Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, sejak pertengahan tahun 2017 menjadi daerah percontohan program "one health" untuk penanganan rabies. One health merupakan sinergi tiga sektor, yakni kesehatan hewan, kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

Program ini dijalankan agar penyebaran serta dampak rabies dapat ditekan semaksimal mungkin.

Nia Prihantini S Kep Ners, merupakan pemegang program survailance di Puskesmas Mulia Baru, Kabupaten Ketapang. Yang menjadi pemantauannya adalah kasus-kasus penyakit yang berpotensi mewabah seperti rabies, demam berdarah dan difteri.

Senada dengan Maya Fajar Puspita, salah satu dokter hewan berstatus PNS di Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Ketapang, sebelum ada program one health, ia juga bekerja sendirian ketika ada kasus gigitan.

Ia harus mengobati korban, merawat lukanya, hingga mengobservasi HPR. Pemahamannya tentang rabies pun hanya sebatas informasi umum yang ada di brosur-brosur tentang penyakit tersebut.

Baca juga: Menyekat rabies dengan "one health"

Observasi terhadap HPR (hewan penular rabies) yang mengigit, dilakukan selama dua minggu. Namun ia menyadari ilmu yang ia miliki tentang rabies dari sisi kehewanan, sangatlah kurang. Nia Prihantini termasuk yang mendapat pelatihan one health secara lengkap mencakup kesehatan masyarakat, kesehatan hewan dan lingkungan hidup.

Ketika terjadi kasus GHPR, langsung dibagikan di grup whatsapp "one health Ketapang". Drh Maya dan Nia kerap turun bersama ke lokasi kejadian mengingat keduanya berada dalam lingkup wilayah yang sama. Puskesmas Mulia Baru berada di Kecamatan Delta Pawan.

Di Kota Ketapang, terdapat sejumlah lokasi untuk bersantai warganya yang disediakan pemerintah daerah. Salah satunya Hutan Kota Ketapang. Hutan kota ini terletak di Jalan Lingkar Kota Ketapang, Kelurahan Sukaharja, Kecamatan Delta Pawan.

Hutan Kota Ketapang kerap menjadi lokasi kegiatan baik dari warga maupun lainnya. Di lokasi yang asri dengan luas sekitar 110 hektare ini, masih terdapat berbagai satwa liar primata seperti monyet dan klempiau.

Baca juga: Kisah Alvin dan panas dingin tergigit HPR - 1
Digigit
Pada Minggu (15/4), SMPN 1 Ketapang mengadakan kegiatan di Hutan Kota Ketapang. Mereka bersama Yayasan Palung, yakni organisasi konservasi orangutan dan hutan yang mempunyai area kerja di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara. Sejak pagi, ratusan pelajar telah memadati areal Hutan Kota Ketapang. Salah satunya M Diwa Rahmafatani.

Ia berusia 13 tahun. Anak dari pasangan Ahmad Firhanto dan Desi. Menjelang siang, M Diwa Rahmafatani beristirahat sambil menunggu waktu makan. Tengah duduk santai di areal Hutan Kota Ketapang, tiba-tiba seekor monyet mendekati Diwa.

Dalam sekejap, monyet itu mengigit lengan kanan Diwa. Diwa terkejut dan berteriak. Mendengar hal itu, para teman-temannya, guru maupun staf dari Yayasan Palung segera mengerumuninya.

Diwa sendiri tidak lagi mengetahui kemana monyet yang menggigitnya itu pergi. Ia berusaha menutupi tangannya yang mengalami luka robek cukup dalam. Tampak darah mengucur dari lengan Diwa yang terluka.

Baca juga: Kisah Alvin dan panas dingin tergigit HPR - 2
Sementara itu, di rumahnya yang asri di Jalan S Parman, Kelurahan Sukaharja Ketapang, Desi, ibu dari Diwa tengah bersantai ketika dering telepon selular miliknya berbunyi nyaring. Ketika menerima pesan si penelepon, ia terkaget-kaget. Diwa anaknya digigit monyet atau primata, dan tengah dirawat di Rumah Sakit Fatimah Ketapang.

Ini salah satu rumah sakit swasta di Kota Ketapang. Letaknya tak jauh dari Puskesmas Mulia Baru. Ia pun langsung panik. Bersama sang suami, keduanya bergegas menuju Rumah Sakit Fatimah Ketapang.

Di rumah sakit, keduanya melihat lukanya Diwa sudah dijahit. Ada lima jahitan. Mengingat monyet atau primata termasuk HPR, pihak rumah sakit merekomendasikan untuk memberikan VAR (vaksin anti rabies) ke Diwa.

Namun karena stok di rumah sakit tersebut habis, pemberian VAR dirujuk melalui Puskesmas Mulia Baru. Setelah mendapat perawatan dan luka jahitan ditutup perban, Diwa pulang ke rumah bersama orang tuanya.

Desi memposting kondisi Diwa ke grup whatsapp keluarga sembari menjelaskan apa yang terjadi. Sang nenek, ibu dari Desi, langsung merespon agar Diwa segera diberi VAR. Kebetulan ibunya itu merupakan pensiunan dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar. Desi sendiri mengetahui ancaman rabies juga dapat menular melalui primata.
 
Bergerak cepat
Senin (16/4) pagi, ia membawa Diwa ke Puskesmas Mulia Baru. Di puskesmas tersebut, Nia Prihantini segera memberikan suntikan VAR sebanyak dua dosis. Pelayanan di Puskesmas Mulia Baru cukup cepat.

Dalam kasus darurat, penanganan pasien lebih diutamakan ketimbang administrasi. Termasuk dalam kasus gigitan yang dialami Diwa, suntikan diberikan ketika urusan administrasi pasien di puskesmas itu belum selesai.

Dengan cepat, informasi kasus gigitan Diwa masuk ke grup whatsapp "One Health Ketapang". Drh Maya membaca laporan tersebut segera menindaklanjuti. Pada siangnya, atau saat jam istirahat kantor, ia datang ke kediaman Desi. Ia tidak sendiri. Ia bersama tiga orang rekan dari BKSDA Ketapang, dua orang petugas dari Puskesmas Kedondong karena kediaman Desi masuk dalam wilayah kerja mereka, dan dari Puskeswan Ketapang.

Berdasarkan evaluasi dari drh Maya dari sisi kesehatan hewan serta BKSDA karena monyet tersebut adalah satwa liar, maka Diwa harus diberi vaksin lengkap selama empat kali. Dosis ketiga diberikan pada hari ketujuh setelah dosis pertama dan kedua, dan dosis keempat pada hari ke -21 atau 28.

Pertimbangannya, monyet yang mengigit tidak diketahui dan tidak dapat diobservasi sehingga dianggap positif mengidap rabies.

Menurut Maya, sejauh ini belum ada prosedur standar hari kunjungan ke korban gigitan setelah pelaporan. Namun biasanya paling lambat dua hari setelah laporan diterima, ia dan rekan-rekannya melakukan kunjungan korban GHPR (gigitan hewan penular rabies) dan mengobservasi HPR.

Terkadang ketika hari libur, mereka juga berkunjung ke tempat korban GHPR. Tidak hanya sekali. Ketika dalam kunjungan pertama korban GHPR tidak ada di rumah atau lokasi tujuan, mereka akan datang kembali hari berikutnya.

Nia Prihantini menjelaskan, dalam kasus GHPR lainnya, pemberian VAR diberikan tergantung hasil observasi yang dilakukan dari sektor kesehatan hewan atau BKSDA. Apabila HPR setelah diobservasi selama dua minggu mati, maka korban gigitan harus diberi VAR lengkap.

Sedangkan apabila sebaliknya, HPR tidak mati, maka pemberian VAR dapat dihentikan. Alhasil, pemakaian VAR menjadi lebih efektif. Ujung-ujungnya, anggaran yang dialokasikan untuk membeli VAR pun tepat sasaran. Harga satu dosis VAR tidaklah murah yakni di kisaran Rp260an ribu.

Artinya, untuk pemberian VAR yang lengkap, setidaknya dibutuhkan anggaran lebih dari satu juta rupiah. Program one health di Kabupaten Ketapang menarik kabupaten lain di Kalbar untuk mempelajari lebih lanjut. Salah satunya Kabupaten Sanggau. Pada tahun 2017, ada 11 kasus kematian akibat rabies di Sanggau.

Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Ketapang, Khoirul Syahri menuturkan, Pemda Sanggau sudah mendatangi Kabupaten Ketapang untuk mengetahui tentang one health. Ia pun menjelaskan tentang sinergi para pihak dalam menangani rabies di Kabupaten Ketapang yang semakin terkoordinir dengan baik.

Ia membayangkan kalau one health dapat diterapkan lebih awal, mungkin kisah sedih Alvin tak terukir dalam benaknya.
Baca juga: Sebaran rabies yang menghantui Kalbar

Pewarta: Teguh Imam Wibowo

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018