Pontianak (Antara Kalbar) - Sekretaris Dewan Adat Dayak (DAD) Manis Matta Soldanus mengecam tindakan Marasyah yang melakukan pencurian buah sawit milik PT HHK Timur.
Menurutnya, tindakan tersebut sama sekali tidak dibenarkan dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai adat Dayak sendiri.
Menurut Soldanus, sebagai masyarakat Dayak, Marasyah terikat dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang. Termasuk nilai kejujuran, sopan-santun dan tata krama dalam pergaulan, semua harus sesuai dengan adat Dayak itu sendiri.
Hukum adat Dayak, lanjut Soldanus, memang melarang warga untuk mencuri atau mengambil barang yang bukan miliknya. Karena dalam hukum adat Dayak, jika seseorang warga Dayak menginginkan barang milik orang lain, maka dia harus datang dengan sopan ke rumah si pemilik. Setelah itu dia mengatakan bahwa dia menginginkan barang tersebut. Melalui musyawarah, jika si pemilik mengizinkan, maka dia bisa memberi barang yang diminta, namun jika si pemilik tidak bersedia, maka orang tersebut tidak bisa memaksa.
Begitupun jika memanen sawit dengan alasan bahwa buah sawit tersebut diambil dari lahan yang diklaim masyarakat, tetap tidak diperbolehkan. Karena sesuai hukum adat Dayak pula, maka persoalan tersebut harusnya diselesaikan secara musyawarah dan tidak boleh dilakukan secara sepihak.
Menurut Soldanus, hukum adat dilakukan secara kebersamaan yang melekat pada masyarakat Dayak. Jika ada kesalahan, maka semua diserahkan sesuai hukum adat. Sedangkan jika perbuatannya sudah menyangkut pidana, maka sesuai hukum adat pula, penyelesaiannya diserahkan kepada pihak yang berwenang menangani masalah ini. Dalam hal ini adalah aparat penegak hukum. Dengan demikian, proses persidangan Marasyah yang saat ini tengah berlangsung di PN Ketapang, sudah sejalan dengan hukum adat Dayak itu sendiri.
“Hukum adat itu adalah warisan leluhur yang berlaku sampai saat ini. Dan Marasyah terikat dengan hukum adat tersebut,†kata Soldanus.
Kasus pencurian sawit yang dilakukan Masrayah, saat ini tengah dipersidangkan di PN Ketapang. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Marasyah dengan hukuman penjara 2 tahun 6 bulan. Marasyah dijerat pasal berlapis yakni Pasal 363 dan 362 KUHP dan UU No 39/2014 tentang Perkebunan jo Pasal 64 ayat (1) dan 55 ayat (2) KUHP dengan jumlah kerugian sekitar Rp 240 juta. Yang menarik, kasus ini juga melibatkan oknum TNI disersi, Ambar.
Sementara menurut pengamat ekonomi dan hukum Kalimantan Barat Susanto, tindakan pencurian yang dilakukan Marasyah memang harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku. Jika tidak, maka akan menjadi preseden di kemudian hari dan tidak menimbulkan efek jera. “Bahkan, karena ini sudah menyangkut investasi, maka akan berdampak buruk pula pada iklim investasi tersebut,†kata Susanto.
Dengan demikian diharapkan, bahwa dalam pengambilan keputusan nanti, hakim akan benar-benar mencermati. Tidak hanya pada filosofis tindakan terdakwa, namun juga mempertimbangkan persoalan makro. Sebab, perbuatan Marasyah bisa menciderai iklim investasi, yang saat ini sedang digalakkan Pemerintahan Jokowi. “Hakim harus memperhatikan semua fakta persidangan, termasuk bukti materiil yang ada. Bahkan, hakim juga harus mempertimbangkan, bahwa selama persidangan, Marasyah selalu memberikan keterangan yang berbelit-belit,†kata Susanto.
Yang harus diperhatikan juga, lanjut Susanto, bahwa kasus ini sangat berbeda dibandingkan kasus pencurian yang dilakukan nenek Asyani, yang mencuri tujuh batang kayu. Sebab, pencurian yang dilakukan Marasyah memang dilakukan dalam skala besar, dengan kerugian mencapai Rp240 juta.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016
Menurutnya, tindakan tersebut sama sekali tidak dibenarkan dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai adat Dayak sendiri.
Menurut Soldanus, sebagai masyarakat Dayak, Marasyah terikat dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang. Termasuk nilai kejujuran, sopan-santun dan tata krama dalam pergaulan, semua harus sesuai dengan adat Dayak itu sendiri.
Hukum adat Dayak, lanjut Soldanus, memang melarang warga untuk mencuri atau mengambil barang yang bukan miliknya. Karena dalam hukum adat Dayak, jika seseorang warga Dayak menginginkan barang milik orang lain, maka dia harus datang dengan sopan ke rumah si pemilik. Setelah itu dia mengatakan bahwa dia menginginkan barang tersebut. Melalui musyawarah, jika si pemilik mengizinkan, maka dia bisa memberi barang yang diminta, namun jika si pemilik tidak bersedia, maka orang tersebut tidak bisa memaksa.
Begitupun jika memanen sawit dengan alasan bahwa buah sawit tersebut diambil dari lahan yang diklaim masyarakat, tetap tidak diperbolehkan. Karena sesuai hukum adat Dayak pula, maka persoalan tersebut harusnya diselesaikan secara musyawarah dan tidak boleh dilakukan secara sepihak.
Menurut Soldanus, hukum adat dilakukan secara kebersamaan yang melekat pada masyarakat Dayak. Jika ada kesalahan, maka semua diserahkan sesuai hukum adat. Sedangkan jika perbuatannya sudah menyangkut pidana, maka sesuai hukum adat pula, penyelesaiannya diserahkan kepada pihak yang berwenang menangani masalah ini. Dalam hal ini adalah aparat penegak hukum. Dengan demikian, proses persidangan Marasyah yang saat ini tengah berlangsung di PN Ketapang, sudah sejalan dengan hukum adat Dayak itu sendiri.
“Hukum adat itu adalah warisan leluhur yang berlaku sampai saat ini. Dan Marasyah terikat dengan hukum adat tersebut,†kata Soldanus.
Kasus pencurian sawit yang dilakukan Masrayah, saat ini tengah dipersidangkan di PN Ketapang. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Marasyah dengan hukuman penjara 2 tahun 6 bulan. Marasyah dijerat pasal berlapis yakni Pasal 363 dan 362 KUHP dan UU No 39/2014 tentang Perkebunan jo Pasal 64 ayat (1) dan 55 ayat (2) KUHP dengan jumlah kerugian sekitar Rp 240 juta. Yang menarik, kasus ini juga melibatkan oknum TNI disersi, Ambar.
Sementara menurut pengamat ekonomi dan hukum Kalimantan Barat Susanto, tindakan pencurian yang dilakukan Marasyah memang harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku. Jika tidak, maka akan menjadi preseden di kemudian hari dan tidak menimbulkan efek jera. “Bahkan, karena ini sudah menyangkut investasi, maka akan berdampak buruk pula pada iklim investasi tersebut,†kata Susanto.
Dengan demikian diharapkan, bahwa dalam pengambilan keputusan nanti, hakim akan benar-benar mencermati. Tidak hanya pada filosofis tindakan terdakwa, namun juga mempertimbangkan persoalan makro. Sebab, perbuatan Marasyah bisa menciderai iklim investasi, yang saat ini sedang digalakkan Pemerintahan Jokowi. “Hakim harus memperhatikan semua fakta persidangan, termasuk bukti materiil yang ada. Bahkan, hakim juga harus mempertimbangkan, bahwa selama persidangan, Marasyah selalu memberikan keterangan yang berbelit-belit,†kata Susanto.
Yang harus diperhatikan juga, lanjut Susanto, bahwa kasus ini sangat berbeda dibandingkan kasus pencurian yang dilakukan nenek Asyani, yang mencuri tujuh batang kayu. Sebab, pencurian yang dilakukan Marasyah memang dilakukan dalam skala besar, dengan kerugian mencapai Rp240 juta.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016