Pontianak (Antaranews Kalbar) - Peringatan hari kelahiran tokoh emansipasi perempuan, Raden Ajeng Kartini, pada 21 April 2018, sebagai kesempatan merenungkan kembali semangat perjuangannya dan menelusuri jejak-jejak banyak perempuan Indonesia lainnya dalam memperjuangkan hak sesama, termasuk mereka di Kalimantan Barat.

Laili Khairnur (43), seorang aktivis perempuan Kalbar, misalnya, sejak tamat kuliah sekitar 1998, hingga kini memilih untuk tetap berkiprah bagi perempuan yang ada di desa-desa di Kalbar, memperjuangkan hak hidup, melepaskan diri dari kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan ketimpangan.

"Menurut saya kalau kita mengasosiasikan segala perjuangan perempuan dengan Kartini. Maka menurut saya sampai sekarang pun harusnya dilihat dari perspektif itu," kata Laili yang akrab disapa Lely yang alumnus IAIN Sunan Kalijaga angkatan 1993.

Dia yang sehari-hari sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada pemberdayaan masyarakat itu, mengatakan kalau dahulu Kartini berjuang karena di lingkungannya perempuan tidak bisa mengambil keputusan untuk dirinya, termasuk hak untuk mendapat pendidikan yang lebih baik, maka sekarang juga begitu.

Setiap perempuan yang berjuang untuk hak-hak perempuannya, kata perempuan kelahiran Sambas itu, maka hal tersebut disebut Kartini.

Hak perempuan, lanjutnya, di antaranya hak untuk lepas dari kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan ketimpangan yang dibuat oleh sistem politik, sosial, hukum, dan ekonomi.

Terkhusus lagi, adalah perempuan-perempuan miskin yang ada di desa dan kota.

Mereka itulah, disebut Lely yang pernah menjadi relawan LP3ES itu, para pejuang yang sebenarnya. Setiap hari bertarung untuk kehidupan.

Namun jika ada pendapat yang mengatakan, Kartini "zaman now" adalah perempuan-perempuan modern yang berjuang untuk meraih sukses dan dianggap telah berhasil, baginya hal itu sah-sah saja.

Akan tetapi, tidak boleh lupa bahwa Kartini itu selain memperjuangkan hak pribadinya, juga memperjuangkan hak sekolah anak-anak perempuan miskin di wilayahnya dengan membuat sekolah di rumah orang tua dan rumahnya.

Ada lagi Reny Hidjazi (46), seorang aktivis perempuan lainnya, menyatakan Kartini "zaman now" adalah Kartini yang harus bisa membebaskan belenggu dalam dirinya. Artinya, perempuan membebaskan akal pikirannya dari belenggu-belenggu pikiran atau asumsi-asumsi yang belum terjadi.

Kartini "zaman now" kata Direktur Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Borneo itu, harus benar-benar membebaskan dan memerdekakan pikiran, imajinasi, rasa, tanpa beban apapun, terutama hal-hal yang akan menghambat langkahnya, termasuk belenggu budaya yang membatasi gerak gerik perempuan. Seperti budaya kawin muda dan patriaki.

Mereka juga harus cerdas dalam mengelola waktu dan mengelola diri agar bisa membuat impian-impian dan rencana-rencana dalam tahapan kehidupannya.

Misalnya, dia bisa membuat perencanaan kapan sekolah dan menyelesaikan sekolah, serta kapan akan menikah. Selain itu, apakah dia mau bekerja di publik atau tidak, kapan dia mempunyai anak dan berapa jumlah anaknya.

"Semua itu bisa dia rencanakan," kata perempuan dengan tiga anak itu.

Untuk menjadi cerdas, menurut dia, perempuan tentu saja harus mempunyai pengetahuan. Ilmu dan pengalaman yang luas penting untuk perempuan mencari kesempatan dan peluang-peluang pendidikan, baik yang formal maupun nonformal, sebagai wadah mereka untuk mencerdaskan diri.

Kartini "zaman now" yang ketiga, menurut dia, harus selalu terbuka, mempunyai pergaulan dan jejaring yang luas karena akan memperkuat dia untuk mempunyai kemampuan mengembangkan solusi terhadap pemecahan persoalan kehidupan yang dihadapi.

Hal itu bisa mereka lakukan dengan masuk organisasi pemberdayaan, di mana dia dapat belajar, menerapkan pengetahuan yang didapat, serta memberikan pengalaman dalam hidupnya demi kepentingan diri maupun kepentingan masyarakat yang lebih luas, terutama untuk membantu saudara-saudara perempuan lainnya.

Namun begitu, Kartini "zaman now", juga harus melek teknologi untuk mempermudah dirinya dan bisa mengefektifkan serta mengefisienkan pekerjaan yang dihadapinya.

Dia juga harus bisa menorehkan sejarah atau menyambungkan sejarah perjuangan perubahan dari Kartini zaman dahulu ke "zaman now".

Jika Kartini secara individual sudah berdaya dan mampu maka dia harus meluaskan kiprahnya untuk membantu kemaslahatan orang banyak dan ikut serta mengambil posisi-posisi penting untuk ikut dalam mengambil keputusan-keputusan penting demi keberlangsungan kehidupan perempuan maupun masyarakat secara luas.

"Tetapi yang utama dari semua itu, Kartini tetap harus bahagia dalam melakukan semua kegiatannya," katanya mengingatkan.

Dimana pun berada, selalu punya banyak waktu untuk menjalankan ibadah, amalan shaleh kepada Allah SWT serta bisa memaknai dan mewarnai kehidupan yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta untuknya.

Menurut Reny yang lembaganya baru tuntas melaksanakan program sosialisasi pencegahan stunting di Kabupaten Kubu Raya itu, seorang Kartini adalah dia yang berdaya ketika bisa memikirkan banyak hal dan bisa membantu dan berbuat banyak hal, sehingga tidak menjadi beban bagi siapapun.

Hal yang paling penting, mereka bisa membantu memerdekakan perempuan-perempuan lainnya dari penindasan, ketidakadilan, perdagangan orang, eksploitasi, dan diskriminasi yang selama ini mendera perempuan.

Dia mengakui banyak keterbatasan yang ada pada dirinya, tetapi bekal hidup yang sudah dilalui itu menjadikan pemicu. Bahwa dahulu ia pernah hidup dengan kondisi yang pas-pasan karena merupakan keluarga besar dan tidak semua kebutuhan utama bisa terpenuhi.

"Selain itu banyak peristiwa dalam keluarga yang juga menjadi pendorong bahwa saya harus memerdekakan diri dan mandiri," kata dia.

Kondisi itu yang kemudian membuatnya harus merantau jauh dari emak dan abah, demi impian-impian yang harus dikejar.

Semua peristiwa dalam keluarga besar dan orang-orang sekitar menunjukkan pada dirinya bahwa banyak keluarga lainnya yang juga hidup dalam keterbatasan, tertekan, dan hidupnya tidak mengenakan, namun mampu keluar dari persoalan tersebut dan selanjutnya hidup sukses.

"Dari situ saya belajar banyak bahwa saya harus berbuat sesuatu untuk situasi berubah dan alhamdulillah saya masuk dan ketemu dengan komunitas NGO (Non Government Organisation) yang menurut saya sepemikiran dengan saya," kata dia.



Fokus

Baik Laili Khairnur maupun Reny Hidjazi, memutuskan untuk tetap fokus pada kerja kemanusiaan melalui jalur lembaga swadaya masyarakat dengan berbagai pertimbangan.

Lely mengaku pernah ingin terjun ke dunia politik sebagai bentuk kepeduliannya terhadap perempuan yang memperjuangkan haknya. Namun pada akhirnya dia memutuskan untuk tidak terjun ke dunia politik karena melihat kenyataan banyak yang sudah berkuasa tetapi tidak mampu mengubah kebijakan juga.

"Jadi menurut saya masalahnya di sistem politik kita. Jadi siapapun yang duduk kayaknya hanya mampu membuat perubahan sedikit saja. Mungkin karena memang Pemilu kita mahal," kata aktivis perempuan itu.

Menurut dia, sekarang yang penting membawa perubahan langsung di masyarakat.

"Kadang saat ini berkuasa itu `ndak` terlalu penting yang penting itu berpengaruh," kata dia.

Sementara itu, Reny yang lahir pada 9 Februari 1972, pada akhirnya tidak berminat untuk terjun ke dunia politik karena ingin memaknai kehidupan secara luas.

"Saya diberi kesempatan hidup oleh yang punya kehidupan dan saya mencoba menjalankan sesuai yang mampu saya lakukan dan yang coba saya pilih. Seperti prinsip di atas, saya ingin membebaskan dulu diri saya dari belenggu banyak hal, dan ini saya latih dengan selalu berpikir positif," kata dia.

Menurut dia, aktif di LSM memberikan kesempatan untuk belajar pembebasan pikiran, belajar metode dan media yang bisa cepat mengkritisi sesuatu, berbicara, mengemukakan pendapat atau berargumentasi serta menemukan banyak solusi.

"Sebelum saya merantau ini tidak saya temukan dalam diri saya. Karena saya dulu perempuan yang tidak berani, penurut, kuper, minder. Tetapi sejak ditempa dalam pergaulan NGO (PPSW) saya jadi lebih paham dengan yang terjadi pada diri saya dan yang terjadi pada banyak perempuan," imbuhnya.

PPSW Borneo merupakan lembaga yang fokus terhadap pemberdayaan perempuan. Perempuan miskin, janda, dan pengusaha kecil, merupakan binaan lembaga itu.

Di lembaga tersebut, mereka bersama-sama mencoba mencari solusi atas persoalan dengan program dan kegiatan yang pasti mencerahkan, dan berjuang untuk perubahan yang lebih cepat.

Kalau Kartini dahulu butuh waktu sampai satu abad, katanya, maka saat ini seharusnya bisa bersyukur karena perempuan bisa mencapai banyak perubahan dalam waktu yang relatif cepat karena bergeraknya dunia dengan teknologi.

Mengenai kerja kemanusiaan, hal itulah yang namanya kerja kemanusiaan, karena persoalan yang dihadapi dan dijalankan perempuan itu adalah riil cerita hidup manusia.

"Jadi ini yang menguatkan saya untuk tetap harus pada jalur ini," kata Reny.

Apa yang dilakukan melalui lembaganya sebagai kerja dengan prinsip pembebasan, kerja dengan perempuan, karena penyambung keberlanjutan hidup.

Perempuan, menurutnya, mempunyai tugas-tugas dari Allah SWT karena diberikan rahim untuk dititipkan generasi berikutnya dan perempuan harus memastikan kemanusiaan tetap terjaga, termasuk bagaimana sistem memberlakukan perempuan sebagai manusia.

Ia menyebut bahwa kerja membantu sesama perempuan itulah yang dimaksud juga sebagai kerja kemanusiaan.

Dia ada di ruang yang luas di dunia ini yang artinya tidak hanya bekerja di meja dengan kertas dan komputer jinjing tetapi kerja-kerja kemanusiaan.

Dia memaknainya karena bekerja secara langsung bersentuhan dengan manusia, terutama perempuan, yang mempunyai banyak dimensi dan tantangan tersendiri, tetapi itu riil dan tidak bisa dimanipulasi. Kondisi itu berbeda jika kerja di balik meja, dan hal tersebut yang membuat dirinya memilih kerja kemanusiaan.

Meskipun wariannya lebih banyak dan problematika banyak, ia optimistis bahwa solusi juga banyak, tinggal menjahitnya dan merapikan, menata cara pandang guna menyelesaikan masalah dan membuat perubahan.

Selain itu, kerja kemanusiaan adalah kerja pembebasan dan pembelajaran yang tiada henti, tanpa batas waktu, umur, ruang, dan tempat.

"Inilah yang bisa membuat kita naik kelas sesuai dengan ketetapan-Nya. Mudah-mudahan kita sehat, panjang umur, dan bisa banyak mewarnai dan menjadi berarti dalam kehidupan kita," kata perempuan itu.

Hal yang membahagiakan dirinya adalah ketika bersama para perempuan yang dahulu kondisinya terpuruk, buntu, dan banyak masalah, tetapi sekarang mereka jauh berubah.

Perubahan atas mereka, antara lain bisa menata hidup, tidak putus asa, bisa mengeluarkan ide-ide, bisa menemukan solusi, bisa bicara, tambah cerdas, dan ada banyak dari mereka bisa mengambil peran dan posisi di publik.

"Dan yang paling bermakna dan membuat saya lega, mereka sudah bisa mengambil pilihan dan keputusan untuk diri sendiri. Ini poin pentingnya," kata dia.


Berbeda dari kedua perempuan tersebut, ada Hairiah (52) yang kini menjadi Wakil Bupati Sambas periode 2016-2021.

Menurut dia, Kartini memberikan inspirasi kepada perempuan Indonesia untuk mampu berkiprah di segala bidang.

Dengan berjalannya waktu dan kemajuan zaman, membuka peluang bagi perempuan untuk berdaya guna dalam bidang pendidikan, di mana kesempatan bagi perempuan sudah terbuka luas untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya.

Di bidang politik, dengan kuota 30 persen, perempuan bisa masuk ke partai politik dan menjadi anggota legislatif dengan posisi yang stategis untuk melahirkan aturan yang berspektif keadilan gender.

Di bidang pemerintahan, perempuan menjadi kepala dinas, kepala daerah, maupun wakil kepala daerah yang mampu menjalankan amanah yang diembannya.

Selain itu, kata perempuan kelahiran Pontianak, 27 Maret 1966 tersebut, peluang menjadi aparat penegak hukum, baik sebagai polisi, jaksa, hakim, dan penegak hukum profesi pengacara, juga terbuka luas.

Ada banyak profesi yang dipegang kaum perempuan Indonesia dewasa ini, di antaranya di bidang kesehatan, ekonomi, guru, dan dosen.

Dari semua itu, tentu dengan upaya sungguh-sungguh untuk meraih apa yang diinginkan dalam mengisi pembangunan dan kehidupan, baik di ranah publik maupun domestik, sejalan dengan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki seorang perempuan.

Hairiah yang sebelumnya juga aktivis perempuan itu, sebagai pendiri LHB APIK Pontianak pada 1997, pada akhirnya memilih jalur politik untuk berjuang, karena baginya sebagai politikus adalah salah satu tujuan berbuat yang terbaik.

"Karena kita dilindungi oleh aturan yang membuat kita bisa bertindak dalam membuat dan melaksanakan program untuk pemberdayaan masyarakat," kata perempuan dengan dua anak itu.


Erma Suryani Ranik (43), seorang mantan aktivis perempuan yang kini menjadi anggota DPR RI dari Partai Demokrat, menyatakan Kartini "zaman now" menghadapi tantangan untuk meningkatkan kualitas agar bisa bersaing dalam era global. Pekerjaan saat ini menuntut banyak sekali sumber daya manusia, khususnya perempuan yang berkualitas.

Erma Suryani yang lahir di Ketapang pada 14 Mei 1975 itu, mengingatkan bahwa masih banyak perempuan Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan.

Masih banyak mereka yang menjadi korban kejahatan seksual dan belum bisa mengakses kebutuhan dasar (kesehatan dan pendidikan) yang layak.

Maka dari itu, perempuan yang diberkati dengan situasi yang jauh lebih baik dan lebih beruntung, sudah selayaknya untuk bahu-membahu membantu banyak perempuan yang belum beruntung.

"Dengan berbagai cara yang kita mampu," kata mantan jurnalis pada Majalah Kalimantan Review itu.

Ia mengajak kaum perempuan untuk melangkah maju tetapi tidak melupakan mereka yang masih tertinggal.

Ia sendiri mengaku terjun ke dunia politik bukan hanya untuk memperjuangkan kaum perempuan, tetapi lebih luas lagi memperjuangkan rakyat.

"Perempuan adalah bagian dari rakyat," kata Erma Suryani Ranik.



 

Pewarta: Nurul Hayat

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018