Jakarta (Antara Kalbar) - Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar di dunia, termasuk hewan jenis amfibi.
Setidaknya saat ini terdapat 436 jenis amfibi di Indonesia yang telah berhasil diidentifikasi, dan 178 jenis di antaranya dapat dijumpai di Kalimantan bahkan 73 persen endemik.
Meski Indonesia mempunyai spesies katak nomor satu di Asia dan nomor dua di dunia setelah Brasil, tapi sangat disayangkan 10 persen spesies katak Kalimantan terancam kepunahan.
Hampir 30 persen amfibi Indonesia digolongkan IUCN Redlist dalam status data deficient atau belum bisa diidentifikasi secara lengkap menurut para ahli herpetofauna IPB.
Kurangnya data baik biologis maupun ekologis mempersulit kegiatan konservasi guna menyelamatkan spesies terancam.
"Diperlukan banyak data baik biologis maupun ekologis untuk menunjang keberhasilan konservasi spesies nasional tersebut, sedangkan penelitian atau bahkan peneliti untuk hal tersebut masih dapat dikatakan sedikit" ujar Zainuddin peneliti muda dari Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin.
Zainuddin sendiri kepada penulis mengaku belum lama ini berdiskusi dan menginventarisasi katak di Jawa Barat bersama Prof Satyabhama Das Biju ahli katak dunia.
Selain amfibia, Pulau Kalimantan juga memiliki keragaman reptil yang luar biasa.
Bahkan Kalimantan dikenal sebagai surganya para herpetologist di dunia.
Buaya senyulong (Tomistoma schegelli), tuntong laut (Callagur borneoensis), dan biawak tanpa telinga (Lanthanatus borneensis) adalah merupakan reptilia yang paling diminati pemerhati hepertofauna dunia ini juga termasuk dalam daftar yang terancam punah.
Sementara itu Prof Biju terus memberikan dorongan kepada para peneliti muda yang mengikuti Workshopnya tanggal 12-18 Maret lalu, dengan tema Amphibian Field Ecology & Taxonomy di Research Center for Climate Change - Universitas Indonesia Depok Jawa Barat, kata Zainuddin.
Indonesia mempunyai banyak spesies herfetofauna, terutama amfibi, hal ini hendaknya menjadi peluang besar bagi peneliti di Indonesia sekaligus menjadi tugas besar bagi para peneliti, tidak ada yang tidak mungkin untuk menemukan spesies baru dan mempublikasikannya, ucap Prof. Satyabhama Das Biju, seperti dikutip Zainuddin.
Perubahan iklim, hilangnya habitat dan perburuan merupakan momok yang mendorong terjadinya kepunahan massal bahkan menjadi 100 kali lebih cepat, sementara informasi mengenai objek-objek yang dikonservasi tersebut minim.
"Inilah yang dapat menyebabkan, spesies tersebut punah sebelum dipelajari atau bahkan ditemukan," katanya.
Untuk itu perlu adanya upaya perlindungan bagi spesies-spesies hepertofauna yang ada, terlebih yang belum teridentifikasi dan terisolasi, jelas Zainudin yang juga dikenal sebagai peneliti muda dari Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017
Setidaknya saat ini terdapat 436 jenis amfibi di Indonesia yang telah berhasil diidentifikasi, dan 178 jenis di antaranya dapat dijumpai di Kalimantan bahkan 73 persen endemik.
Meski Indonesia mempunyai spesies katak nomor satu di Asia dan nomor dua di dunia setelah Brasil, tapi sangat disayangkan 10 persen spesies katak Kalimantan terancam kepunahan.
Hampir 30 persen amfibi Indonesia digolongkan IUCN Redlist dalam status data deficient atau belum bisa diidentifikasi secara lengkap menurut para ahli herpetofauna IPB.
Kurangnya data baik biologis maupun ekologis mempersulit kegiatan konservasi guna menyelamatkan spesies terancam.
"Diperlukan banyak data baik biologis maupun ekologis untuk menunjang keberhasilan konservasi spesies nasional tersebut, sedangkan penelitian atau bahkan peneliti untuk hal tersebut masih dapat dikatakan sedikit" ujar Zainuddin peneliti muda dari Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin.
Zainuddin sendiri kepada penulis mengaku belum lama ini berdiskusi dan menginventarisasi katak di Jawa Barat bersama Prof Satyabhama Das Biju ahli katak dunia.
Selain amfibia, Pulau Kalimantan juga memiliki keragaman reptil yang luar biasa.
Bahkan Kalimantan dikenal sebagai surganya para herpetologist di dunia.
Buaya senyulong (Tomistoma schegelli), tuntong laut (Callagur borneoensis), dan biawak tanpa telinga (Lanthanatus borneensis) adalah merupakan reptilia yang paling diminati pemerhati hepertofauna dunia ini juga termasuk dalam daftar yang terancam punah.
Sementara itu Prof Biju terus memberikan dorongan kepada para peneliti muda yang mengikuti Workshopnya tanggal 12-18 Maret lalu, dengan tema Amphibian Field Ecology & Taxonomy di Research Center for Climate Change - Universitas Indonesia Depok Jawa Barat, kata Zainuddin.
Indonesia mempunyai banyak spesies herfetofauna, terutama amfibi, hal ini hendaknya menjadi peluang besar bagi peneliti di Indonesia sekaligus menjadi tugas besar bagi para peneliti, tidak ada yang tidak mungkin untuk menemukan spesies baru dan mempublikasikannya, ucap Prof. Satyabhama Das Biju, seperti dikutip Zainuddin.
Perubahan iklim, hilangnya habitat dan perburuan merupakan momok yang mendorong terjadinya kepunahan massal bahkan menjadi 100 kali lebih cepat, sementara informasi mengenai objek-objek yang dikonservasi tersebut minim.
"Inilah yang dapat menyebabkan, spesies tersebut punah sebelum dipelajari atau bahkan ditemukan," katanya.
Untuk itu perlu adanya upaya perlindungan bagi spesies-spesies hepertofauna yang ada, terlebih yang belum teridentifikasi dan terisolasi, jelas Zainudin yang juga dikenal sebagai peneliti muda dari Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017