Kenaikan tarif layanan peserta BPJS Kesehatan membuat sejumlah warga di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat memilih turun kelas karena merasa terbebani dengan kenaikan iuran pembayaran yang mulai diberlakukan awal tahun mendatang.
M. Noval (33) warga Bekang, Desa Cibarusah Jaya, Kecamatan Cibarusah itu mengaku keberatan jika harus menanggung biaya iuran yang berlipat ganda.
"Ya sangat membebani masyarakat karena masalah rencana kenaikan BPJS ini sudah sangat ramai (dibahas) di pemberitaan media hingga media sosial," katanya, Jumat.
Sebagai peserta mandiri Kelas I, Noval mengaku saat ini ia bersama istri dan satu buah hatinya membayar Rp240 ribu perbulan. Sementara jika tetap memaksakan menjadi peserta Kelas I maka mulai tahun depan iuran setiap bulannya dipastikan berlipat menjadi Rp480 ribu.
"Ya alternatifnya mau nggak mau harus turun kelas daripada harus membayar iuran sebesar itu tiap bulannya," kata dia.
Hal senada dikatakan Clara Faradhika (24) asal Desa Sukasari, Kecamatan Serang Baru. Meski tidak membayar full lantaran mendapat subsidi dari perusahaan tempat suaminya bekerja, ia mengaku kenaikan iuran dirasa tetap memberatkan.
"Karena kalau naik, potongan gaji suami juga pasti akan lebih besar karena yang terdaftar ada empat anggota keluarga. Saya, suami, dan dua orang anak saya," katanya.
Diketahui pemerintah telah resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan mulai Januari 2020. Kenaikan iuran itu mencapai dua kali lipat dari tarif saat ini yakni kelas III mandiri dari semula Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per peserta per bulan, kelas II mandiri naik dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu, serta kelas I dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu.
Kenaikan iuran ini tertuang dalam Pasal 34 Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 24 Oktober 2019 lalu.
Baca juga: Kenaikan tarif layanan BPJS Kesehatan, besar manfaat dibanding nilai?
Baca juga: BPJS Kesehatan Singkawang gelar forum komunikasi lintas sektor
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019
M. Noval (33) warga Bekang, Desa Cibarusah Jaya, Kecamatan Cibarusah itu mengaku keberatan jika harus menanggung biaya iuran yang berlipat ganda.
"Ya sangat membebani masyarakat karena masalah rencana kenaikan BPJS ini sudah sangat ramai (dibahas) di pemberitaan media hingga media sosial," katanya, Jumat.
Sebagai peserta mandiri Kelas I, Noval mengaku saat ini ia bersama istri dan satu buah hatinya membayar Rp240 ribu perbulan. Sementara jika tetap memaksakan menjadi peserta Kelas I maka mulai tahun depan iuran setiap bulannya dipastikan berlipat menjadi Rp480 ribu.
"Ya alternatifnya mau nggak mau harus turun kelas daripada harus membayar iuran sebesar itu tiap bulannya," kata dia.
Hal senada dikatakan Clara Faradhika (24) asal Desa Sukasari, Kecamatan Serang Baru. Meski tidak membayar full lantaran mendapat subsidi dari perusahaan tempat suaminya bekerja, ia mengaku kenaikan iuran dirasa tetap memberatkan.
"Karena kalau naik, potongan gaji suami juga pasti akan lebih besar karena yang terdaftar ada empat anggota keluarga. Saya, suami, dan dua orang anak saya," katanya.
Diketahui pemerintah telah resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan mulai Januari 2020. Kenaikan iuran itu mencapai dua kali lipat dari tarif saat ini yakni kelas III mandiri dari semula Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per peserta per bulan, kelas II mandiri naik dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu, serta kelas I dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu.
Kenaikan iuran ini tertuang dalam Pasal 34 Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 24 Oktober 2019 lalu.
Baca juga: Kenaikan tarif layanan BPJS Kesehatan, besar manfaat dibanding nilai?
Baca juga: BPJS Kesehatan Singkawang gelar forum komunikasi lintas sektor
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019