Pontianak (Antara Kalbar) - Di Kota Pontianak, kue bakpao bukan hanya diproduksi warga Tionghoa saja, tetapi juga menjadi usaha menjanjikan bagi warga lainnya, seperti Subekti. 

Bakpao yang selama ini dikenal sebagai makanan khas dari masyarakat Tiongkok dan banyak yang beranggapan bahwa hanya masyarakat Tionghoa yang bisa membuatnya. 

Namun di Pontianak makanan itu juga dibuat oleh masyarakat dari etnis Jawa dan bisa mendatangkan omset hingga ratusan juta rupiah per bulan.

Adalah pasangan suami istri, Imam Maliki dan Subekti yang memanfaatkan peluang menjual kue bakpao untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sejak tahun 2001. 

"Sejak tahun 2001, saya dan suami hijrah dari kabupaten Sanggau ke Pontianak untuk mencoba peruntungan nasib. Keluarga kami merupakan transmigran dari Kabupaten Sragen-Jateng dan bermigrasi ke Kalbar sejak tahun 1990-an karena ayah saya bekerja sebagai buruh sawit di PTPN yang ada di Sanggau," katanya.

Setelah menikah, Subekti dan Imam lalu hijrah ke Pontianak dan menetap di rumah abang dari suaminya untuk sementara waktu.

Subekti menceritakan, abang iparnya pernah menjual bakpao di Surabaya dan berusaha mencoba mengembangkannya di Pontianak. 

"Awalnya kami tidak bisa membuat bakpao dan saat itu hanya coba-coba, tapi setelah beberapa kali mencoba, akhirnya bisa membuat bakpao dan menjualnya. Tahun 2001 itu kami menjual bakpao dengan satu gerobak dan saya sendiri yang menjualnya dengan berkeliling," tuturnya.

Usaha itu dia tekuni bersama keluarga dan baru pada tahun 2008 mereka memberanikan diri membuka satu outlet bakpao yang berlokasi di depan gedung Pontianak Convention Center (PCC) di Jalan Sutan Abdurrahman, Kecamatan Pontianak Selatan. 

Kemudian pada tahun itu juga Subekti bersama suaminya membuka tiga outlet bakpao di tempat-tempat lainnya.
Usaha itu tidak selamanya terus berkembang, karena pada 2010, Subekti dan suaminya terpaksa memutuskan menganggurkan tiga outlet bakpao karena tidak ada SDM untuk menjualnya, lantaran karyawannya banyak yang mengundurkan diri.

"Sejak tahun 2010, saya hanya punya satu outlet tetap yang berada di depan PCC itu. Dan karena ditinggal pergi karyawan, saya dan suami lalu trauma untuk mengembangkan usaha ini lagi," tuturnya.

Namun, lanjut Subekti, pada awal tahun 2014 dia bergabung dengan Inkubator Bisnis UMKM Bank Indonesia dan belajar tentang wirausaha, mulai dari motivasi, produksi, pengemasan, pemasaran, administrasi dan organisasi usaha.
Dari sana dia kembali termotivasi dan berusaha bangkit untuk kembali mengembangkan usahanya.

"Dengan modal tabungan yang tersisa pada awal tahun 2014 itu sekitar Rp20 juta saya mengajak suami untuk kembali membuka beberapa outlet," katanya. 

Tentu kali ini dengan manajemen usaha yang sudah mapan karena belajar di Inkubator Bisnis BI.

Kini outlet penjualan semakin banyak. Ada 24 orang karyawan. Omsetnya pun meningkat cepat hingga ratusan juta rupiah per bulan.

Pewarta:

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015