Pontianak  (Antaranews Kalbar) - Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Migas M Ibnu Fajar mengakui disparitas harga yang tinggi antara bahan bakar minyak (BBM) subsidi dan nonsubsidi cenderung memicu penyelewengan penyalurannya.

"Dengan selisih sampai Rp5 ribu perliter, biasanya penyalahgunaannya naik juga," kata Ibnu Fajar di Kubu Raya, Kalbar, Selasa.

BPH Migas telah mengantisipasi hal itu melalui sejumlah langkah seperti kontrol terhadap sisi penyaluran berupa program digitalisasi SPBU.

"Jadi, yang dikeluarkan oleh SPBU terkontrol dengan baik," kata dia. BPH Migas menargetkan hingga akhir 2018 ada 5.150 unit SPBU yang sudah melakukan program digitalisasi tersebut.

"Tahap sekarang masih persiapan infrastrukturnya, tapi target hingga akhir 2018 tetap 5.150 unit," kata Ibnu Fajar.

Selain itu, juga dilakukan pengawasan secara rutin dengan melibatkan banyak pihak seperti pemerintah daerah, kepolisian termasuk media massa.

Laporan yang masuk ke BPH Migas biasanya solar oplosan, penggunaan solar subsidi di industri atau penjualan

solar bersubsidi ke industri.

Anggota Komisi VII DPR RI Dapil Kalbar Maman Abdurrahman mengatakan, perlu dilakukan pendekatan secara persuasif bagi penjual BBM yang tidak resmi.

"Dorong mereka agar menjadi sub penyalur yang legal," kata dia.

Di Kalbar dengan kondisi sebaran penyalur resmi yang hanya di kisaran 9,2 persen, perlu diperluas agar jumlahnya semakin banyak dan memudahkan masyarakat untuk membeli BBM subsidi.Budi Suyanto
 

Pewarta: Teguh Imam Wibowo

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018