Pontianak (Antara Kalbar) - terdakwa Marasyah kasus pencurian tandan buah segar (TBS) milik PT HHK Timur, pernah memberi kuasan kepada LSM Padma, mengirim surat empat hari setelah kejadian pencurian, yaitu pada 24 Januari 2015.
Intinya, mengakui bahwa tandan buah segar (TBS) sawit adalah miliknya yang dirampok oleh PT HHK. Hal ini membantah pangakuan Marasyah, yang katanya tidak mengetahui pencurian tanggal 20 Januari 2015.
Fakta persidangan itu terungkap, dari keterangan saksi Ghufron Mansyur, yang merupakan Senior Legal PT USTP, holding dari PT HHK Timur, Rabu (28/6). Menurut Ghufron, setelah memberi kuasa kepada Padma, kemudian LSM itu dua kali mengirim surat kepada perusahaan. Pertama, pada Oktober 2014, yang ntinya, mengaku bahwa lahan tersebut merupakan milik Marasyah.
“Dan kedua, pada November 2014, yang intinya, berterima kasih karena surat pertama tidak direspons, yang berarti bahwa lahan sudah diserahkan kepada Marasyah,†kata Ghufron.
Dalam persidang yang berlangsung di PN Ketapang, kemarin, Ghufron menambahkan, bahwa pihak perusahaan kemudian melakukan pertemuan di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, hadir terdakwa Marasyah dan Ketua LSM Padma Gabriel Goa. “Gabriel Goa yang meminta pertemuan tersebut,†kata Ghufron, menjawab pertanyaan Ketua Majelis hakim Makmurin Kusumastuti.
Ghufron menambahkan, bahwa lahan yang diakui oleh Marasyah sebenarnya milik perusahaan. Lahan tersebut berada di area 5 dan 6 dan merupakan take over dari perusahaan Malaysia pada 2007. “ Ketika take over, lahan tersebut dinyatakan tidak dalam sengketa lahan,†tambah Ghufron.
Menurut Ghufron, Marasyah menyuruh beberapa orang warga untuk memanen buah sawit milik PT HHK. Mereka kemudian ditangkap dan telah divonis PN Ketapang.
Berdasarkan catatannya, Ghufron mengatakan, bahwa terdapat pencurian pada 22 November 2014. Pencurian tersebut, menurut Ghufron, dikomandani langsung oleh Marasyah di lahan seluas 800-1.000 hektare. Tetapi karyawan perusahaan tidak berani melarang, karena pencurian dilakukan beberapa orang. “Pengambilan sawit oleh terdakwa di lahan perusahaan terjadi pada November 2014 hingga Januari 2015,†kata Ghufron.
Dalam dakwaannya, JPU menjerat Marasyah dengan pasal berlapis yakni Pasal 363 dan 362 KUHP dan UU No. 39/2014 tentang Perkebunan jo Pasal 64 ayat (1) dan 55 ayat (2) KUHP dengan jumlah kerugian sekitar Rp240 juta, dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara.
Sejak proses penyidikan hingga persidangan, Marasyah sempat ditetapkan sebagai DPO oleh Polres Ketapang, dengan Nomor: DPO/28/V/2015/Reskrim, yang diterbitkan Polres Ketapang, 25 Mei 2015. Berdasarkan penetapan DPO tersebut, Polres Ketapang kemudian menangkap Marasyah di kawasan Asem Baris, Tebet, Jakarta Selatan, 23 Maret 2016. Melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku pula, seusai penangkapan ketika itu, Marasyah langsung dibawa ke Polres Ketapang dan dimasukkan ke dalam tahanan.
Sidang ditunda dan dilanjutkan 14 Juli 2016, dengan agenda menghadirkan saksi lain.