Pontianak (Antara Kalbar) - Penasehat hukum PT Harapan Hibrida Kalbar, Rivai Kusumanegara di Pontianak, Rabu, meminta agar aparat hukum menindak tegas para pelaku pembakaran kantor perusahaan sawit yang menjadi kliennya itu.
Ia menjelaskan, kejadian pembakaran kantor PT HHK yang berlokasi di Kabupaten Ketapang, Kalbar, menjelang lebaran lalu itu sangat merugikan, tidak saja bagi perusahaan, tapi juga bagi masyarakat sekitar. "Kasihan masyarakat yang jadi korban. Akibat pembakaran tersebut, perusahaan berhenti operasi selama beberapa hari, sehingga masyarakat tidak bisa bekerja," ujarnya.
Kejadian pembakaran kantor HHK berawal dari adanya laporan pencurian (LP) oleh pihak perusahaan. Menurut Rivai, sejak akhir 2014 hingga Juli 2015 telah terjadi 13 kali pencurian buah sawit yang dilaporkan pada Kepolisian setempat. "Satu LP telah disidang dan 12 LP masih dalam proses penyidikan," ujarnya.
Pada 10 Juli 2015, saat polisi melakukan olah TKP, oknum warga desa Jihing menyandera Sahmidi, karyawan PT HHK. Mereka memaksa Sahmidi mencabut LP, lalu ia dibawa ke Dusun Batu Leman untuk membuat pencabutan serupa. Namun Sahmidi berusaha menyelamatkan diri. Karena tidak berhasil mengejar Sahmidi, oknum warga menuju kantor PT HHK dan melakukan pengrusakan serta pembakaran.
Akibat pembakaran tersebut, kata Suhardi selaku General Manajer CSR PT HHK, warga di sekitar kantor HHK yang sebagian besar menjadi karyawan perusahaan, merasa terancam. "Mereka juga mengeluh bahwa ulah oknum warga itu membuat mereka kehilangan pekerjaan," kata Suhardi.
Rivai menambahkan bahwa PT HHK adalah perusahaan yang memiliki badan hukum resmi. Perusahaan yang didirikan pada 18 Pebruari 1982 itu diakuisisi oleh group Union Sampoerna Triputra Persada (USTP) dari PT Kulim asal Malaysia pada Agustus 2007. Sedangkan ijin lokasi adari Ka BPN Ketapang keluar pada 1996 diperkuat dengan Ijin Prinsip Usaha Perkebunan (PPUP) Kelapa Sawit dari Dirjen Perkebunan pada 1998. Sementara Izin Usaha Perkebunan (IUP) dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan pada tahun 2000.
Perusahaan memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) seluas 7.286,94 ha di Kabupaten Ketapang, dan menerapkan pola Inti Plasma. Dari total luas tersebut, perusahaan telah membangun kebun inti seluas 6.621 ha. Sedangkan untuk kebun plasma telah dibangun seluas 1.812 ha, atau 27 % dari luas kebun Inti untuk 916 petani plasma. Luasan kebun Plasma itu sudah melebihi luas minimum 20 % yang disyaratkan Permentan No. 98 tahun 2013. Rivai menjelaskan, saat PT HHK diambil alih grup USTP, telah dilakukan due diligence dan tidak ada klaim lagi dari warga.
Toh, meski kewajiban plasma telah dipenuhi, namun warga beberapa Dusun di Kec. Manis Mata menuntut perusahaan membangun Kebun Plasma Tahap 3, karena menurut warga yang disampaikan secara lisan, bahwa hal itu telah dijanjikan oleh perusahaan lama.
Untuk menghindari konflik, PT HHK berkordinasi dengan pihak Pemda. Lalu dibentuk Tim Pengawasan dan Pembinaan Perkebunan Kabupaten (TP3K) untuk verifikasi klaim warga, yang terdiri dari berbagai instansi. Hasil verifikasi sejak 2013, sejumlah 150 CPP telah menerima rekomendasi TP3K, yang dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Ketapang No. 675 tahun 2014. Hingga 2015, masih ada 11 CPP dalam proses SK dan 140 CPP belum sepakat dengan rekomendasi TP3K.
"Klien kami hanya menjalankan keputusan Bupati yang mengikat secara hukum. Itulah landasan hukum yang harus dipatuhi. Kami berharap masyarakat tidak terprovokasi oleh pihak luar yang berusaha mengacau atas nama HAM tetapi mengorbankan masyarakat itu sendiri. Kalau ada yang tidak puas, seharusnya diselesaikan secara hukum. Jangan memprovokasi warga tapi sembunyi jika ada masalah," tegas Rivai.
Menguatkan pernyataan Rivai, Komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila menegaskan bahwa dalam memperjuangan hak asasi manusia (HAM), pembela HAM harus memenuhi tiga prinsip. Pertama, harus melakukan dengan cara-cara damai. Kedua, harus menghormati nilai-nilai universal HAM. Dan ketiga, harus mengedepankan penegakan hukum.
Dengan demikian, lanjut Laila, jika terdapat seseorang atau kelompok orang, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengaku memperjuangkan HAM namun dalam aksinya mengedepankan kekerasan, maka sesungguhnya mereka bukan pejuang HAM. Laila menambahkan, prinsip tersebut berlaku universal bagi siapa saja yang mengaku pejuang HAM atau mengatasnamakan HAM.
Ketika ditanya tentang kasus pembakaran lahan PT Harapan Hibrida Kalbar (HHK) Timur, di Kecamatan Manis Mata Kabupaten Ketapang Kalbar 10 Juli 2015, Laila juga mengatakan bahwa kasus tersebut bukan pengecualian. “Artinya, jika kasus tersebut direncanakan, maka jelas melanggar prinsip-prinsip HAM. Dengan demikian, mereka bukan termasuk pejuang HAM!†tegasnya.
Itulah sebabnya, Laila sependapat, jika aparat kepolisian segera menuntaskan kasus ini. Karena hanya dengan penegakan hukum, bisa diketahui siapa dalang di balik peristiwa tersebut, termasuk motivasi dan penyebabnya