Padahal persaingan antar-bank dalam mengelola dana masyarakat saat ini sangat ketat. Belum lagi setelah munculnya lembaga financial technologi (fintech) peer too peer lending, yang juga mengelola dana masyarakat dengan memanfaatkan teknologi yang terus berkembang.
Bank dengan permodalan kecil, penggunaan teknologi minim, dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang terbatas, sepertinya harus siap-siap tersisih karena operasional mereka bisa dipastikan tidak efisien. Jika terjadi sesuatu di bank seperti itu, maka sistem keuangan nasional pasti terganggu.
Jumlah bank BUKU 1, bank dengan modal inti di bawah Rp1 triliun, berdasarkan data OJK per Juni 2019 sebanyak 21 bank, yang memiliki modal inti Rp10,78 miliar dan total aset Rp91,15 miliar atau 1,0 persen dari total bank umum sebanyak 112 bank.
Sedangkan jumlah bank BUKU 2, bank dengan modal inti Rp1 triliun-Rp5 triliun, sebanyak 59 bank, yang memiliki modal inti Rp160,08 miliar dan total aset Rp1,07 triliun atau 13 persen.
Adapun bank BUKU 3, bank dengan modal inti Rp5 trilun-Rp30 trilun, ada 26 bank. Bank ketegori ini memiliki memiliki modal inti Rp414,46 miliar dan total aset Rp2,69 triliun atau 33 persen. Sementara bank BUKU 4, bank dengan modal inti Rp30 triliun, ada enam bank memiliki modal inti Rp656,9 miliar dan total aset Rp4,38 triliun atau 53 persen.
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa struktur industri perbankan dikuasai sejumlah kecil bank dengan pangsa pasar besar. Bank tersebut juga belum seberapa jika dibandingkan dengan misalnya beberapa bank di Asia Tenggara.
Belum lagi jika membicarakan tentang kontribusi lembaga keuangan BUKU 1 dan 2 itu terhadap perekonomian. Kontribusi mereka kecil. Sementara dalam pengawasan, OJK harus menyiapkan SDM sebagaimana mengawasi bank-bank dalam BUKU 3 dan 4.
Jumlah dana pihak ketiga (DPK) bank BUKU 1 tercatat sebesar satu persen dari total DPK bank umum, sementara jumlah kredit yang dihimpun sebesar satu persen dari total kredit bank umum. Adapun DPK bank BUKU 2 sebesar 13 persen dan total kreditnya 12 persen.
Sementara DPK bank BUKU 3 sebesar 31 persen dengan kredit 33 persen dan DPK bank BUKU 4 sebesar 55 persen dengan kredit 54 persen.
OJK juga mencatat NPL bank BUKU 1 dan 2 cenderung meningkat, serta Biaya Operasional dan Pendapatan Operasional (BOPO) bank BUKU 1 dan 2 cenderung tinggi. Sementara pertumbuhan kredit bank BUKU 1 dan 2 tercatat cenderung rendah, begitu juga pertumbuhan DPK-nya, cenderung rendah.
Imbau konsolidasi
OJK selama beberapa tahun terakhir selalu mengimbau agar bank-bank kecil ini melakukan konsolidasi. Konsolidasi ini bisa berupa menambah modal, melakukan penggabungan usaha (merger) atau mencari investor baru demi meningkatkan permodalan, teknologi dan SDM.
Namun imbauan yang sebenarnya dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja bank sehingga bisa berkontribusi lebih besar terhadap perekonomian nasional ini terkesan kurang dipatuhi lembaga keuangan tersebut.
Karena itu OJK, seperti kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana, saat ini tengah menggodok peraturan agar bank-bank melakukan konsolidasi. Kemungkinan tahun depan peraturan itu sudah keluar.
Bagaimana sifat aturan tersebut, apakah OJK akan memaksa bank untuk konsolidasi, misalnya dengan meningkatkan jumlah modal inti bank atau menyerahkannya kepada pasar, menurut Heru, itu belum dipastikan.
”Justru itu, kami sedang menggodoknya, bisa dipaksa, bisa diserahkan ke pasar, atau kedua-duanya,” kata Heru yang juga Anggota Dewan Komisioner OJK dalam diskusi dengan sejumlah redaktur media massa di Semarang, Jumat (1/11).
Menurut Heru, OJK berkepentingan dalam konsolidasi bank ini karena salah satu tugas lembaga itu adalah menjaga stabilitas keuangan. Stabilitas ini bisa terganggu jika misalnya bank dengan modal kecil itu mengalami masalah dalam operasionalnya.
OJK juga berkepentingan karena lembaga keuangan yang berada dalam pengawasannya itu harus tetap beroperasi dan memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional.
“Jika nanti banyak bank yang konsolidasi, maka kontribusi mereka terhadap perekonomian dipastikan akan meningkat,” katanya.
Tidak hanya bank umum, OJK juga mengimbau Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk memperkuat kelembagaan mereka dengan meningkatkan struktur permodalan melalui merger. Tujuannya agar BPR dapat menyediakan dana bagi sektor rill khususnya usaha mikro dan kecil serta agar BPR dapat menyerap risiko-risiko yang mungkin terjadi.
Secara nasional, hingga Agustus aset, dana pihak ketiga dan kredit industri BPR secara tahunan terus berkembang yaitu total aset industri BPR mencapai Rp143,2 triliun (9,62 persen), DPK sebesar Rp97,9 triliun (10,82 persen), dan kredit yang disalurkan sebesar Rp106,1 triliun (11,44 persen).
Merger BPR merupakan bagian dari Program Konsolidasi Perbankan dalam rangka memperkuat industri perbankan.
Kehadiran BPR, menurut OJK, masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena banyak layanan BPR yang tidak dapat diberikan oleh bank umum atau lembaga keuangan lainnya seperti lokasi yang dekat dengan masyarakat, layanan yang cepat dan sederhana dengan mengedepankan pendekatan personal, dan metode jemput bola, serta karakteristik produk yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekitar.
Sejumlah strategi untuk penguatan dan pengembangan BPR sudah disiapkan OJK agar BPR dapat terus tumbuh dan berkembang melayani masyarakat, yaitu: penguatan kelembagaan, penguatan tata kelola dan prinsip kehati-hatian, penguatan infrastruktur (SDM dan TI) serta penguatan daya saing melalui branding industri BPR, kerja sama berbasis Teknologi Informasi dan inovasi produk dan layanan.
OJK juga telah menerbitkan ketentuan-ketentuan untuk berbagai aspek di BPR, seperti aspek kelembagaan, aspek prudensia, dan aspek Infrastruktur TI dan SDM.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019