Jakarta (Antara Kalbar) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengimbau kepada
seluruh pengusaha swasta, yang kapal dan karyawannya dibajak oleh
perompak, untuk tidak pernah bernegosiasi atau memberikan uang kepada
pihak penculik.
"Saya yakinkan 100 persen, Pemerintah tidak pernah bernegosiasi uang. Tetapi pengusaha-pengusaha itu mungkin saja, demi keselamatan pegawainya mereka bernegosiasi seperti itu (membayar tebusan). Sehingga akibatnya begini (pembajakan berulang)," kata Wapres Jusuf Kalla di Jakarta, Selasa.
Upaya permisif yakni dengan membayar tebusan kepada penculik, lanjut Wapres, justru akan berdampak pada potensi pembajakan berikutnya, sehingga Indonesia selalu menekankan tidak pernah membayar tuntutan uang dari perompak tersebut.
"Ya itu ternyata sama dengan teori pembajakan yang lain, bahwa kalau ditoleransi maka pembajakan itu akan menimbulkan pembajakan berikutnya. Pemerintah sekarang tidak mau lagi mendorong pembicaraan seperti itu (membayar tebusan)," jelasnya.
Namun, segala upaya negosiasi pembebasan sandera tentu memiliki risiko, sehingga sekarang tinggal bagaimana Pemerintah Indonesia, Malaysia dan Filipina untuk mengatasi risiko tersebut bersama-sama.
"Apa pun tindakannya, itu ada risikonya. Mau kita serang militer, pasti risikonya juga besar. Mau bayar ransum (tebusan), risikonya juga ada. Tidak bayar pun juga ada risikonya," jelasnya.
Menurut Wapres, solusi yang memungkinkan untuk saat ini adalah dengan memberikan pengawalan kepada kapal-kapal berbendera Indonesia itu ketika mengirimkan komoditi ekspor ke Filipina dan Malaysia.
"Risiko juga pasti ada kalau dikawal, yakni bisa terjadi baku tembak di laut. Ya itu tidak apa-apa, tapi memang harus izin Filipina juga," tuturnya.
Pembajakan kapal berbendera Indonesia yang terakhir terjadi di perairan Malaysia. Kelompok bersenjata yang diduga berasal dari Filipina kembali menyandera warga negara Indonesia yang bekerja di Lahad Datu Negeri Sabah, Malaysia.
Seorang warga negara Malaysia, yang juga majikan WNI tersebut, Chia Tong Len kepada kepolisian negara itu, Minggu, melaporkan sekitar pukul 04.17 waktu setempat bahwa pekerjanya yang berkewarganegaraan Indonesia tersebut sedang menangkap ikan menggunakan kapal miliknya di perairan Kawasan Felda Sahabat Tungku, Lahad Datu.
Ia mengungkapkan, kejadiannya sekitar pukul 12.00 waktu negara itu, saat kapal miliknya dengan anak buah semuanya WNI itu didatangi sebuah speedboat berukuran panjang dengan lima orang penumpang membawa senjata laras panjang.
Tidak lama kemudian, kata dia, tiga orang dari tujuh anak buah kapal (ABK) yang dipekerjakan tersebut langsung dibawa oleh kelompok bersenjata yang diduga ada hubungannya dengan kelompok bersenjata Abu Sayyap asal Filipina.
Sedangkan empat lainnya masing-masing seorang WNI dan tiga warga Filipina asal Suku Bajau Palauh telah dilepaskan bersama kapal yang digunakan menangkap ikan dengan nomor lambung LD113/5/F saat ini telah berada di Pelabuhan Lahad Datu.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016
"Saya yakinkan 100 persen, Pemerintah tidak pernah bernegosiasi uang. Tetapi pengusaha-pengusaha itu mungkin saja, demi keselamatan pegawainya mereka bernegosiasi seperti itu (membayar tebusan). Sehingga akibatnya begini (pembajakan berulang)," kata Wapres Jusuf Kalla di Jakarta, Selasa.
Upaya permisif yakni dengan membayar tebusan kepada penculik, lanjut Wapres, justru akan berdampak pada potensi pembajakan berikutnya, sehingga Indonesia selalu menekankan tidak pernah membayar tuntutan uang dari perompak tersebut.
"Ya itu ternyata sama dengan teori pembajakan yang lain, bahwa kalau ditoleransi maka pembajakan itu akan menimbulkan pembajakan berikutnya. Pemerintah sekarang tidak mau lagi mendorong pembicaraan seperti itu (membayar tebusan)," jelasnya.
Namun, segala upaya negosiasi pembebasan sandera tentu memiliki risiko, sehingga sekarang tinggal bagaimana Pemerintah Indonesia, Malaysia dan Filipina untuk mengatasi risiko tersebut bersama-sama.
"Apa pun tindakannya, itu ada risikonya. Mau kita serang militer, pasti risikonya juga besar. Mau bayar ransum (tebusan), risikonya juga ada. Tidak bayar pun juga ada risikonya," jelasnya.
Menurut Wapres, solusi yang memungkinkan untuk saat ini adalah dengan memberikan pengawalan kepada kapal-kapal berbendera Indonesia itu ketika mengirimkan komoditi ekspor ke Filipina dan Malaysia.
"Risiko juga pasti ada kalau dikawal, yakni bisa terjadi baku tembak di laut. Ya itu tidak apa-apa, tapi memang harus izin Filipina juga," tuturnya.
Pembajakan kapal berbendera Indonesia yang terakhir terjadi di perairan Malaysia. Kelompok bersenjata yang diduga berasal dari Filipina kembali menyandera warga negara Indonesia yang bekerja di Lahad Datu Negeri Sabah, Malaysia.
Seorang warga negara Malaysia, yang juga majikan WNI tersebut, Chia Tong Len kepada kepolisian negara itu, Minggu, melaporkan sekitar pukul 04.17 waktu setempat bahwa pekerjanya yang berkewarganegaraan Indonesia tersebut sedang menangkap ikan menggunakan kapal miliknya di perairan Kawasan Felda Sahabat Tungku, Lahad Datu.
Ia mengungkapkan, kejadiannya sekitar pukul 12.00 waktu negara itu, saat kapal miliknya dengan anak buah semuanya WNI itu didatangi sebuah speedboat berukuran panjang dengan lima orang penumpang membawa senjata laras panjang.
Tidak lama kemudian, kata dia, tiga orang dari tujuh anak buah kapal (ABK) yang dipekerjakan tersebut langsung dibawa oleh kelompok bersenjata yang diduga ada hubungannya dengan kelompok bersenjata Abu Sayyap asal Filipina.
Sedangkan empat lainnya masing-masing seorang WNI dan tiga warga Filipina asal Suku Bajau Palauh telah dilepaskan bersama kapal yang digunakan menangkap ikan dengan nomor lambung LD113/5/F saat ini telah berada di Pelabuhan Lahad Datu.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016