Sambas (Antara Kalbar) - Mengabdi sebagai relawan guru di suatu daerah pedalaman, tentu memerlukan dukungan moril dari penduduk setempat, apakah itu sebagian atau hanya dari seorang ibu muda.

"Na, Kak Lung ngajak anak-anak kerja bakti membersihkan masjid Minggu sore," katanya padaku ketika bertemu pagi itu.

"Oh iya kak, bagus itu," jawabku sambil tersenyum padanya.

Tentu saja aku senang mendengarnya. Itu sebuah inisiatif yang membawa dampak positif buat anak-anak dan semakin meyakinkan diriku bahwa beliau memang memberikan hatinya untuk amanah yang kami berikan padanya.
 
Namanya Mulyani, seorang ibu muda yang ku kenal sejak awal ditempatkan sebagai Guru SGI di Desa Gapura. Awal pertemuan dengan beliau dimulai ketika diajak untuk belajar membuat bunga menggunakan sedotan padanya. Mulyani yang akrab disapa Kak Lung dengan senang hati mengajarkan aku.

Sejak awal pertemuan itu, kami mulai menjadi akrab. Keramahannya membuat aku tak sungkan lagi sering bertamu ke rumahnya. Aku pun mulai memanggilnya Kak Lung. Panggilan untuk anak sulung dalam keluarga Melayu Sambas.

Suatu hari, berdasarkan keputusan bersama perangkat desa dan melihat kebutuhan anak-anak di daerah penempatan, kami dari Tim Sekolah Guru Indonesia berinisiatif untuk mendirikan sebuah wadah pendidikan agama, Taman Pendidikan Alquran. Tetapi, mulai muncul pertanyaan, siapa yang akan mengajar di TPA itu?

Maka dengan warga, kami bermusyawarah untuk menentukan nama-nama itu. Tercetuslah beberapa nama yang dianggap layak untuk hal ini, termasuk Mulyani alias Kak Lung. Tugas aku kemudian adalah mengajak orang-orang dalam daftar nama tersebut untuk ikut bergabung.

Ternyata tidak mudah, pekerjaan di kebun tak bisa ditinggalkan menjadi salah satu alasan beberapa nama yang diajukan menolak. Namun ketika kutawarkan kepada Kak Lung, dengan senang hati beliau menerimanya. Hanya saja, beliau meminta maaf jika masih tidak kompeten.

"Intinya kakak mau, belajarnya bisa sambil jalan," jawabku ketika mendengar sedikit keraguannya.

Waktu pun berjalan, sudah beberapa bulan TPA Al Muhajirin, Dusun Mentibar, Desa Gapura berdiri dengan dua pengajar tetap, Kak Lung dan Mak Irum. Dua orang relawan yang dengan hati mereka datang di tengah waktu tidur siang untuk kebanyakan orang. Padahal, kami tak punya apa-apa untuk membayar mereka.

Santri yang diberikan kesempatan belajar dengan gratis, TPA yang masih dalam tahapan pengurusan legalitas, membuat tak ada sumber dana. Jadilah, sekitar 5 bulan keduanya mengajar dengan keikhlasan hati.

Tetapi jangan meremehkan semangatnya, Kak Lung yang dari pagi sudah harus menyadap karet, menyelesaikan permak pakaian pelanggannya, mengantar anaknya ke PAUD, masih punya semangat untuk mengajari anak-anak mengaji.

"Saya suka dengan anak-anak ini Na, sayang kalau tidak masuk mengajar sehari," kata Kak Lung mengungkapkan perasaannya.
    
"Terima kasih Kak," jawabku.
    
Sejak bergabung menjadi guru TPA, komunikasi dengan beliau memang semakin lancar. Segala hal mengenai TPA aku komunikasikan padanya. Begitu juga beliau denganku. Bagi aku, beliau selalu punya semangat berlebih, selalu punya inisiatif akan keberlanjutan TPA ini. Bahkan sering berkonsultasi dengan perangkat desa untuk pengembangan TPA. Termasuk ketika sore ini mengajak anak-anak menanam bunga dan membersihkan masjid.
    
Pernah suatu ketika ada tawaran mengikuti pelatihan TPA di kecamatan perbatasan. Aku pun mengajak Kak Lung untuk ikut. "Itu kesempatan untuk belajar," kataku.

Tentu saja dia mau. Meski harus menghadapi jalanan rusak, menyeberang sungai, dia dengan diantar suaminya datang mengikuti pelatihan. Anaknya yang masih balita terpaksa tidur melantai menunggu ibunya.

Kini Mei menjemput. Tujuh bulan sudah TPA itu berdiri. Kabar baik datang, TPA itu kini telah mendapat pengakuan di Kementerian Agama Sambas. Perangkat desa pun mulai menganggarkan adanya bantuan untuk TPA. Melalui musyawarah dengan orangtua santri, anak-anak pun mulai membayar iuran.

Namun bulan Mei pun menandakan masa pengabdian kami sebagai relawan Guru SGI akan segera berakhir yang juga menandakan bahwa TPA itu kini harus mandiri tanpa kami. Kak Lung yang sekarang mulai mengenakan hijab, menangis mendengarnya.

"Bagaimana kami tanpa kamu Na?" suaranya melemah.

"Ah kakak, jangan berkata begitu. Selama kakak tetap menjaga semangat untuk mereka, semuanya akan baik-baik saja," katanya sambil terisak.

Bagi Kak Lung karena aku dan teman-teman SGI-lah anak-anak kini mulai memiliki wadah pendidikan agama. Tapi bagi kami, justru karena semangat beliaulah TPA itu bisa tetap berdiri. Bagi beliau, aku telah memberikannya kesempatan untuk mengajar anak-anak luar biasa. Tetapi bagiku, beliau telah memberikan kesempatan aku belajar banyak hal, tentang keikhlasan, tentang manajemen waktu, dan tentang mengajar dari hati.

Di tengah para koruptor yang membabi buta menelan uang rakyat, ada sosok Kak Lung Mulyani yang rela dibayar seadanya untuk berbagi ilmu akhirat untuk anak-anak. Terima kasih Kak Lung.

(relawan SGI/MFJ/N005)

Pewarta: Mutmainna Fil Jannah S.Pd

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015