Pontianak (Antara Kalbar) - Majelis hakim PN Ketapang memperingatkan terdakwa kasus pencurian buah sawit Marasyah, agar tidak memberikan keterangan berbelit-belit dalam persidangan.

"Kita perlu ingatkan, bahwa kita sudah mendengar keterangan beberapa saksi, termasuk fakta persidangan. Tetapi kalau terdakwa masih bertele-tele, itu akan memberatkan terdakwa sendiri,” kata Eliyas Eko Setyo, seorang anggota majelis, di PN Ketapang, Kamis.


Dalam keterangannya, Marasyah memang selalu bertele-tele dan mengelak fakta persidangan, termasuk bukti SMS dengan Ambar yang juga seorang disersi TNI. Anehnya, di satu sisi dia mengakui bahwa nomor tersebut benar adalah miliknya, namun di sisi lain dia menolak isi SMS tersebut. Termasuk ketika SMS tersebut mengatakan mengenai kondisi truk yang sudah siap, tentang keberadaan PT Pilar, dan bahkan operasional pabrik sawit PT Pilar saat libur Natal. Semua itu dijawab Marasyah dengan tidak tahu.


Di hadapan majelis hakim yang diketuai Makmurin Kusumastuti, Marasyah bahkan berkali-kali mencoba mengalihkan pertanyaan dengan jawaban yang sangat tidak relevan. Ketika ditanya kebenaran SMS, sering dia berkata, “Ini masalah lahan warga yang belum menerima ganti rugi perusahaan. Ini masalah hak-hak warga,” kata dia.


Padahal menurut majelis hakim, dari keterangan saksi, barang bukti, dan fakta persidangan, semua menunjukkan keterkaitan yang erat mengenai keterlibatan Marasyah sebagai pelaku pencurian sawit. Mulai dari keterangan Ambar, Amistan, dan bahkan Jefry. Semua saling terkait.

Terkait status lahan itu sendiri, ahli dari Disbun Yamani pernah mengungkapkan bahwa lahan milik PT HHK Timur adalah seluas 7.000 hektare. Lahan tersebut memiliki izin sejak 2000 dan selalu melaporkan jika terdapat pembebasan lahan. Izin yang dikeluarkan adalah Izin Operasional Perkebunan Kelapa Sawit. Selain itu, sebelum mengolah lahan perkebunan, lanjut Yamani, PT HHK selalu menyelesaikan semua kewajiban terhadap masyarakat.

Di luar persidangan, Pakar Kebijakan Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak Duta Setiawan, juga mementahkan keterangan Marasyah. Terutama, karena Marasyah selalu mengatakan, bahwa pemanenan sawit tersebut merupakan hak warga, karena dilakukan di atas lahan warga.

Menurut Duta, pencurian tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, lanjut ahli tersebut, berdasarkan landasan teori azas pemisahan horizontal, bangunan dan tanaman di atas tanah itu bukan merupakan bagian dari lahan tersebut.
Dalam hal ini, kepemilikan tanah berbeda dengan benda-benda di atasnya, sehingga jika terjadi sengketa, harus dibuktikan sendiri-sendiri secara terpisah.

“Artinya, hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi kepemilikan bangunan dan tanaman yang berada di atasnya,” kata Duta.

Dengan demikian, berdasarkan azas pemisahan horizontal tadi, maka pihak yang merasa bahwa buah sawit atau bangunan tersebut berada di lahan yang diklaim sebagai miliknya, tidak serta-merta dia bisa mengambil sawit yang ditanam di tanah tersebut. Apalagi jika terbukti bahwa tanaman sawit tersebut dimiliki pihak lain. Alasannya, karena dalam azas pemisahan horizontal tadi, semua harus dibuktikan sendiri-sendiri kepemilikannya. “Termasuk jika seseorang mengklaim sebidang tanah namun di atas tanah tersebut berdiri bangunan yang didirikan pihak lain, maka tidak serta-merta orang tersebut boleh merobohkan bangunan itu,” kata Duta.

Dalam kasus pencurian sawit oleh Marasyah, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat Marasyah dengan pasal berlapis, yakni Pasal 363 dan 362 KUHP dan UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan jo. Pasal 64 ayat (1) dan 55 ayat (2) KUHP. Jumlah kerugian Rp240 juta dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara. Tak kalah menarik, kasus ini juga menyeret keterlibatan seorang disersi TNI, Ambar.


Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016