Kota Kinabalu, Sabah, mencatat sejarah ketika puluhan wartawan yang sehari-hari bertugas di wilayah simpadan atau perbatasan, bertemu dengan diinisiasi oleh Ikatan Setia Kawan Wartawan Malaysia Indonesia (Iswami), mulai 12 - 14 Oktober 2015.

Dari Indonesia, ada yang datang dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Sedangkan dari Malaysia, mereka yang bertugas di Sarawak dan Sabah. Tentu saja keterlibatan dari Jakarta dan Kuala Lumpur, tidak bisa dilepaskan.

Jangan bayangkan pertemuan tersebut bakal alot, ngotot atau "bersuhu" tinggi. Seperti pemberitaan di media massa kalau menyangkut kepentingan dua negara yang terkadang "memerahkan" telinga masing-masing.

Yang ada hanyalah pertemuan secara santai dan penuh tawa canda. Meski tetap saja ada kritik, saran serta pelampiasan uneg-uneg. Yah, namanya juga wartawan.

Secara resmi, acara tersebut didapuk dengan nama "Dialog Perbatasan: Mengharmonikan Masyarakat Perbatasan".

Penasihat Sosio Budaya Kerajaan Malaysia, YBHG Tan Sri Datuk Seri Panglima Dr Rais Yatim saat membuka acara menuturkan, hingga kini masih terdapat 8 hingga 10 isu yang menyangkut masalah perbatasan di kedua negara. Seperti batas wilayah, "illegal fishing", "trafficking", penyelundupan barang serta narkoba, tenaga kerja, dan persiapan menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN serta terorisme.

Menurut dia, dibanding negara lain yang mempunyai batas negara sedemikian panjang yakni ribuan kilometer, isu-isu tersebut terbilang jauh lebih sedikit.

Ia mencontohkan antara Kanada dengan Amerika Serika, masih ada 80 isu yang belum tuntas. "Atau antara Amerika Serikat dan Meksiko, ada 200 lebih isu," ujar dia.

Ia mengusulkan bahwa untuk mengharmonikan kebersamaan kedua negara, tidak hanya melalui hal-hal yang sifatnya fisik belaka. "Melainkan juga yang bersifat kelembutan, seperti pendekatan kebudayaan," kata Rais Yatim.

Ia mengingatkan, meski masing-masing negara mempunyai kedaulatan sendiri, namun dari sisi sejarah, kedekatan keduanya tidak dapat dilepaskan.

"Karena peran penting kedua negara, maka keharmonisan keduanya sangat mempengaruhi masa depan kawasan," tutur Rais Yatim.



Belum Sepakat

Atase pertahanan KBRI di Kuala Lumpur, Kolonel Yudhi Chandra Jaya menuturkan, ada dua perbedaan dalam pengakuan permasalahan di tapal batas darat antara Indonesia dengan Malaysia.

"Indonesia berpendapat, untuk `outstanding border problems` (OBP) ada 10 titik. Sedangkan bagi Malaysia, ada 9 titik," ungkap Yudhi.

Perbedaan itu muncul karena adanya perbedaan persepsi terhadap perbatasan warisan kolonial sebagai hasil perjanjian Belanda dengan Inggris tahu 1891 dan 1915.

Ke-sepuluh titik itu di sektor timur yakni Pulau Sebatik, Sungai Sinapal, Sungai Semantipal, titik C 500 - C 600, B 2700 - B 3100. Sedangkan di sektor barat, di perairan Tanjung Datu, titik D400, Gunung Raya, Gunung Jagoi/Sungai Buan, dan Batu Aum.

Dampaknya adalah seperti munculnya berbagai aktivitas ilegal, pergeseran atau hilangnya patok batas, pelanggaran pelintas batas, kesalahpahaman antara aparat di lapangan.

Untuk menyelesaikan hal itu, berbagai pertemuan antarkedua negara telah dilakukan. Perundingan terakhir dilakukan di Kuching Januari tahun lalu. Hasilnya, seperti ada prosedur standar operasional untuk menyelesaikan OBP, kesepakatan untuk mulai menyelesaikan OBP di Pulau Sebatik, serta kesepakatan mengenai timeline pembahasan OBP.

Sementara untuk batas laut, ada lima masalah garis batas maritim RI - Malaysia yakni di Laut Sulawesi, Selat Singapura bagian Timur, Tanjung Datu, Laut Cina Selatan dan batas Zona Ekonomi Eksklusif di Selat Malaka bagian Utara.

Akar permasalahannya, Malaysia bertahan pada pendirian batas laut teritorialnya didasarkan pada Peta Nasional yang diumumkan tahun 1979 oleh Malaysia.

Sedangkan Indonesia menolak peta yang dibuat tidak sesuai hukum internasional dan berprinsip penyelesaian masalah delimitasi maritime dengan mengacu ke UNCLOS 1982, di mana Indonesia diakui dunia internasional sebagai Negara Kepulauan (Archipelago State).



Peran Media

Lalu, di mana peran media? Presiden Iswami Indonesia Saiful Hadi mengatakan, pemberitaan terkait kedua negara sangat menarik dan ditunggu pembaca sehingga isu apa saja akan diburu media.

"Dan, media sosial yang paling cepat menyebarkan informasi," kata Saiful yang juga Dirut Perum LKBN Antara itu.

Media, lanjut dia, berperan sangat penting. "Media, bisa saja merekatkan atau bahkan sebaliknya, meregangkan hubungan kedua negara," ucapnya, mengingatkan.

Namun melalui media pula, masyarakat di kedua negara semakin tahu informasi yang berkembang baik di Indonesia maupun Malaysia. Informasi yang disampaikan biasanya berupa kasus-kasus seperti penyelundupan, perdagangan orang, terorisme, penjarahan hutan, pencurian ikan, tambang ilegal. Pemberitaan lain yang mengangkat kisah sukses atau keharmonisan kedua negara, juga mendapat minat yang tinggi di kalangan pembaca.

Iswami, ujar Saiful Hadi, berupaya untuk memperbanyak dialog serta saling mengunjungi antarmedia. Ia yakin, dengan semakin sering bertemu, berdialog dan saling mengunjungi maka hubungan antarinsan media semakin harmonis.

"Media dua negara saling memahami dan menyikapi isu yang berkembang dengan pandangan yang lebih terbuka," kata dia. Alhasil, sejak tiga tahun terakhir, sangat jarang Kedubes Malaysia di Jakarta didatangi pengunjuk rasa.

Penasihat Iswami Asro Kamal Rokan sepakat dengan Rais Yatim, pendekatan kebudayaan menjadi salah satu alternatif untuk memperkuat hubungan kedua belah pihak.

"Harus diakui, selama ini, sudut pandang di Indonesia tentang suatu persoalan dengan pihak Malaysia adalah menang atau kalah," kata mantan Pemimpin Umum LKBN Antara itu.



Mencari Persamaan

Beragam usul mencuat saat dialog. Misalnya, untuk permasalahan tapal batas di Pulau Sebatik. Patok batas yang ditancapkan, tidak mengikuti garis lurus seperti equator melainkan menyerong. Sehingga di Pulau Sebatik, ada sisi bagian Indonesia yang menjorok ke wilayah Malaysia, begitu juga sebaliknya.

Penyelesaiannya, dikembalikan ke posisi lurus dengan luas wilayah yang diserahkan oleh masing-masing negara, sama.

Ada pula usulan, kalau masih ada 10 titik yang belum disepakati kedua negara, masing-masing mendapat lima titik. Sebuah rumah di Sebatik yang lokasinya terbagi dua, ruang tamu dan dapur di wilayah negara yang berbeda, ikut dibahas.

Seorang jurnalis perempuan dari Sabah juga mempertanyakan unjuk rasa di Indonesia terhadap Malaysia yang terkadang dianggap berlebihan. Seperti membakar bendera atau foto pemimpin bangsa. Ini adalah sesuatu yang tidak mungkin di Malaysia.

Ketua Iswami Malaysia Datuk Zulkefli Salleh mengatakan, sebagai negara serumpun, adalah lebih baik membahas tentang masa depan kedua negara.

Terlebih lagi hubungan kedua negara tidak terlepas dari sejarah masa lalu. Pembagian wilayah antara Indonesia dan Malaysia juga berdasarkan warisan kolonial pada masa lalu.

"Itu permasalahan yang kecil," kata Zulkefli.

Kepala Perum LKBN Antara Biro Kalimantan Utara, Datuk Iskandar Zulkarnain menambahkan, lebih baik jurnalis yang bertugas di perbatasan lebih mencari persamaan dibanding perbedaan. "Kalau perbedaan, biarlah itu urusan Jakarta dan Kuala Lumpur," imbuh Iskandar.

Pertemuan itu akhirnya melahirkan "Deklarasi Kinabalu", berisi kesepakatan untuk terus memperkuat hubungan baik, terutama mengenai isu-isu sensitif dalam konteks bilateral.

Puluhan tanda tangan sebagai bentuk dukungan terlampir di deklarasi tersebut. Zulkefli Salleh menyatakan, Deklarasi Kota Kinabalu itu juga menegaskan bahwa silaturahmi dan kerja sama yang erat wartawan di perbatasan kedua negara akan terus dijalin.

Kemudian, sepakat untuk terus memupuk keharmonian masyarakat di perbatasan kedua negara melalui pemberitaan yang benar dan tepat. Lalu, menghindarkan pemberitaan yang cenderung provokatif, serta lebih mengangkat pemberitaan yang menjelaskan keharmonian kedua negara.

Dialog yang sudah terjalin saat ini juga tidak akan berhenti di Kinabalu. "Dialog-dialog serupa akan terus dilanjutkan pada masa-masa berikutnya," ujar Zulkefli Salleh.

Sementara Saiful Hadi menambahkan, jalinan silaturahim tentu tidak hanya sebatas di atas kertas. "Dengan pertemuan-pertemuan seperti ini, tidak hanya mengangkat isu perbatasan dari sudut pandang Jakarta atau Kuala Lumpur saja," ujar Saiful Hadi.

Penyelesaian masalah perbatasan, ia melanjutkan, juga harus bertujuan untuk memberi manfaat paling banyak bagi masyarakat setempat.

"Bukan penyelesaian dari sisi politik belaka, sehingga mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan sosial budaya, kemanusiaan, menjadi lebih relevan," tambahnya. Disitulah jurnalisme berperan.

Pewarta: Teguh Imam Wibowo

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015