Jakarta (Antara Kalbar) - Kejaksaan Agung diminta berhati-hati menyelidiki dugaan rekaman PT Freeport Indonesia dengan mengenakan pasal permufakatan jahat karena PT FI yang diwakili Maroef Sjamsoedin dan pihak kedua mantan Ketua DPR Setya Novanto dan Riza Chalid sama-sama tidak menyepakati apapun.

"Unsur permufakatan jahat bisa terbukti andai kedua belah pihak bersepakat," kata pakar hukum pidana Chaerul Huda di Jakarta, Kamis.

Pengertian permufakatan jahat bisa dilihat pada pasal 88 KUHPidana, "Permufakatan itu terjadi, segera setelah dua orang atau lebih memperoleh kesepakatan untuk melakukan," katanya.

Sedangkan, kata dia, antara pihak Pertama (Maroef Sjamsoedin) dan pihak kedua (Setya Novanto dan Riza Chalid), tidak ada unsur yang disepakati.

"Sebaiknya kejaksaan jujur kepada publik. Sejak dari awal tidak ada persetujuan antara Maroef Sjamsoeddin dan Setya Novanto," katanya.

Terlebih lagi, hampir seluruh doktor maupun ahli hukum pidana berpendapat kasus itu tidak bisa dilanjutkan atau ditingkatkan ke ranah penyidikan, karena bukti yang dimiliki oleh kejagung nihil.

"Bukti tidak cukup, tidak usah malu. Kejaksaan harus berbesar hati dan tidak memaksakan kehendaknya. Apalagi baru keterangan satu saksi yakni dari Maroef Sjamseoddin," katanya.

Karena itu, hanya keterangan pihak pertama, bukti yang dimiliki Kejagung jadi mentah, sebab hanya satu bukti. Sedangkan pihak kedua selaku pihak tertuduh tidak bisa memberikan keterangan, karena tak ada persetujuan dari akhir pembicaran yang disadap itu.

"Kalau terus memaksakan kehendak untuk ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan, nanti akan malu jika di praperadilankan. Pasti kalah di sana," katanya.

Pewarta:

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016