
Sementara untuk tingkat pendidikan, 49 persen perempuan rumah tangga merupakan lulusan sekolah dasar dan hanya satu persen yang merupakan lulusan perguruan tinggi.
(M054/A.F. Firman)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
"Karena posisinya tidak diakui, para perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga, karena berbagai sebab, sering tidak mendapatkan tempat dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat," ujar Komisioner Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah di kantornya, Jakarta, Kamis.
Contoh sederhananya, Yuniyanti melanjutkan, perempuan kepala keluarga sering tidak dilibatkan dalam pertemuan rt/rw.
"Biasanya yang diundang adalah bapak-bapak. Ini membuat suara para perempuan itu tidak masuk dalam kebijakan yang diambil," tutur dia.
Menurut mantan ketua Komnas Perempuan ini, adanya asumsi umum bahwa seorang pemimpin rumah tangga adalah seorang laki-laki membuat perempuan sulit mendapatkan posisi-posisi penting di bidang publik.
"Perempuan sulit menjadi pemimpin publik, karena asumsinya adalah yang menjadi pemimpin rumah tangga adalah laki-laki," kata dia.
Yuniyanti melanjutkan, cukup banyak perempuan Indonesia yang menjadi kepala rumah tangga karena berbagai alasan, seperti suami telah meninggal dunia, serta suami tidak dapat lagi bekerja.
Permasalahan perempuan kepala keluarga ini juga sempat dibawa oleh Komnas Perempuan bekerja sama dengan gerakan perempuan internasional "Musawah" dan perwakilan pemerintah Indonesia dalam sebuah acara sampingan ("side event") pada pertemuan Komisi Status Perempuan (CSW) PBB ke-59 di New York pada 9-20 Maret 2015.
Acara tersebut bertajuk "Recognising Common Ground: Islam dan Women's Human Rights", yang menurut Komnas Perempuan menjadi salah satu "side event" terbaik dalam pertemuan tersebut.
Sementara, data hasil survei lembaga Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) pada tahun 2012, ada 24 persen keluarga di Indonesia yang dipimpin oleh perempuan dan sekitar 60 persen dari mereka berada dalam kondisi paling miskin dalam masyarakat.
Masih menurut Pekka, 58 persen perempuan menjadi kepala keluarga akibat suami meninggal dunia dan mayoritas (29 persen) berumur 41-50 tahun.
Sementara untuk tingkat pendidikan, 49 persen perempuan rumah tangga merupakan lulusan sekolah dasar dan hanya satu persen yang merupakan lulusan perguruan tinggi.
(M054/A.F. Firman)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015