Pontianak, 3/4 (Antara) - BKSDA Kalimantan Barat bersama instansi terkait menyelamatkan sebanyak 439 satwa liar yang melibatkan 28 spesies, termasuk orangutan sepanjang 2017.
"Penyelamatan terhadap satwa liar dan termasuk orangutan kami lakukan karena terjadi konflik antara manusia dengan satwa liar tersebut," kata Kepala Balai KSDA Kalbar Sadtata Noor Adirahmanta di Pontianak, Selasa.
Ia menjelaskan, konflik antara manusia dengan orangutan dipicu alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan, pertambangan liar, hutan tanaman industri serta tumpang-tindih lahan milik warga dengan habitat orangutan.
Tumpang tindih habitat orangutan dengan lahan masyarakat dan alih fungsi kawasan hutan sebagai habitat orangutan menjadi lahan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) mengakibatkan orangutan sering diburu dan dibunuh.
"Orangutan dianggap sebagai hama perusak tanaman hasil kebun. Dari hasil pemantauan media, dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, antara 2010-2017 terdapat tujuh kejadian orangutan masuk ke perkampungan warga, seperti di Desa Rasau, Desa Sungai Purun, Desa Peniraman, dan Desa Wajok, Kabupaten Mempawah," ungkapnya.
Menurut dia, ketidaktahuan masyarakat terhadap upaya mitigasi sering berujung kepada jalan pintas yaitu membunuh orangutan.
Sadtata menambahkan, salah satu penyebab penurunan jumlah populasi satwa liar di Kalbar, khususnya spesies orangutan, adalah eksploitasi melalui perburuan untuk tujuan perdagangan, pemeliharaan, dan konsumsi.
Penyebab lainnya adalah fragmentasi habitat akibat deforestasi yang disebabkan kebakaran hutan dan lahan, pembalakan liar, dan konversi hutan menjadi areal budi daya.
Menurut dia, upaya melakukan dan memberikan pengetahuan soal mitigasi pun telah pihaknya dilakukan, seperti memberikan pelatihan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia yang tengah berlangsung di Kabupaten Mempawah.
"Hal itu adalah salah satu upaya kami dalam menekan konflik manusia dan orangutan," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018
"Penyelamatan terhadap satwa liar dan termasuk orangutan kami lakukan karena terjadi konflik antara manusia dengan satwa liar tersebut," kata Kepala Balai KSDA Kalbar Sadtata Noor Adirahmanta di Pontianak, Selasa.
Ia menjelaskan, konflik antara manusia dengan orangutan dipicu alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan, pertambangan liar, hutan tanaman industri serta tumpang-tindih lahan milik warga dengan habitat orangutan.
Tumpang tindih habitat orangutan dengan lahan masyarakat dan alih fungsi kawasan hutan sebagai habitat orangutan menjadi lahan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) mengakibatkan orangutan sering diburu dan dibunuh.
"Orangutan dianggap sebagai hama perusak tanaman hasil kebun. Dari hasil pemantauan media, dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, antara 2010-2017 terdapat tujuh kejadian orangutan masuk ke perkampungan warga, seperti di Desa Rasau, Desa Sungai Purun, Desa Peniraman, dan Desa Wajok, Kabupaten Mempawah," ungkapnya.
Menurut dia, ketidaktahuan masyarakat terhadap upaya mitigasi sering berujung kepada jalan pintas yaitu membunuh orangutan.
Sadtata menambahkan, salah satu penyebab penurunan jumlah populasi satwa liar di Kalbar, khususnya spesies orangutan, adalah eksploitasi melalui perburuan untuk tujuan perdagangan, pemeliharaan, dan konsumsi.
Penyebab lainnya adalah fragmentasi habitat akibat deforestasi yang disebabkan kebakaran hutan dan lahan, pembalakan liar, dan konversi hutan menjadi areal budi daya.
Menurut dia, upaya melakukan dan memberikan pengetahuan soal mitigasi pun telah pihaknya dilakukan, seperti memberikan pelatihan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia yang tengah berlangsung di Kabupaten Mempawah.
"Hal itu adalah salah satu upaya kami dalam menekan konflik manusia dan orangutan," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018